Chereads / When I'm Broken / Chapter 5 - MEYAKINKAN DIRI SENDIRI

Chapter 5 - MEYAKINKAN DIRI SENDIRI

"Hai, di sini kau rupanya," tegur Raina, salah satu rekannya sesama pendiri Stariffic yang juga akan mengisi sesi seminar siang ini bersamanya.

Raina adalah mantan penyiar radio ternama ibu kota, memiliki suara dan wajah yang sama indahnya. "Kau langsung dari rumah ke sini?"

Shenata tersentak dari lamunannya, lalu mengangguk. "Tadi ada keperluan di sekolah Ines sebentar, setelah itu langsung ke sini."

Raina duduk di kursi rotan dengan bantalan duduk berwarna biru, bersebelahan dengan Shenata. Ia melihat sup yang sepertinya sama sekali tidak tersentuh di meja. "Kok tidak dimakan?"

"Awalnya ingin, tapi lalu hilang selera."

"Kenapa? Tidak cemas kan? Mana pernah Shenata cemas mau manggung," seloroh Raina. Ia memang tidak pernah melihat temannya ini demam panggung.

Shenata tersenyum. "Tidak apa-apa, hanya rasanya tidak lapar."

Raina memandangi Shenata, ada yang sedikit berbeda dengan temannya ini. Shenata yang selalu ceria, hari ini tampak sedikit muram. Saat mengamati, ia melihat kornea mata temannya memerah. "Kenapa matamu, Shen?"

Shenata tersentak. Ia segera mengambil tempat bedak, ingin melihat apa yang terjadi pada matanya. Rasanya ia sudah menutupi bekas pukulan Yifez dengan concealer. Betapa terkejutnya saat melihat bercak-bercak merah pada bagian putih matanya.

Shenata mengembuskan napas. Luka itu jelas akibat pukulan Yifez.

"Aku tadi terpeleset di rumah saat keluar kamar mandi, mukaku membentur lantai, tapi tidak menyangka jadi begini." Shenata memberikan penjelasan palsu. "Kelihatan jelaskah, Ni?

Raina menggeleng. "Kalau dari jauh sih tidak kentara, Shen. Nanti kau periksakan saja ke dokter."

Shenata mengangguk, tapi dalam hati menolak saran temannya.

Aturan di keluarga Yifez - keluarga Yoga Dharmawan - terkait reputasi sangat ketat. Ada daftar nama dokter yang sudah ditetapkan karena dijamin akan menjaga nama baik, tidak boleh pergi ke sembarang dokter.

Untuk menemui dokter pilihan keluarga itu, Shenata lebih sungkan karena akan diketahui oleh mertuanya dan interogasi panjang sudah pasti harus dijalani.

"Tidak ada rasa perih atau sakit?" Raina cemas akan kondisi temannya, khawatir akan memengaruhi performanya di panggung nanti.

Shenata menggeleng. "Sama sekali tidak, makanya aku kaget saat kau bilang tadi."

"Semoga bukan masalah serius," harap Raina.

"Kuharap begitu," sahut Shenata tersenyum. Sekilas ia melihat Hilda meniti jembatan kayu menuju tempatnya duduk. Kemungkinan pertanda sesinya akan segera dimulai.

"Sudah akan dimulai, Hil?" tanya Shenata begitu yuniornya itu mendekat.

"20 menit lagi, Bu," sahut perempuan yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Shenata dan berkulit putih bersih itu.

"Oke," sahut Shenata sambil merapikan barang bawaannya. "Oh ya, Hilda, coba kau lihat jadwalku bulan depan. Sepertinya ada beberapa pelatihan yang kau sudah sering mendampingiku, mungkin sudah saatnya kau mencoba mengisi sebagai trainer utama. Bulan ini kita lakukan dulu secara tandem, aku akan membimbingmu. Tidak usah khawatir. Aku percaya pada kemampuanmu."

Hilda tersenyum, antara senang dan cemas. Senang karena mendapat kesempatan, cemas karena harus menggantikan Shenata yang sangat piawai.

Raina menangkap emosi Hilda, berusaha membesarkan hati yuniornya. "Semua selalu ada kata pertama kali, Hil. Semua juga pernah dalam posisimu, cemasnya luar biasa. Nanti lambat laun akan terbiasa." Ia lalu menoleh ke arah Shenata. "Kau ada rencana apa bulan depan?"

"Mau cuti. Bulan ini aku dan Yifez padat sekali, selalu pulang malam. Sekali-kali curi waktu buat berduaan dong," ujar Shenata.

