Ivory menyisir surai hitamnya dengan jemari tangannya yang lentik.
Sudah genap tiga puluh menit ia berdiri di depan cermin seukuran full body miliknya. Ia merapikan lagi dress putih polos yang dihiasi renda berwarna hitam di bagian leher. Pakaian itu adalah yang terbaik yang ia punya. Ivory tak henti merutuki dirinya sendiri. Dress yang ia kenakan sedikit lusuh dan menguarkan bau apek. Hal itu terjadi karena pakaian itu telah bertahun-tahun ia simpan di bagian dasar lemari kayunya, tertumpuk oleh puluhan pakaian lain.
Dress itu memang sudah di siapkan Sang Kakak semenjak ia berusia 17 tahun. Sang Kakak pada waktu itu dengan penuh semangat membelikan dress yang ia beli dengan gaji pertamanya sebagai buruh kasar kepada Ivory yang baru saja berulang tahun. Dengan penuh pengharapan, Sang Kakak memberikan pakaian yang masih kebesaran itu di tubuh mungil Ivory yang cukup kurus. Ivory pernah mencobanya sekali, dan pada saat itu ia tak dapat membedakan ia mengenakan dress baru atau karung goni. Terlalu gombrong, mirip orang-orangan sawah.
Ia mengusap-usap dress putih itu, mencoba membuatnya terlihat sedikit lebih rapih. Ia memasang sebuah ikat pinggang kecil agar pakaian yang ia kenakan itu tidak terlalu besar. Ia mendengus kesal karena rasanya tak nyaman sekali mengenakan rok seperti ini. Ia terbiasa memakai celana kemana-mana.
Gadis itu menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan-lahan. Sudah selesai. Dandanannya sepertinya sudah layak. Apalagi memang yang di butuhkan perempuan berusia 20 tahun yang akan mendatangi 'calon pasangannya?'
Sudut matanya melirik lagi amplop yang tertera namanya dan nama calon pasangannya.
"Aaron Magnifico." Ia mengejanya berulang-ulang.
Nama itu terdengar megah. Sudah pasti orang itu berasal dari kalangan berada dengan tumpukan harta di atas rata-rata. Jika mendengarkan penuturan Roger kemarin, Aaron terdengar seperti seorang gentleman yang dikerubungi banyak wanita. Seperti madu tumpah yang dikerubungi semut.
Mengabaikan lamunannya, Ivory kembali fokus pada dirinya sendiri. Sebagai sentuhan terakhir, ia menyemprotkan parfum beraromakan mawar ke sekujur tubuhnya. Bukan parfum, lebih tepatnya spray yang biasa ia gunakan untuk membuat wangi bajunya.
Ivory tak memiliki parfum. Harga parfum termurah yang dijual di toko serbaguna dekat rumahnya cukup mahal. Sama harganya dengan sekarung aprikot yang telah ia jual. Jadi, dari pada uangnya habis untuk membeli cairan tak berguna itu, lebih baik ia simpan untuk hal yang lebih penting.
Ivory meraih blazer hitam yang ia letakkan di atas sofa. Sebenarnya alasan ia mengenakan blazer itu adalah karena ia tak nyaman dengan pundaknya yang terekspos. Dress ini memiliki model off-shoulders. Ia yang tak terbiasa dengan pakaian sefeminim ini merasa cukup risih. Itu sebabnya Ivory memakai blazer untuk menutupi pundaknya. Gadis itu dengan hati-hati memakai blazer kebesaran di badannya sebab blazer itu merupakan benda pinjaman dari Roger. Ia tak ingin merusaknya, atau ia takkan bisa dipercaya lagi.
Gadis itu lantas mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengembuskan napas dengan keras dan bergegas keluar dari rumahnya. Ia mengunci pintu rumahnya sebanyak dua kali sebelum berjalan menuju ke lapangan di dekat rumahnya. Di sana lah para Guardianakan menjemput calon peserta Copulation untuk dibawa menuju ke kediaman Dewan Tertinggi.
Di sana lah ia akan bertemu Aaron Magnifico.
Pada kesempatan ini, para peserta Copulation akan diberikan kesempatan untuk mengenal sejenak masing-masing calon pasangannya sebelum minggu depan acara itu resmi dibuka. Bicara tentang mengenal calon pasangannya, Ivory teringat pada Copulation pertama yang diikuti kakaknya. Pada waktu itu, Sang Kakak dipasangkan dengan seorang pria tua berumur 40 tahunan yang memiliki perut buncit dan bau mulut yang mengerikan. Pada malam itu pula Sang Kakak sudah dilecehkan dengan diraba-raba, membuat Ivory tersulut emosi saat Sang Kakak menceritakan pengalamannya sembari menangis tersedu.
