Decit pintu itu sedikit membuat sosok yang berdiri di kegelapan menolehkan kepalanya ke belakang. Sosok yang sedari tadi memperhatikan dari balik kaca tipis yang menjadi penghalang antara dirinya dan orang di dalam ruangan tersebut menyunggingkan senyum simpul. Ia merasa puas dengan pemandangan di depan matanya.
Orang itu bahkan tak mempedulikan jerit kesakitan dari lima orang pemuda dalam ruangan itu. Matanya fokus menerawang, memandang sejauh yang bisa ia pandang. Ia kemudian bertepuk tangan kecil sebagai apresiasi atas kerja keras mereka yang ia sebut sebagai anak buah.
"Kerja bagus." Ia bergumam dan meninggalkan ruang pengap nan gelap itu.
Dari arah belakangnya, langkah kaki kecil menggema dan sebuah panggilan di lontarkan padanya.
"Tuan Park!"
Hanya dia.
Hanya sosok pria bertubuh kecil itu yang dengan berani memanggil Sang Maha Segalanya itu dengan tenang. Hanya ia yang dengan santainya melenggang mengekori Sang Dewan Tertinggi dengan gagah berani. Hanya ia yang bisa membuat pemimpin negara itu menghentikan langkah dan membalikkan badannya guna mencari tahu apa yang pemuda itu butuhkan sehingga ia memanggilnya di kala ia berjalan.
"Iya," jawab Dewan Tertinggi.
"Saya ingin memberikan laporan tentang perbatasan Timur dan Utara," ucap pemuda tampan itu. Lalu dia menambahkan, "Semua yang warga di sana lakukan dan rencanakan selama dua tahun terakhir telah tertulis di laporan yang saya bawa. Tuan Park hanya perlu memberikan perintah selanjutnya untuk para Guardian yang menjaga daerah perbatasan. Saya akan menyampaikan hal itu secara langsung pada mereka."
Dengan mantap pemuda itu menyerahkan stopmap putih tebal kepada atasannya dan membungkuk hormat.
"Bagus," jawab Tuan Park singkat.
Ia menerima stopmap itu tanpa melihat isinya sedikit pun. Kilat ketegasan di matanya seketika melunak kala melihat pemuda yang berdiri dengan senapan di tangannya. Ia lalu memberikan seulas senyuman teduh untuk sosok di hadapannya.
"Ku rasa kau tidak ada tugas jaga malam ini," ujarnya. "Pulang lah ke rumah. Ibumu menyiapkan makan malam spesial untuk merayakan ulang tahun kakakmu."
Pemuda di depannya itu tersenyum simpul dan mengangguk pelan.
"Aku akan pulang dalam 3 jam," ucapnya dengan senyum terkembang. "Ayah."
Sosok yang dipanggil sebagai Ayah itu mengangguk sekali dan mengusap lembut kepala pemuda itu.
"Bagus. Ayah merindukanmu akhir-akhir ini."
Hanya sedetik setelah Dewan Tertinggi itu berucap, ia segera menarik tangannya dan melenggang pergi meninggalkan pemuda itu sendiri.
Selalu seperti itu.
***
Ivory meraba-raba badannya.
Sekali lagi ia menyentuh piama yang melekat di tubuhnya. Pakaian berbahan sutera itu begitu halus dan lembut. Ia seperti dilingkupi oleh kapas. Belum lagi warna merah maroon yang menjadi warna dasar dari piama yang ia kenakan. Dirinya begitu jatuh hati dengan apa yang di pakainya.
Setelah bersikeras menolak menggunakan piama pemberian Aaron, ia tak dapat menolak untuk kedua kalinya. Aaron benar-benar bersikeras memintanya menggunakan segala yang sudah disediakan. Ivory bukannya tidak suka. Ia hanya merasa rikuh, dan tak ingin dianggap sebagai golongan manusia yang mendambakan harta saja. Tapi tetap saja, ia tak bisa memungkiri jika ia harus terbiasa dengan hal ini.
Ivory sudah mandi, sudah berganti pakaian, dan sekarang ia bingung harus melakukan apa.
Mereka sudah makan malam. Sudah membicarakan mengenai pakaian. Sudah mengitari seluruh rumah dan halaman untuk mengetahui lebih jauh tentang hunian tempatnya tinggal. Sekarang sudah pukul 11 malam. Semakin larut semakin membuatnya kalut.
