Chereads / When I'm Broken / Chapter 2 - DARI KACAMATA ORANG LAIN

Chapter 2 - DARI KACAMATA ORANG LAIN

Di luar ballroom, Shenata, kedua yuniornya, dan dua panitia perempuan tadi menikmati kudapan dan teh hangat sambil berbincang-bincang. Marni dan Nur secara terbuka mengungkapkan kekagumannya terhadap penampilan Shenata di atas panggung.

"Halo, semua," sapa seorang dari belakang Shenata. Seorang pria berkulit cokelat, bertubuh tinggi atletis, dengan penampilan yang maskulin dan wajah rupawan.

Shenata menoleh ke sumber suara dengan wajah terkejut, tidak menduga kehadiran lelaki itu di sini.

"Sore, Pak Yifez," sahut Brilyani dan Herlin berbarengan membalas sapaan Yifez, suami Shenata.

Yifez menyodorkan drink tray yang berisi empat buah gelas berukuran grande, berlogo Starbucks kepada Brilyani. Perempuan itu langsung menerima pemberian Yifez dengan semringah dan membaginya kepada Herlin, Marni, dan Nur.

Yifez kemudian melingkarkan tangan di pinggang Shenata. "Semua berjalan lancar, Honey?" tanyanya sembari mengecup kepala istrinya.

"Hai, Bear," sahut Shenata seraya memeluk pinggang Yifez. Ia terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan "Bear" menggambarkan sosok yang nyaman untuk dipeluk dan menggemaskan. "Lancar, dong. Berkat doamu tadi pagi."

Marni dan Nur yang masih mengagumi ketampanan dan kebaikan Yifez membawakan kopi untuk mereka, semakin iri dengan kemesraan pasangan di hadapannya itu.

"Kami duluan, Bu," pamit Shenata kepada Marni dan Nur. Ia kemudian berkata pada Brilyani dan Herlin, "Aku langsung pulang, ya. Tidak kembali ke kantor lagi."

"Baik, Bu," sahut kedua yuniornya berbarengan dengan Marni dan Nur yang turut memberikan izin bagi Shenata untuk meninggalkan tempat.

Kedua pasangan serasi itu pun berlalu. Yifez merangkul pundak Shenata yang kemudian menyandarkan kepala di pundaknya.

"Ya ampun, mesra banget, sih," ucap Marni pelan. Matanya masih memandang pasangan yang berjalan menjauh itu.

"Pak Yifez ganteng banget, lebih cakep dari bapaknya," ujar Nur. "Kayak bintang film, ya."

"Ganteng, baik, sayang sama istri," timpal Marni dengan rasa iri yang kian membuncah. Ia menoleh pada Herlin. "Kerjanya apa si Pak Yifez itu?"

"Pengacara, Bu. Cukup terkenal, kok." Herlin tersenyum. Hal seputar Shenata dan keluarganya sudah sering ditanyakan oleh para peserta seminar atau pelatihan, bahkan panitia seperti kedua wanita ini. Ia dan Brilyani pun sudah menghafal semua tentang kehidupan pribadi Shenata sebagai antisipasi.

"Ganteng, baik, sayang sama istri, anak pejabat, karir sukses, dan kaya. Paket lengkap, Wat," ujar Nur. "Aku yang tidak suka kopi saja sampai minum pemberiannya, tersihir sama Pak Yifez."

Ketiga orang lain terbahak mendengar ucapan Nur. Semua sepakat, baik Shenata maupun Yifez sama-sama dapat membuat orang lain tersihir.

***

"Ada kegiatan di seputar Mega Kuningan? Kok bisa jemput aku?" tanya Shenata sembari meneguk Caramel Macchiato - minuman favoritnya - yang dibelikan Yifez.

"Kenapa? Keberatan kujemput? Ada acara yang terganggu?" Yifez berbalik bertanya sambil menjalankan Lexus ES 250 silver miliknya. Ada nada kesal di suaranya.

Shenata menggeleng. "Sama sekali tidak keberatan, dong. Justru senang dijemput suami tersayang." Ia berusaha tidak tersinggung dengan pertanyaan Yifez, menduga suaminya sedang dalam mood buruk karena urusan pekerjaan.

Yifez tidak berkomentar, terlihat fokus dengan jalanan di hadapannya.

"Nanti malam kita jadi ke rumah Mama, kan," ujar Shenata mengingatkan rencana makan malam memperingati ulang tahun perkawinan kedua orang tuanya.

"Aku ada undangan makan malam dengan klien besar. Jadi, kita ke rumah orang tuamu sekarang saja. Aku sudah belikan cheese cake kesukaan Papa dan buket mawar merah favorit Mama," sahut Yifez.

