Emma tersenyum. Betapa ia sangat bahagia memiliki Yifez sebagai menantunya.
Langkah kaki terdengar memasuki area ruang tamu.
"Itu pasti Papa," terka Emma yang sudah hafal tekanan langkah suaminya.
Tidak lama seorang pria berusia 65 dengan senyum lebar muncul di ruang keluarga. Arman Angkara, pemilik ANARA Grup, perusahaan yang bergerak di bidang property developer.
"Shenata dan Yifez sudah datang, ya?" tanyanya memastikan. Ia melihat Lexus milik Yifez terparkir di halaman.
"Sehat, Pa?" Yifez bangkit dari duduknya dan mencium tangan bapak mertuanya.
Arman menepuk pundak menantu kesayangannya. "Sehat. Mana Ines?" Ia celingukan mencari cucu perempuannya.
"Kami belum sempat menjemputnya, Pa. Mohon maaf sekali kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dari klien besar malam ini." Yifez mengulang permintaan maaf kepada mertuanya.
Arman tersenyum, walaupun hatinya masygul. Ia berusaha memahami kesibukan menantunya yang merupakan pengacara muda dengan karir meroket. Teringat dahulu ia pun sering kali meninggalkan acara penting keluarga demi kelancaran bisnisnya.
"Makan malam dengan kami bisa diulang lain waktu, tapi makan malam dengan klien besar itu peluang yang tidak boleh dilewatkan," ujar Arman, menghibur istri dan dirinya sendiri.
"Terima kasih atas pengertiannya, Pa ... Ma," ucap Yifez. "Saya sudah berusaha menggeser jadwal, tapi beliau sangat padat jadwalnya."
Arman dan Emma tersenyum, menganggukkan kepala, memberi tanda bahwa mereka dapat memahami situasi Yifez.
"Klien untuk kasus individu atau korporasi?" tanya Shenata.
"Individu," sahut Yifez.
"Tentang?" Shenata kembali mengajukan pertanyaan.
"Penipuan dan pencemaran nama baik."
"Klien besar berarti orang ternama, dong?" tanya Shenata lagi.
Yifez mengangguk sambil memandangi istrinya berusaha menduga maksud di balik semua pertanyaan tersebut.
"Kalau begitu pasti pembicaraannya sangat rahasia. Aku sebaiknya tidak usah ikut, khawatir membuat dia merasa tidak nyaman dengan kehadiranku. Lagi pula Damian tidak mungkin datang makan malam sekarang karena masih bertengkar. Kasihan Mama Papa hanya ditemani Davina merayakan ulang tahu perkawinannya. Aku akan minta Joko mengantar Ines ke sini." Shenata dengan cepat mengambil kesempatan. Ia sengaja melakukannya di hadapan kedua orang tuanya, tahu bahwa Yifez tidak mungkin berkelit dalam situasi ini.
Emma memandangi Yifez dengan wajah berbinar, seolah berharap mantunya itu mengabulkan permintaan Shenata.
Yifez memaki dalam hati. Shenata selalu jeli melihat peluang untuk memaksakan keinginan. Ia merasa terjepit. Dengan berat hati akhirnya mengangguk.
"Aaaah ... thank you, Bear." Shenata menjerit kegirangan. Ia menciumi pipi suaminya, lalu meraih ponsel menelepon Joko - sopir pribadi mereka - untuk mengantarkan Ines ke rumah kakek neneknya.
"Kalau begitu, aku pamit dulu sekarang, khawatir terlambat menemui klien." Yifez segera pergi sebelum emosinya terbaca oleh Arman dan Emma.
"Sampai nanti, Bear." Shenata tersenyum semringah sembari melambaikan tangan saat Yifez berjalan ke luar. Shenata terlalu girang, tak dilihatnya wajah Yifez yang mulai berang.
***
Shenata sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca buku Resonate: Present Visual Stories that Transform Audiences karangan Nancy Duarte - seorang penulis dan pembicara publik ternama dari Amerika - saat ponselnya yang tergeletak di samping nakas bergetar.
Lengkung tipis terbentuk di bibirnya saat melihat pesan masuk yang dikirim oleh Hilda, sebuah foto yang diambil dari belakang saat ia dan Yifez berjalan berangkulan bersama. Ia segera membalas pesan, mengucapkan terima kasih karena Hilda berinisiatif mengambil momen tersebut dan mengirimkan padanya. Yuniornya ini memang penuh perhatian.
Disuntingnya foto tadi ke dalam warna sepia. Sebuah kutipan disematkan di bawah foto "For me, our love story is the best one in this world" sebelum diunggah ke akun sosial medianya. Dalam sekejap puluhan respons dari para pengikutnya bermunculan. Komentar berisi kekaguman atas keromantisan mereka mengisi kolom yang tersedia. Shenata mengembuskan napas, tersenyum bahagia. Perkawinannya memang sempurna.
Pintu kamar terbuka, Yifez masuk dengan dasi yang sudah bergeser dari posisi seharusnya, lengan panjang kemeja tergulung hinga ke siku. Meski kusut, namun pria itu masih terlihat memesona di mata Shenata.
"Bagaimana makan malamnya, Bear?" tanya Shenata. Ia beringsut dari tempat tidur, menghampiri suaminya, hendak membantu membuka dasi.
"Bagaimana menurutmu?" Yifez balik bertanya dengan nada ketus.
Shenata memandangi wajah Yifez. Rahang pria itu mengeras. Ia yakin penolakannya untuk ikut menemani makan malam bersama klien pasti menjadi alasan kekesalan suaminya.
"Maafkan aku tadi sore. Aku ..."
Plaaaak! Tamparan keras mendarat di pipi Shenata sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Tamparan yang membuatnya jatuh tersungkur.
Shenata terperanjat. Baru kali ini Yifez bersikap kasar. Baru kali ini ada orang yang menyakiti fisiknya, dan orang itu adalah pria yang teramat dicintainya. Ada rasa perih di dada yang melebihi rasa panas di pipinya, ternyata kehidupan perkawinannya tidak sesempurna yang dibayangkan.
***
Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Shenata untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini.
Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Shenata yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya.
Yifez yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengamati penampilan Shenata sejenak, lalu memeluknya dari belakang. "You look more beautiful everyday." Ia menciumi tengkuk istrinya.
Shenata tersenyum. Sudah seminggu ini, sejak kejadian penamparan pertama, Yifez terlihat amat menyesal. Ia bersikap sangat manis, selalu membawakan berbagai makanan kesukaan Shenata tiap pulang kerja, memberikan cincin berlian, menyempatkan diri makan siang bersama di sela kesibukan, bahkan pernah sekali mereka melanjutkan dengan check-in hotel untuk sekadar melampiaskan hasrat yang tiba-tiba menggelora. Berulang kali, Yifez pun menyampaikan penyesalannya telah menyakiti fisik Shenata. Kondisi lelah akibat tumpukan kasus menjadi dalih mengapa Yifez khilaf melakukannya. Alasan yang dengan mudah dimaklumi dan diterima oleh Shenata.
"Bagaimana jika akhir pekan ini kita pergi berdua saja?" usul Yifez menghirup aroma citrus yang menguar dari rambut istrinya.
"Mau ke mana, Bear?" tanya Shenata sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang Yifez.
"Terserah kau, Bali, Lombok, Belitung, Singapore. Mana saja yang kauinginkan." Yifez menciumi pipi istrinya.
"Akhir pekan ini aku sudah janji menemani Ines ke toko buku. Lagi pula seminggu ini kita selalu pulang malam, kasihan Ines jika harus ditinggal," tolak Shenata dengan halus.
***