"Telepon aku begitu kau sampai rumah."
"Of course, Love. Aku akan langsung mengabarimu nanti."
"Baiklah. Kemari."
Dua insan yang berada dalam sebuah ikatan hubungan asmara itu saling berpeluk erat dan mengecup bibir satu sama lain. Keduanya seperti tersiram oleh seember lem yang membuat tubuh mereka tak dapat menjauh. Semakin merekat kuat.
Semakin meremat perasaan Ivory.
Maka, dengan sekuat tenaga Ivory mengalihkan pandangannya guna menghindari tontonan yang memanaskan hatinya. Netranya beralih menjelajah ruang dan benda di sekitarnya. Saat ini ia berada di ruang makan rumah pasangannya.
'Pasangan apa, dia saja sudah punya calon pendamping hidup sendiri' batin Ivory merana.
Lebih tepatnya rumah calon ayah dari bayi yang akan dikandungnya.
'Ugh, itu lebih mengerikan. Bahkan aku saja belum hamil. Bagaimana bisa menyebutnya calon ayah dari bayiku?' Ivory kembali membatin.
Entah apa pun status Aaron di hidupnya, yang terpenting saat ini adalah ia harus menghindari pasangan kasmaran yang akan berpisah itu dan melakukan sesuatu yang lebih produktif. Didorong oleh motivasi yang kuat agar segera menjauh dari love bird mengesalkan itu, Ivory bangkit dari duduknya dan memberesi semua piring dan gelas kotor bekas makan mereka bertiga. Dengan lihainya gadis yang memiliki gummy smile itu menumpuk beberapa piring menjadi satu gunungan. Dengan semua sumpit, sendok, dan gelas di puncak, ia mengangkatnya dengan mantap. Ivory membawa tumpukan benda kotor tersebut ke dalam bak cuci piring. Ia mendengus jijik kala mendengar desah dari Joy.
Bukannya mengucap perpisahan dan keluar, Aaron dan Joy malah asyik bercumbu tepat di balik punggung Ivory. Dengan hati yang kesal, ia menarik napas dalam-dalam menetralkan kegaduhan perasaannya. Setelah dirasa mulai tenang, ia beralih mengambil sepasang sarung tangan cuci berwarna hijau dan mulai membersihkan kotoran di gundukan piring itu.
"Toh aku juga ikut makan, dan wanita itu sudah memasak dengan hebat," ucapnya pada diri sendiri.
Ya, sekali lagi Ivory mengakui kebolehan Joy. Selain berparas rupawan, Joy rupanya juga handal dalam mengolah bahan pangan. Masakannya benar-benar luar biasa. Menurut Ivory, mungkin saja masakan itu setara dengan makanan di restaurant mahal yang hanya bisa ia lihat dari luarnya saja.
Membuat dirinya semakin menciut.
Bukan, bukan berarti ia tak bisa memasak karena demi apa pun, Ivory telah dilatih memasak selama bertahun oleh Sang Kakak. Kebetulan hobi kakaknya memasak, dan hal itu sedikit banyak menular padanya. Biasanya ia selalu merasa menang dalam hal perdapuran jika bersama dengan kakaknya. Menurutnya, masakannya tak bisa dibilang tak enak. Tangannya seperti punya rasa dalam setiap racikan yang ia buat.
Tapi tidak hari ini. Dia merasa dikalahkan oleh hidangan fantastis dari gadis berdada besar itu. Oh, sepertinya Ivory punya panggilan baru untuk calon istri Aaron. Gadis berdada besar...
Dan pinggul yang ramping, dan S Line body, dan senyum merekah, dan wajah cantik jelita....
Aarrghh.
Ivory semakin gila jika membandingkan dirinya dengan si pemikat itu.
"Hey, kenapa kau mencucinya."
Gumaman bernada rendah dari arah belakang sukses membuat sebuah piring meluncur jatuh dari tangan Ivory. Untung saja benda itu tidak pecah karena jarak tangan ke bak cucinya yang tak terlalu jauh. Ivory hanya menatap horror pada benda yang nyaris saja ia rusak itu.
"Ah, aku hanya risih melihat piring bekas makananku tergeletak begitu saja," bualnya.
Si pria yang menjadi bahan lamunan di kepalanya itu tertawa ringan. "Jangan. Letakkan saja. Aku punya pembantu yang mengurusi segala hal semacam ini."
Dengan santainya pria itu menarik tangan Ivory dari guyuran air dan meletakkan piring yang sedang dibilasnya. Ia membantu Ivory melepaskan sarung tangan hijau tanpa mengabaikan tangannya sendiri menjadi basah. Ivory buru-buru menarik tangannya karena ia kaget dengan perlakuan Aaron.
"Aku bisa sendiri—"
"Menurut lah," potong Aaron, membuat Ivory menutup rapat mulutnya. Entah bagaimana deep voice yang keluar dari bibir Aaron selalu menjadikan Ivory patuh akan titah pria tersebut. "Akan ku tunjukkan kamarmu," imbuh Aaron.