"Kalau begitu, boleh aku tetap makan malam di rumah Mama? Kau kan ada acara makan malam dengan klien," pinta Shenata. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah jauh-jauh hari merencanakan makan malam bersama.

"Kau ikut denganku makan malam!" tegas Yifez. Nada suaranya mencerminkan bahwa ia tidak mau bernegosiasi.

"But, Bear ...," rajuk Shenata. "Aku bahkan tidak kenal siapa klienmu, aku tidak akan bisa mengikuti pembicaraan kalian."

"Tidak ada tapi-tapian!" Nada suara Yifez meninggi.

Shenata diam. Tidak ada gunanya membujuk Yifez jika ia sudah bertitah seperti itu. Namun, bukan Shenata jika menyerah begitu saja. Ia memutar otak, mencari rencana lain agar bisa tetap menghadiri acara ulang tahun pernikahan orang tuanya dan menghindari jamuan makan klien Yifez.

***

Sebuah mobil memasuki halaman besar kediaman orang tua Shenata di bilangan Pondok Indah, salah satu perumahan elit di Jakarta. Rumah bergaya modern mediterranean yang menempati lahan seluas hampir 500 meter persegi itu terlihat lengang. Shenata menduga ayahnya pasti belum kembali dari aktivitasnya sore itu. Kemungkinan di rumah hanya ada ibunya.

"Hai, Mama," sapa Shenata begitu dilihatnya ibunya yang sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Ia mencium tangan ibunya.

"Oh ... hai, Shen," sahut Emma, ibu Shenata. Ia terkejut melihat anaknya sudah tiba sebelum magrib.

"Hai, Ma. Selamat ulang tahun perkawinan," ucap Yifez sambil memberikan buket bunga mawar merah. Ia pun menyalami dan mencium tangan ibu mertuanya.

"Ah ... terima kasih, Yifez. Bunganya cantik sekali." Emma menghirup wangi bunga favoritnya. "Tumben kalian sudah datang jam segini. Mana Ines?" Ia menanyakan kehadiran cucunya, anak perempuan Shenata.

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Ma. Kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dengan klien besar. Saya menyempatkan diri pulang cepat dan langsung menjemput Shenata, belum sempat mengambil Ines di rumah." Yifez mengungkapkan penyesalannya.

Emma berusaha tersenyum, meskipun dalam hati menahan rasa kecewa. Ia tidak mau dianggap sebagai ibu mertua yang tidak peduli dengan kesibukan mantunya. "Tidak apa-apa, Ez. Kalian sudah menyempatkan diri datang sekarang saja, Mama sudah senang."

"Papa belum pulang?" tanya Shenata. Ia duduk berselonjor di sofa.

"Sekitar sepuluh menit lalu telepon, katanya sudah dalam perjalanan pulang," sahut Emma. Ia lalu memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan minuman bagi anak dan mantunya. "Terima kasih cheese cake-nya. Papamu pasti suka." Ia kemudian meminta asisten rumah tangga meletakkan kue itu di meja makan.

"Yifez yang belikan tadi, Ma," ucap Shenata.

Emma tersenyum. Menantunya ini sangat tahu apa yang menjadi kesukaan mertuanya.

"Kita tunggu Papa saja ya, Honey," usul Yifez. Ia duduk di samping Shenata, meletakkan kaki istrinya di atas pangkuan dan memijatnya.

Shenata mengangguk, menyetujui saran Yifez sekaligus menikmati pijatan suaminya. Dua jam berdiri dengan stiletto⁴ membuat kakinya nyeri.

"Ada mobil Davina di depan. Dia sudah pulang?" Shenata menanyakan tentang Davina, adik perempuannya.

"Sudah. Sejak pulang tadi siang, tidak keluar dari kamar," sahut ibunya.

"Bertengkar lagi dengan Damian?" Shenata memandangi ibunya. Sudah setahun ini rumah tangga Davina dan Damian dipenuhi dengan pertengkaran. Adiknya itu bahkan memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya sejak sebulan lalu, berpisah dari suaminya.

"Entahlah. Adikmu kan tidak pernah mau bercerita tentang hal semacam itu. Mama juga tidak berani ikut campur," jawab Emma. "Pernah sekali bertanya, dia langsung jawab 'jangan samakan aku sama Kak Shen yang pernikahannya sempurna'. Ya sudah, semenjak itu Mama tidak pernah mau tanya-tanya lagi."

"Mungkin sedang sensitif saja, Ma," bujuk Yifez. "Bukan salah Mama."

***