Shenata lemas, tulangnya seolah tak mampu menopang tubuhnya. Meski bukan penggemar drama Korea, tapi beberapa kata dalam bahasa Korea sering didengarnya. Aein dan Chagia merupakan sebutan untuk kekasih. Dua yuniornya Maya dan Hilda yang menggandrungi segala hal berbau Korea selalu membahas hal semacam ini di setiap kesempatan.
Ia mengumpulkan keberanian dan kekuatan mengirim balasan untuk semakin memastikan hubungan antara Yifez dan Aein. Belum. Kau?
Belum juga. Masih terbayang serunya tadi. Masih mikirin kau. Semoga kau juga mikirin aku di tidurmu, ya. Saranghae.
Dunia Shenata seolah runtuh dalam sekejap. Ia bukan perempuan satu-satunya yang dicintai Yifez seperti ucapannya tadi.
Shenata berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini.
Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini.
Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Yifez yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Yifez hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda.
Yifez terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah jam di atas nakas, lalu beranjak.
"Morning, Honey," sapa Yifez begitu melihat Shenata yang telah rapi dan siap beraktivitas. Ia menghampiri istrinya. "Kau sudah akan berangkat jam segini?" Ia memeluk dan mencium dahi Shenata.
Shenata mendadak merasa muak dan jijik dengan semua kemesraan yang berusaha diumbar Yifez.
"Ya, aku harus mempersiapkan kelas pagi," sahut Shenata, berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar karena menahan emosi. Ia segera merapikan tempat tidur, mengalihkan energi dan fokusnya.
"Apakah jadwalmu padat hari ini?" tanya Yifez.
"Lumayan."
"Apa saja?"
"Seharian ini aku ada kelas public speaking untuk pejabat pemerintah," jelas Shenata. "Apa saja kegiatanmu hari ini?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Shenata, pertanyaan yang selama ini belum pernah diajukannya. Ia terlalu percaya bahwa Yifez setiap hari hanya berjibaku dengan urusan klien.
"Hanya ada sidang pagi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan bertemu dengan klien yang akan mengajukan banding," jawab Yifez. Tebersit rasa kaget karena Shenata menanyakan akivitasnya hari ini, hal yang tidak pernah dilakukan istrinya. "Tadinya aku ingin mengajakmu makan siang, tapi ternyata kau padat sekali."
Shenata tersentak. Ia baru menyadari mengapa Yifez selalu menanyakan aktivitasnya setiap hari. Pertanyaan yang selama ini dianggapnya sebagai bentuk kepedulian, bisa jadi itu adalah cara suaminya untuk mencari celah agar bisa memadu kasih dengan si Aein itu.
"Kalau begitu kita makan malam bersama saja, setelah aku selesai di Kementerian," usul Shenata yang sebenarnya hanya merupakan basa-basi.
"Ah, I can't, Honey. Aku mau ke gim. Sudah seminggu ini absen," sahut Yifez sambil membuka kaosnya, memperlihatkan lekuk otot perutnya. Ia melangkah menuju kamar mandi.
Shenata kembali tersentak. Ia ingat betul, tiga hari lalu, Yifez beralasan berlatih di gym sehingga pulang larut, sedangkan barusan berkata sudah seminggu tidak berlatih. Pembohong memang sering melupakan kata yang pernah dilontarkan. Kekesalannya memuncak. Ia segera mengambil tas Balenciaga-nya.
"Aku pergi dulu." Shenata membuka pintu kamar. "Sampai nanti, Chagia!" pamitnya dengan sindiran. Ia lalu menutup pintu, bergegas turun ke lantai bawah.
Yifez terperanjat mendengar kata yang disebut Shenata untuknya barusan. Sejenak dipastikan pendengarannya. Ia segera menghambur ke pintu, menuruni tangga, berusaha mengejar istrinya.
Di lantai bawah, terlihat istrinya setengah berlari menuju Mercedes-Benz GLA 200-nya yang sudah siap di depan pintu depan rumahnya. "Honey!" panggilnya seraya berlari mengejar.
Shenata bergegas masuk mobil. "Jalan sekarang, Pak!" perintahnya kepada Joko yang segera dipatuhi oleh sopir pribadinya itu. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia memejamkan mata, bayangan kehancuran rumah tangga menari-nari di pelupuknya.
Getaran ponsel memaksa Shenata mengambil alat komunikasi itu dari tasnya. Tulisan "Bear" terpampang. Dibiarkannya ponsel itu mati dengan sendirinya. Berulang kali Yifez berupaya menghubungi, tapi tetap dibiarkan. Ia melemparkan pandangan ke luar jendela mobilnya. Matanya mengamati jalan Gerbang Pemuda yang pagi itu masih lengang, tapi pikirannya jelas tidak ditujukan ke pemandangan yang dilihatnya. Ia kemudian teringat sesuatu dan segera mengetik sebuah pesan di ponsel. Setelah menunggu jawaban beberapa menit, sebuah pesan balasan masuk. Lengkung tipis tercipta di bibir Shenata.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, Shenata sudah berada di Stariffic Public Speaking School yang terletak di salah satu gedung perkantoran kawasan strategis Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta Selatan. Stariffic adalah lembaga yang didirikan Shenata 5 tahun silam bersama tiga temannya, yaitu Albert, Rania, dan Monica.
Setelah meraih gelar Master di bidang Global Media Communication, Shenata diterima dalam program Management Trainee salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang fast moving consumer good¹. Management Trainee (MT) adalah sebuah program yang dirancang oleh perusahaan untuk membekali karyawan baru agar lebih siap dalam menjalankan pekerjaannya sekaligus mendidik calon pemimpin perusahaan di masa mendatang. Program MT di perusahaan Shenata berlangsung selama 30 bulan yang dirotasi ke 5 fungsi berbeda.
Di setiap fungsi, para peserta program ini harus membuat proyek yang dievaluasi oleh manajemen. Shenata menunjukkan performa yang cukup menonjol dibanding rekan-rekannya di setiap fungsi yang dimasukinya. Setelah dinyatakan lolos dari program MT, ia langsung mengisi posisi sebagai Public Relation Manager, sebuah pekerjaan yang sangat disukainya karena mampu mengekplorasi segenap potensi diri.
Shenata dengan berat hati mengundurkan diri dari pekerjaan yang baru digelutinya selama 3 tahun itu setelah menikah dengan Yifez. Kendati sangat mencintai pekerjaannya, ia ingin lebih leluasa membagi waktu untuk karir dan rumah tangga. Salah satu seniornya semasa kuliah S1 - yang pernah sama-sama aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa - Albert Gontha, mengajaknya untuk mendirikan lembaga pelatihan Public Speaking. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Shenata.
Albert pun menggandeng dua temannya, yaitu Rania yang saat itu berprofesi sebagai penyiar radio dan Monica yang terkenal sebagai News Anchor, untuk merintis Stariffic.
Shenata menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian bangkit dan berjalan menuju sisi ruangannya yang terbuat dari kaca stopsol.
Di depan dinding kaca yang menyajikan pemandangan kepadatan ibukota, ia berdiri tegak, kedua tangannya memegang pinggang, mengangkat dagu, dan mengatur napasnya. Superman pose, sebuah sikap yang diyakini meningkatkan kepercayaan diri. Shenata sangat memerlukannya untuk menjalani hari ini.
***