Yifez terlihat kecewa.
Shenata membaca ekspresi Yifez, tak ingin suaminya kembali kesal. "Kalau bulan depan, bagaimana?"
"Bulan depan?" Yifez membelalakkan mata.
"Bulan ini kegiatanku padat sekali. Sudah pasti akan pulang malam saat Ines sudah tidur. Rasanya aku hanya bisa membayar kebersamaan dengannya di akhir pekan. Jadwal bulan depan masih bisa kuatur," usul Shenata.
"Jadi, sekarang aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu?" rajuk Yifez.
Shenata memutar tubuh, mengalungkan tangan di leher Yifez, memandangi mata indah beriris gelap di hadapannya. "Oh, Bear, jangan berkata seperti itu. Kau tahu betapa berartinya kau dan Ines bagiku, tapi komitmen pekerjaan tentu tidak dengan mudah kuabaikan. Kau juga tahu usaha kerasku merintis semua ini."
"Kurasa membatalkan satu atau dua seminarmu bukan hal sulit, kau bisa meminta rekanmu menggantikan. Itu jika aku memang masih prioritas dalam hidupmu." Yifez mulai merajuk.
Shenata tertawa kecil. Kedua tangannya meremas gemas pipi Yifez. "Kau kadang lebih kekanakkan dibanding Ines."
"Oh ya? Jadi ada pria lain yang lebih dewasa?" tukas Yifez, nada suaranya meninggi.
"Bear! Kenapa kau ngomong gitu, sih?"
"Menurutmu kenapa?"
Shenata menggeleng-gelengkan kepala. Mood Yifez sangat mudah berubah akhir-akhir ini.
"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu." Shenata mendengkus. Ia tidak mau merusak paginya dengan kejadian semacam ini. Ada seminar yang harus diisi siang nanti, tidak ingin mood-nya kacau. Ia membalikkan tubuh, kembali menghadap cermin, meneruskan kegiatannya berdandan.
"Tidak ada waktu untuk melayani suami maksudmu? Tapi ada waktu untuk melayani orang lain?" Yifez menarik pundak Shenata dengan kasar, memaksanya kembali berhadapan.
"Bear, sakit!" Shenata memegangi pundaknya yang ditarik paksa. Ia berupaya mendorong tubuh atletis Yifez yang mengimpitnya. "Aku mau kerja!"
Usahanya tidak berhasil. Fisik Yifez yang lebih besar dan rutin berlatih resistance¹ jelas bukan tandingan Shenata.
Yifez mencekal kedua tangan Shenata, kemudian melempar tubuh istrinya ke arah lemari pakaian.
Shenata menjerit kesakitan kala tubuhnya membentur lemari jati. Ia tidak mau mengalami penyiksaan kedua kalinya. "Sekali lagi kau menyakiti tubuhku, aku ..."
"Apa? Apa yang mau kau lakukan?" tantang Yifez. Ia maju mendekati Shenata dan langsung menampar pipi istrinya.
Shenata tidak terima. Ia membalas tamparan Yifez sekuat tenaga.
Yifez kian beringas, melayangkan tinju ke wajah istrinya.
Shenata jatuh terjerembap, wajahnya menyentuh lantai. Ia syok, tapi dengan cepat menguasai diri, berusaha memikirkan tindakan agar tidak kembali menjadi samsak.
"Berengsek! Cukup sudah! Kau keluar dari rumah ini atau aku dan Ines yang pergi!" ancam Shenata. Ia bergegas bangkit, ingin segera menjauh dari suaminya.
Yifez meraih tangan Shenata, menahannya untuk tidak pergi. "Maafkan aku."
"Jangan sentuh aku!" Shenata berusaha menepis tangan Yifez, muak dengan permintaan maafnya.
Yifez tidak menyerah, menarik tangan Shenata dan merengkuh tubuhnya. "Maafkan aku, Honey," pintanya lirih sembari menciumi kepala istrinya.
Shenata luluh. Ia terisak dalam dekapan suaminya. "Kau menyakiti aku, Bear."
Yifez menciumi wajah Shenata. "I'm so sorry. Aku lepas kendali. Kau seharusnya tidak menantangku." Ia mengulum bibir Shenata, nafsunya menggelora. Ia mendorong tubuh istrinya ke atas ranjang, ingin melampiaskan libidonya.
"Bear, aku harus segera pergi," tolak Shenata saat Yifez menyingkap roknya.
"Let's make it quick." Yifez tidak dapat menahan birahinya. "Untuk yang ini, kau harus melayani, bukan?"
Shenata tak kuasa menolak, tidak ingin kembali menjadi sasaran amukan Yifez.
