Chereads / Cakrawala Asmaradanta / Chapter 12 - Chapter 12: Sepatu yang Mempertemukan Cakara dan Ivory

Chapter 12 - Chapter 12: Sepatu yang Mempertemukan Cakara dan Ivory

Kedua kaki jenjang itu memainkan sampah dedaunan di bawah sana.

Ia menginjak-injak daun kering di kakinya sembari menggosok kedua lengannya dengan keras. Ia kedinginan. Sudah jelas terasa di kedua kakinya yang mulai kesemutan, telapak tangannya yang membeku, dan tubuhnya yang bergetar menggigil. Jelas sekali ia merasa kedinginan.

Bagaimana tidak? Kali ini ia sedang melawan angin malam yang berembus di musim gugur dengan hanya mengenakan selembar piama tipis dan bertelanjang kaki. Belum lagi suhu malam ini mencapai minus dua derajat. Ditambah embusan angin yang seolah mengejeknya, mentertawakan kebodohannya yang berani meninggalkan atap rumah hangat itu demi menuruti egonya semata.

Ivory mengusap matanya yang basah. Sedari tadi ia memang menghitung detik dengan menangis di taman yang letaknya tak jauh dari rumah pasangannya. Sedari tadi pula ia menghabiskan waktunya di sini, sendiri, dalam hening kesedihannya.

Bisa dikatakan ia sedih. Bisa dibilang ia takut. Bisa pula campuran keduanya.

Ia ketakutan semenjak Aaron mulai menyentuhnya. Belum lagi cumbuan hangat nan menggelitik di sekujur tubuhnya yang nyaris saja membuatnya khilaf. Ivory bersumpah ia akan sulit melupakan kenangan itu dari benaknya.

Tak lama setelah Ivory memunguti pakaiannya yang mulai dilucuti Aaron, ia bergegas berlari dari rumah itu hingga akhirnya tiba di taman ini. Ia menumpahkan ketakutannya dalam bulir air mata.

Ia akui, dirinya memang cengeng. Tapi sungguh, bukan lah kenangan yang menyenangkan ketika tubuhmu diraba-raba orang asing. Ivory tak menyukainya. Ia merasa dilecehkan.

Serendah itu kah dirinya di mata Aaron?

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sebuah pertanyaan menerpa gendang telinganya.

Ivory mendongakkan pandangannya dan seketika kedua mata lebarnya membola kaget. Paniknya melanda sekujur sukmanya. Ia tergagap menjawab pertanyaan sederhana orang di hadapannya.

"Tidak ... Sungguh ... Aku hanya perlu menghirup udara sebentar. Aku—"

"Jangan takut. Aku hanya bertanya."

Ivory kembali bersumpah jika baru kali pertama ini ia mendengar dan melihat sosok seperti pria di depannya ini bersuara lembut dan tenang. Tak ada sedikit pun nada galak atau bossy yang menjadi ciri khas mereka. Tak ada pula tatapan tajam dan senjata yang biasa dibawanya untuk mentertibkan warga sekitar yang membandel.

Tidak ada Guardian yang terlihat seperti orang ini.

"Aku hanya penasaran, kenapa ada orang yang mau menghabiskan waktunya di luar di cuaca yang sedingin ini?"

Pria itu tersenyum.

Guardian itu tersenyum.

Tidak ada Guardian yang tersenyum sebelumnya.

Yang ada mereka hanya terlihat seperti robot; dingin dan tak berperasaan. Benar kah pria di depannya itu Guardian?

Tapi dia memang terlihat seperti Guardian asli.

Lihat lah seragam press body berwarna donker khas yang ia kenakan, yang mana dilengkapi dengan berbagai lencana yang terlihat lebih banyak dari Guardian pada umumnya. Belum lagi sepatu boots hitam mengkilap yang didesain khusus untuk para penjaga negeri itu. Belum lagi topi baret khas berhias lencana bintang yang hanya dimiliki oleh kaum seperti mereka.

Sudah pasti pria di depannya ini adalah Guardian, bukan?

"Kecuali jika orang itu kabur dari rumah atau semacamnya?"

Gawat.

Bahaya jika Ivory ketahuan kabur dari rumah pasangannya. Walau bagaimana pun statusnya, saat ini ia adalah peserta Copulation. Sudah pasti segala gerak geriknya akan dipantau oleh Para Petinggi dan mungkin juga oleh Guardian.

"A ... Aku ... Hanya..."

"Jangan takut," potong pria itu.

Pria itu beralih dari posisi berdirinya menjadi berjongkok tepat di depan kaki Ivory. Tubuh Ivory yang sebenarnya tak lebih tinggi dari Guardian itu pun mengkerut. Ia ragu-ragu dan takut akan pergerakan penegak disiplin di negaranya itu.

Dengan cekatan Guardian tersebut mengurai tali sepatu boot yang ia kenakan. Pria itu melepas satu per satu sepatunya hingga kini yang tersisa adalah kakinya yang terbalut kaos kaki wol tebal berwarna cokelat tua. Ia mengulurkan sepasang sepatunya ke depan kaki Ivory persis.

"Pakai sepatu ini. Kakimu bisa mati rasa nanti."

Kedua netra Ivory semakin membola lebar. Dengan kikuknya ia bergegas berdiri dengan menggelengkan kedua kepalanya kuat-kuat. Ia bahkan membungkuk untuk menolaknya.

"Tidak usah. Terima kasih. Maafkan saya," ucap Ivory terbata-bata.