Ivory takut. Ia takut jika dirinya akan mengalami kejadian serupa seperti yang dilami kakaknya. Sejujurnya, ia ketakutan untuk menyerahkan dirinya pada orang asing yang sama sekali tak dikenal. Jika boleh jujur, Ivory begitu ingin menyimpan 'miliknya' yang berharga hanya untuk pasangan kekalnya kelak. Sayangnya, hal itu sama mustahilnya dengan ia menjabat sebagai Dewan Tertinggi, alias hanya khayalan semata.
Yang harus ia lakukan untuk bisa selamat dari kegiatan ini hanya lah melayani dengan segenap yang ia punya. Apa pun yang pasangannya minta. Ia tak bisa membantah. Tak bisa berkata tidak.
Atau ia akan berakhir seperti Sang Kakak.
"Ivy!"
Ivory menoleh ke arah suara riang yang menyapa gendang telinganya. Dari kejauhan terlihat sahabatnya, Megan, berlari-lari kecil demi menyusulnya. Gadis berambut pendek sebahu itu megenakan gaun dengan panjang selutut berwarna putih gading, dengan pita besar di bagian perut. Heels berwarna senada yang mengkilat, begitu menyilaukan mata juga dikenakannya. Ivory yakin pasti sahabatnya itu mengelapnya puluhan kali sebelum dipakai.
"Kenapa kau pakai blazer?"
"Ingin saja," jawabnya santai.
Megan terlihat tak terlalu peduli dengan jawaban temannya. Ia hanya tertawa riang sambil bertanya kembali, "Kau siap bertemu calon pasanganmu?" tanya Megan dengan berbinar. Ia sama sekali tak terlihat segan atau takut akan hal yang akan dilakukannya.
"Entah lah. Aku tak terlalu berminat," jawab Ivory sekedarnya. Tanpa Ivory sadari, langkah kakinya semakin mendekati kerumunan di lapangan. Lututnya sedikit bergetar. Napasnya tercekat melihat banyaknya orang yang akan mengikuti Copulation tahun ini.
"Kakakku bilang, pasanganku ini adalah salah satu pewaris perusahaan obat-obatan terbesar di kota! Kau dengar itu, Vy? Pewaris perusahaan!"
Ivory mendengus kesal. "Memangnya kenapa kalau dia pewaris perusahaan? Toh kau tak dapat keuntungan sama sekali dari acara konyol ini."
Kali ini giliran Sang Sahabat yang membuang napas setelah mendengar ucapan Ivory. Megan menggelengkan kepalanya berulang kali hingga poni yang sudah ditatanya sedemikian rupa bergoyang-goyang tak karuan. "Kau terlalu antipati, Vy," ucapnya. "Justru aku akan sangat bangga jika bisa menyerahkan buah cintaku dengan orang kaya itu kepada Para Petinggi. Kau juga akan bisa hidup enak selama setahun! Para Petinggi akan menyuplai kebutuhan sandang dan panganmu. Kau tak perlu bersusah payah mencari makan dan banting tulang seperti sebelumnya. Kalau kau berpasangan dengan Gen E di Copulation ini, kau bisa mendekati Kaum Primer perlahan-lahan. Bisa jadi mereka mungkin bisa mempertimbangkanku untuk bekerja bersama mereka di kota. Siapa tahu jika aku sudah bekerja di tingkat yang lebih baik lagi maka status Kaum Sekunderku akan berubah menjadi Primer."
Ivory tertegun mendengarkan perkataan sahabatnya. Hatinya terasa panas saat mendengar pemikiran Megan tentang calon buah hatinya kelak. Ia tak menyangka jika sahabatnya memilki pandangan yang sangat jauh berbeda dengannya.
"Sesempit itukah pemikiranmu, Megan? Tak ingin kah kau merawat dan membesarkan sendiri anakmu nanti? Bukannya menyerahkan dengan senang hati ke tangan orang lain? Bagaimana bisa kau siap untuk mempercayakan darah dagingmu untuk digunakan sesuai apa yang mereka mau?"
Megan tersenyum miring, seakan-akan pertanyaan Ivory adalah pertanyaan konyol yang ditanyakan anak kecil pada ibunya.
"Ivy sayang, kau paham betul jika bayi yang kita lahirkan akan cacat. Dia tak akan sempurna. Kita akan kesulitan merawatnya. Untuk makan saja sudah bingung, apa lagi mengurus anak. Kau juga tahu sendiri jika semua bayi hasil Copulation ini akan dikirim ke Pusat Pelatihan untuk selanjutnya dibesarkan dan dididik menjadi seorang tentara, dokter, dan pekerjaan menjanjikan lainnya. Mereka akan merubah dan menggunakan anak-anak cacat itu sebagai orang yang berguna. Para Petinggi ini sangat murah hati akan hidupmu. Apalagi yang perlu kau khawatirkan? Nasib mereka akan jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan hidup bersama orang tuanya sendiri. Lagi pula ini adalah bagian dari mengabdi kepada negara."
Ivory memutar matanya mendengar penuturan Megan.