***
Bunyi gesekan daun-daun pepohonan nan rindang yang tertiup angin semilir, gemericik air di sungai buatan yang mengalir di bawah beberapa area duduk berbentuk bulat seperti carousel² terbuat dari rotan berwarna cokelat, menciptakan tropical vibes ala Bali di antara impitan gedung-gedung menjulang.
jimBARan Outdoor Lounge Ayana MidPlaza Jakarta memang menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota yang mampu menghadirkan ketenangan tersendiri bagi Shenata.
Ketenangan yang sangat dibutuhkan untuk membantunya mengendalikan gejolak emosi sebelum tampil di acara seminar dua jam mendatang. Matahari pun seolah berempati dengan kegundahannya, sehingga tidak terlalu menunjukkan keperkasaannya siang itu.
Kejadian pagi tadi masih terus diputar oleh memori emosi Shenata. Ini kali kedua dia mendapat kekerasan fisik dari Yifez, perlakuan yang lebih kasar dari sebelumnya. Berbagai rasa berkecamuk di dada Shenata, rasa yang sulit sekali diidentifikasinya. Satu hal yang ia tahu hanya bahwa ini adalah sebuah cela dalam hidupnya. Cela yang harus disimpannya rapat-rapat, tapi tak ayal membuat jiwa bebasnya berontak menggugat.
Tidak pernah ada kata kalah atau gagal dalam hidup Shenata. Semua fase kehidupannya berjalan teramat mulus. Terlahir di keluarga berada, dianugerahi otak brilian dan wajah rupawan membuat hidup menjadi terlalu mudah baginya. Selalu menempati peringkat pertama sejak SD hingga SMA, membuatnya dengan mudah mendapat tempat di universitas negeri ternama tanpa tes. Lulus dengan predikat cumlaude (dengan pujian) dan taraf ekonomi kelas atas memudahkannya untuk meneruskan kuliah di UniMelb yang masuk dalam jajaran 50 besar dunia.
Tidak hanya prestasi akademik, area nonakademik pun menjadi ajang unjuk kebolehannya. Pemain bola basket andalan, aktivis organisasi kemahasiswaan, hingga wajah yang pernah menghiasi sampul salah satu majalah terpopuler di tanah air menjadi rentetan prestasi Shenata.
Ditambah lagi dengan deretan pria-pria yang mengagumi paras dan tubuhnya. Pujian datang bertubi-tubi, sanjungan menghampiri tiada henti. Semua kegemilangan yang tanpa disadari membentuk sebuah konsep diri "Aku adalah yang terbaik dari yang terbaik" dan perlahan menyeretnya dalam sebuah tuntutan untuk senantiasa tampil sempurna.
Belum pernah sekali pun dalam hidupnya, Shenata merasakan arti kekalahan dan kegagalan. Dialah sang juara, pemenang kompetisi kehidupan.
Perlakuan Yifez dua kali ini adalah sebuah tamparan keras, tidak saja dalam arti denotatif, tapi juga konotatif. Situasi yang menimbulkan disonansi dalam irama kehidupannya. Ingin rasanya Shenata menceritakan kekalutannya ini pada seseorang, tapi itu berarti akan mempertontonkan boroknya, menodai kesempurnaannya. Penilaian buruk orang lain jauh lebih menakutkan daripada perlakuan buruk Yifez.
Shenata meneguk gelas kedua classsic lemonade-nya. Ia sama sekali tidak merasa lapar meski perutnya belum diisi oleh asupan makanan sedikit pun. Selera makannya hilang sekejap. Light lobster bisque - sup krim lembut kaya aroma yang terbuat dari campuran daging lobster, safron, kacang fava, mushroom, dan disajikan dengan roti sourdough - sejak tadi tidak disentuhnya. Rasa gusar mengalahkan rasa lapar.
Jemarinya membuka aplikasi sosial media, mengamati berbagai unggahan dari orang-orang yang diikuti, mencoba mengalihkan kegusarannya. Tak ada yang menarik karena pikirannya masih terlalu kalut. Gerakan jemarinya berhenti pada unggahan Cessa, teman dekatnya sejak SMP hingga SMA yang kini berdomisili di Melbourne. Cessa mengunggah foto seorang wanita Australia sebagai sebuah memorabilia. Ada lambang pita putih yang ditempelkan di pojok bawah.
Shenata tergelitik untuk membaca keterangan foto itu. Tentang seorang wanita korban kekerasan rumah tangga yang meninggal setahun lalu dan imbauan untuk bertindak menghentikan kekerasan pada wanita. Dadanya terasa berhenti berdetak. Gejolak rasa kembali membuncah, pikirannya mengembara.
***