Bukannya Ivory menunggu Aaron yang sekarang entah berada dimana, namun ia begitu gugup dan bingung.
Tujuan dari acara ini adalah penyerahan anak kepada pemerintah. Maka dari itu, ia harus berhasil hamil. Itu artinya mereka harus melakukan pembuahan...
Ivory belum siap.
Demi apa pun, gadis berusia 20 tahun itu merasa sangat sangat tidak siap. Ia tak bisa membayangkan tubuhnya dikungkung dan dijamah oleh Aaron. Semua itu terasa terlalu mengerikam untuk ia bayangkan. Ia rasa ia tak akan pernah siap.
Apa yang harus ia lakukan?
"Kau di sini rupanya"
Ivory terlonjak mendapati pemuda yang tengah dilamunkannya masuk ke dalam kamar. Matanya berkedip liar. Ia mencoba memandang kemana saja selain ke arah pasangannya.
Rasa-rasanya ingin sekali ia melompat dan kabur saat itu juga. Akan tetapi, alih-alih kabur, ia memilih untuk berdehem ringan dan mengangguk pada Aaron.
"Aku menunggumu."
Ivory menampar bibirnya yang asal berujar. Ia dan segala keceplosannya terkadang membuatnya jengkel pada dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak benar-benar menunggu Aaron. Hanya saja mulutnya salah memilih kata.
"Ah, tidak. Maksudku, aku ... umm—"
Aaron terkekeh melihat pasangannya yang saat ini terlihat begitu gugup.
"Kau begitu polos, Ivory. Menggemaskan."
Blush.
Pipi Ivory terasa hangat.
Buruk bagi jantungnya yang berdegup semakin kencang.
"Bukan itu maksudku. Aku hanya ... ah, kau tahu lah. Aku ... hmm ... tak tahu harus melakukan apa."
Aaron tertawa lepas kali ini. Ia meletakkan kantong belanjaan di meja kamar itu dan berjalan mendekati Ivory. Dengan santainya ia mendudukkan dirinya di sebelah Si Gadis yang saat ini tengah membulatkan kedua bola matanya. Tangannya terulur begitu saja dan mengusap pipi gadis dengan nama belakang Kelana tersebut dengan lembut dan penuh kehati-hatian.
"Pipimu merah, jika kau ingin tahu."
Ivory menundukkan pandangannya, tak berani menatap amber Aaron yang secara misterius dapat membuatnya kesulitan bernapas.
"Ivory, pernah kah kau berkencan?"
Jemari lentik yang semula menyentuh lembut pipinya kini turun dan beralih pada bibir tipis Ivory. Aaron mengusap belah mungil itu dengan gerakan lambat. Sentuhan asing itu membuat lutut Ivory terasa tak bertulang.
"Aku tak ada waktu untuk berkencan," jawab Ivory nyaris berbisik. Ia masih tak berani mendongakkan kepalanya barang satu senti pun.
Berniat menggoda pertahanan gadis di sebelahnya, Aaron mendekatkan wajahnya lagi pada Ivory dan menghirup aroma sabun yang begitu menyegarkan indera penciumannya. Aroma Ivory entah mengapa seolah membangkitkan sesuatu dari dalam tubuh Aaron. Sesuatu yang membuatnya sejenak melupakan kekasihnya yang kini tak lagi tinggal seatap.
"Jadi kau belum pernah—" Ia semakin merapatkan tubuhnya pada gadis Kaum Sekunder itu. "—bercumbu dengan siapa pun sebelumnya?"
Jemari itu menyentuh pelan dagu Ivory dan mengangkatnya sehingga kedua pasang netra itu saling beradu.
Ia lemah.
Ivory lemah akan tatapan tajam Aaron.
"Jadi bibirmu itu—" Hidung Aaron kini menyentuh hidung mancung pasangannya, menggeseknya perlahan. "—belum pernah dikecup siapa pun?"
Sesungguhnya, Aaron tak perlu mendapatkan jawaban yang telah ia ketahui.
Ivory menatap takut-takut wajah Aaron yang tak lagi jauh dari jangkauannya. Tubuh Ivory begitu kaku dan tegang, dan entah mengapa Aaron menyukainya. Menyukai bagaimana ia dapat dengan mudahnya memojokkan gadis manis itu.
"Boleh kah aku jadi yang pertama bagimu?"