"Biar lebih mesra? Kurang mesra apa lagi sih?" goda Raina.

Shenata tergelak, tapi hatinya terasa perih. "Yuk, kita masuk, Ni," ajaknya mengalihkan rasa teriris yang tiba-tiba muncul. Ia beranjak dari duduknya, ingin memoles wajahnya terlebih dahulu di kamar kecil. Ia harus memastikan wajahnya tidak terlihat seperti wanita yang baru saja dipukuli suaminya.

***

Shenata sedang mengompres matanya saat Yifez masuk kamar sepulangnya dari bekerja. Ia melirik jam di dinding, pukul 10.30 malam. Biasanya Yifez baru pulang jam 11 malam. Tumpukan kasus yang harus ditangani dan kemacetan ibu kota menjadi penyebabnya.

"Kenapa matamu?" tanya Yifez lembut sambil menurunkan pengompres di mata istrinya.

"Tadi pagi," jawab Shenata singkat. Ia sendiri tidak ingin menyinggung hal semacam itu lagi, mengingatkan pada cela dalam pernikahannya.

Yifez mengamati dan menciumi mata istrinya. "I'm so sorry."

"It's okay. Jangan diulangi, please," pinta Shenata lirih.

Yifez tersenyum. "Aku janji, tapi kau juga jangan menantangku, okay?"

Shenata mengangguk, walau dalam hati juga bertekad tidak akan tinggal diam apabila disakiti lagi.

"Apakah kau ke dokter?" tanya Yifez sambil membuka kemejanya.

"Tidak. Aku tidak mau urusan menjadi panjang," sahut Shenata.

Yifez tersenyum lega sebelum melangkah masuk ke kamar mandi. Shenata tahu betul tuntutan dan aturan main di keluarganya.

Shenata mengamati kondisi matanya di cermin. Berdasarkan informasi yang didapat dari internet, kondisi ini kemungkinan adalah pendarahan subkonjungtiva yang akan hilang dengan sendirinya, tapi lebih cepat apabila dibantu dengan mengompres mata dengan air suhu normal. Ia berharap semoga tidak ada dampak serius di matanya ini akibat perilaku kasar Yifez.

Pikirannya melayang, suaminya itu akhir-akhir ini menujukkan sifat yang cukup emosional, mudah tersinggung dan terusik hanya dengan satu atau dua kata yang tidak berkenan di hati.

Sejak dulu, Yifez adalah sosok yang penyayang, meski cenderung keras kepala dan kerap melontarkan kata-kata kasar apabila marah.

Namun, lelaki itu sama sekali tidak pernah menyakiti dirinya, bahkan memperlakukannya seperti seorang ratu hingga lima tahun usia perkawinan mereka.

Shenata berusaha meyakinkan diri bahwa hal tersebut kemungkinan disebabkan tekanan pekerjaan. Sebagai pengacara, kompleksitas kasus dan urusan dengan para penegak hukum pasti memicu peningkatan kadar kortisolā· Yifez.

Shenata menghela napas berbarengan dengan Yifez yang keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat sangat segar dan aroma magnolia dari sabun mandi menyeruak. Ia segera mengambil kaos dan celana pendek untuk suaminya.

"Ines sudah tidur?" tanya Yifez sambil memakai pakaian yang telah disiapkan oleh istrinya.

"Sudah," sahut Shenata.

"Aku menciumnya dulu, ya," ujar Yifez. Ia mencium Shenata, kemudian berjalan menuju pintu kamar.

Shenata memandangi punggung suaminya. Yifez adalah sosok ayah yang penuh kasih sayang. Ines begitu mengidolakannya. Interaksi antara Yifez dan Ines teramat akrab, bahkan anak itu seringkali lebih menurut pada ayahnya. Benar-benar tidak ada alasan bagi Shenata untuk tidak mengatakan bahwa suaminya itu adalah sosok penyayang.

Ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil menunggu Yifez. Teringat kembali pada unggahan Cessa. Segera diraihnya ponsel dan membuka akun sosmed sahabat lamanya itu.

Berbagai foto berisi imbauan anti kekerasan dalam rumah tangga mendominasi unggahannya. Ia terakhir kali bertemu dengan Cessa saat berlibur ke New York dua tahun silam.

Sejak dulu, Cessa memang sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap isu-isu sosial, sehingga tidak mengherankan ia sekarang menjadi aktivis anti KDRT.

***