Sekali lagi, seolah Aaron terbiasa melakukan hal itu, pria itu menarik tangan Ivory meninggalkan ruang makan. Tangannya tak menggenggam, hanya melingkarkan jemarinya di pergelangan tangan Ivory. Mereka melangkahkan kaki menapaki lantai indah berwarna abu-abu yang mengeluarkan bunyi ketukan sepatu.
Ivory mengagumi rumah ini. Menurutnya, Aaron benar-benar memiliki selera yang bagus. Di setiap dinding yang ia lewati, selalu tergantung lukisan-lukisan yang Ivory tak tahu nilai seninya, tetapi memancarkan aura artistik nan elegan. Pemilihan warna dinding pun terbilang cukup berkelas. Aaron mewarnainya dengan perpaduan dimgray dan cornsilk yang cantik dan misterius secara bersamaan. Hanya dengan sekali lihat, Ivory sudah tahu jika pria yang tengah berjalan di depannya ini adalah orang yang memiliki minat pada seni.
Kedua orang itu berbelok ke kanan dan berhenti di balik sebuah pintu berwarna gading yang tertutup rapat. Aaron merogoh sesuatu dari dalam saku celana bahan yang ia kenakan dan menarik keluar sebuah silver key pipih. Ivory memperhatikan dengan gugup bagaimana pria itu memasukkan anak kunci ke lubangnya dan memutarnya sebanyak dua kali hingga pintu dibuka lebar.
Mulut kecil Ivory seketika menganga lebar. Ia buru-buru mengatupkan mulutnya sebelum dirinya terlihat semakin bodoh. Ivory sangat terkejut dengan apa yang terbentang di hadapannya.
Sebuah kamar yang berukuran jauh lebih besar dibanding keseluruhan rumahnya memenuhi pandangannya. Yang membuatnya begitu kaget adalah, semua barang-barang disana penuh dengan warna merah dan hitam. Kedua warna tersebut adalah warna kesukaannya.
Bagaimana Aaron bisa tahu? Kebetulan saja kah? Tak mungkin kan ia sengaja cari tahu?
Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang mengelilingi kepala Ivory saat ini.
Gadis itu lalu memandang ranjang berukuran king size yang dibalut dengan seprai merah maroon. Di sebelahnya, terdapat meja rias dengan ornamen ukiran berwarna merah dan hitam, lemari pakaian merah dengan handle-nya yang berwarna hitam, dan sebuah jam dinding berbentuk karakter lucu yang juga berwarna merah hitam. Semuanya begitu indah.
"Wow…"
Ia hanya bisa menggumam tanpa kata. Ia berjalan masuk dan duduk di atas ranjangnya. Tangannya mengusap ke seprai berbahan satin yang begitu halus. Belum lagi empuknya kasur itu seakan mengundang dirinya untuk segera merebahkan diri secepat mungkin. Jauh berbeda dengan miliknya yang kasar dan dingin.
"Kau suka warna merah, bukan?"
Ivory mengangguk lambat-lambat. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Pemuda pemilik rumah tersebut tak langsung menjawabnya. Ia hanya menampilkan senyum sekilasnya dan berjalan hingga tepat di depan Ivory. Aaron tak mau memberitahu jawabannya.
"Ini kamarmu. Gunakan semaumu. Kau boleh menghiasnya sesukamu. Kau bahkan bisa memintaku untuk mengganti warna atau tata letak kamar ini bila perlu."
"Baik … lah," gumam Ivory ragu-ragu karena ia masih tak percaya jika kamar seluas ini akan ia tinggali.
Dirinya sudah jatuh hati pada kamar ini. Tak mungkin ia meminta Aaron agar mengganti segala sesuatu yang ada di kamar menakjubkan ini. Ivory sungguh merasa beruntung.
"Pintu itu…" Aaron menunjuk ke arah belakang Si Gadis yang langsung diekori oleh Ivory. "… adalah kamar mandi. Ada toilet, shower, bathtub, dan segalanya. Kau hanya tinggal memakainya dan beri tahu padaku jika ada yang kurang."
Ivory mengangguk lagi.
"Di dalam lemari itu juga sudah ada pakaian yang bisa kau pakai sehari-hari."
Kembali Ivory mengangguk.
Dari segala fasilitas yang disediakan untuknya, masih ada satu pertanyaan penting yang mengganjal di kepalanya.
"Lalu…"
Ivory menggigit bibir bawahnya ragu-ragu. Ia masih sangsi dan malu akan menanyakannya atau tidak.
"Lalu apa?"
Sial bagi Ivory. Aaron menyambung pertanyaannya dengan nada manis. Seolah-olah ia menanyakan mau permen rasa cokelat atau rasa strawberry kepada balita. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia malu bertanya tapi juga butuh jawabannya. Itu sebabnya Ivory langsung melontarkan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya.
"Dimana kau akan tidur?"