Pria di depannya itu terkekeh ringan, membuat Ivory semakin bingung harus berbuat apa.

"Lihat lah kakimu. Kau tak memakai apa pun. Pakai saja sepatu ini sebelum kau harus dilarikan ke rumah sakit karena hipotermia," ucapnya dengan nada bersahabat.

Sikap Ivory yang masih diam membatu itu hanya semakin menambah cengiran di wajah Guardian berparas tampan itu semakin melebar.

"Kau ... Kau Guardian, bukan?"

Pria di depannya itu tersenyum simpul sebagai jawaban. Ia kembali berjongkok dan mengambil sepatu yang telah dilepasnya. Dengan gerakan lembut tapi tegas, ia menarik kaki Ivory dan memakaikan sepatu itu.

"Tidak ... Usah ... Astaga ... Kau tidak perlu—"

"Kakimu sedingin es batu. Masih mau mengelak tak mau memakai sepatu?"

Ivory masih membelalak, terguncang dengan perlakuan orang yang baru ditemuinya itu. "Tapi nanti kau ... jadi ..."

Segala perkataan Ivory yang tersendat tak digubris oleh orang itu hingga ia selesai menali sepatu bootnya yang pas di kaki Ivory itu. Pria itu berdecak puas dan berdiri lagi. Ia tersenyum simpul ke arah Ivory yang masih menganga terkejut.

"Sesuai dugaanku. Kakimu pas denganku."

Ivory menatap horor pada kakinya yang mulai menghangat. Kakinya kini terasa jauh lebih nyaman. Ia terlindungi oleh sepatu boots Guardian itu.

"Kau tak perlu melakukannya. Sungguh. Nanti kakimu yang malah kedinginan," ucap Ivory pelan.

Ia merasa tak enak telah membiarkan pria itu memakaikan boot miliknya ke kakinya. Ia menggerakkan kedua kakinya. Memang sepatu itu menempel pas di sana, tapi kaki orang di depannya yang sekarang hanya terbalut kaos kaki membuat ia tak tega.

"Sudah tugasku untuk melakukannya," jawab pria itu.

Ia melepas topi baret yang bertengger di kepalanya dan mengusap rambut hitamnya ke belakang, bak model shampoo yang biasa Ivory lihat di televisi di rumah Roger. Pria itu lalu memakai topinya lagi.

"Tapi kau ... Guardian," ucap Ivory tertahan. Ia ragu-ragu mengatakannya, namun ia sungguh penasaran apa yang terjadi dengan orang itu. "Bukan kah semua Guardian itu—"

"Sudah ku kira," potong pria itu. Ia tersenyum, bukan senyum ramah atau senyum hangat seperti sebelumnya, melainkan senyum yang mengandung gurat kesedihan yang terpancar dari gerakan bibirnya yang cukup tebal. "Arti dari Guardian adalah penjaga. Sudah tugas kami untuk menjaga seluruh warga negara ini," ungkapnya.

"Tapi tidak biasanya Guardian baik sepertimu," celetuk Ivory. Seketika ia menyadari kesalahannya barusan dan meralatnya, "Bukan maksudku Guardian itu jahat, hanya saja—"

"Ivory!"

Pertanyaan Ivory terpotong oleh panggilan dari sosok yang membuat Ivory pergi sedari tadi.

Aaron berlari menuju ke arah mereka berdua. Ia sedikit terengah begitu tiba di samping Ivory. Asap tipis keluar dari mulut dan hidungnya saking dinginnya.

"Kemana saja kau? Aku mencarimu kemana-mana," sengalnya.

Aaron melirik ke arah pria yang kini beralaskan kaus kaki di hadapan Ivory. Demi kesopanan, ia membungkukkan badannya memberi salam pada orang itu. Sedetik kemudian tangannya menarik Ivory mendekatinya.

"Ayo kita pulang. Kau bisa terkena masalah jika bertemu dengannya," bisiknya di telinga Ivory.

Sadar jika pasangannya hanya mengenakan atasan sebatas di atas siku, Aaron mendesah pelan. "Kenapa kau tak memakai jaket atau coat? Kau bisa mati kedinginan di sini," ujarnya lagi.

Pemuda bersurai cokelat itu lalu melepaskan long coat tebalnya dan menyampirkannya di pundak Ivory, merangkul gadis itu perlahan.

"Kau tidak perlu—"

"Aku harus," ucap Aaron tegas.

Ia membimbing agar pasangannya itu menjauhi Guardian bersurai hitam yang memandangnya dengan tajam.

"Aku minta maaf soal yang tadi. Seharusnya aku tak memaksamu," ujar Aaron. "Kita bicarakan hal ini nanti di rumah. Ayo."

Mereka berdua berjalan bersisian dengan Aaron yang sedikit mendorong tubuh Ivory agar berjalan lebih cepat. Ivory yang merasa tak enak hati karena pergi begitu saja, kemudian berhenti sejenak dari jalannya. Ia menoleh ke arah belakang dan tersenyum lemah pada sosok yang meminjamkannya sepatu.

"Guardian, terima kasih sepatunya. Akan ku kembalikan besok."

Mendengarkan ucapan terima kasih itu membuat hati salah seorang di sana menghangat. Sosok di belakang Ivory dan Aaron itu tersenyum tenang. Ia mengangguk sekali dan menjawab ucapan gadis yang sedang dirangkul Aaron.

"Namaku Cakara. Kembalikan kapan-kapan saja. Aku tak keberatan."

Dan mereka berpisah di tengah dinginnya malam.