Dengan tergesa, Ivory menyambar sebuah karung berisi aprikot matang yang baru saja ia panen tiga jam yang lalu. Ia sudah berjanji kepada anak dari tuan di mana ia bekerja sebagai pelayan restauran sehari-hari untuk menjual puluhan buah aprikotnya. Ia tak ingin mengecewakan anak tuannya itu. Bisa jadi ia kehilangan pekerjaan kesayangannya.
Ia memakai sepatunya dengan asal, mengabaikan tali sepatu yang belum terikat sepenuhnya. Kakinya berlari dengan cepat menuju rumah Si Tuan. Tak jauh. Hanya sekitar 3 mil dari rumahnya. Bukan hal yang menyusahkan baginya.
Akan tetapi, jika boleh berkata jujur, sekarung aprikot itu cukup menyusahkannya.
Ivory mengabaikan engahan napas atau dadanya yang terasa terbakar. Ia terus berlari seraya mengecek waktu di ponsel usangnya yang mengganjal di saku. Waktu serasa berjalan terlewat cepat.
"Sebentar lagi," desisnya.
Setelah kurang lebih dua puluh menit ia berlari tanpa henti, akhirnya tiba juga ia di pintu gerbang kawasan elit Kaum Primer di kotanya. Ivory tak henti mengagumi keindahan bangunan-bangunan di sana, yang mana berbanding terbalik dengan lingkungannya sebagai Kaum Sekunder. Jika biasanya ia melihat bangunan yang usang, gersang, tua, dan sama sekali tidak menarik, kali ini seratus delapan puluh derajat berbeda. Bangunan di depan matanya itu menjulang tinggi dengan arsitektur unik dan khas. Tak peduli berapa ratus kali ia mendatangi tempat ini, ia selalu terpana.
Jatuh dalam pesona wilayah Kaum Primer.
"Ivy!"
Suara hangat bernada ceria itu menarik sebuah senyum lebar di bibir Ivory. Ia masuk ke dalam pekarangan rumah mewah milik tuannya, dan jatuh terjerembab. Beruntung baginya ia tidak membuat aprikot yang dibawa ikut jatuh juga.
"Whoa, hati-hati." Pemuda di depan Ivory itu mengulurkan tangannya ke arahnya.
Ivory tertawa kecil seraya meraih tangan itu untuk berdiri.
"Kak Roger, maafkan aku karena terlambat 30 menit," ucap Ivory dengan panik.
Pria yang dipanggil Roger itu membalas ucapan Ivory dengan tepukan pelan di pundaknya.
"Santai saja, Vy. Papa sedang keluar. Ia tak akan tahu jika kau terlambat."
Ivory membungkuk beberapa kali seraya mengucapkan terima kasih pada sosok yang begitu baik padanya.
"Ini buah aprikotnya, Kak. Tak ada cacat satu pun. Aku baru saja memanennya."
Roger mengambil karung itu dari tangan Ivory. Pemuda itu berdecak puas sambil melihat-lihat buah yang ada di karung tersebut. Ia memeriksanya sekilas sebelum menyerahkan amplop hitam yang terselip di antara aprikot itu.
"Apa ini, Vy?"
Ivory terperanjat seraya mengambil amplop dari Guardian yang tak sengaja ia bawa. "Ini dari Guardian. Di dalamnya berisi nama calon pasanganku untuk Copulation-ku yang pertama."
Roger berkoar heboh seraya meraih amplop itu. "Copulation! Woah, aku lupa jika tahun ini adalah Copulation-mu yang pertama!"
Ivory tertawa hambar. "Yeah, yang pertama."
"Aku iri padamu, Vy! Aku sangat ingin ikut Copulation, namun ya kau tahu sendiri. Gen-ku S. Aku tak bisa mengikuti acara itu."
Gen ketiga dan yang terakhir adalah Gen S—Sterile. Gen ini dimiliki oleh orang-orang yang dengan Gen E yang tak bisa melahirkan keturunan. Meski pun begitu, mereka tergolong dalam Kaum Primer karena asal muasal mereka memiliki garis keturunan langsung Dewan Tertinggi.
Sepeti Roger dan keluarganya.
Ivory menyembunyikan raut sedihnya di balik topi putih yang ia kenakan. Ia merasa begitu bittersweet. Ucapan Roger membuat suasana hatinya semakin buruk.
"Kau sudah tahu siapa pasanganmu?"
Ivory menggeleng. Ia sama sekali tak bersemangat akan hal itu. Ia mencoba tak peduli sedikit pun.
Apa hal menarik dari berhubungan badan dengan orang asing yang tak kau cintai, kemudian mengandung dan melahirkan seorang bayi yang tak lama kemudian direnggut dari dekapan? Tolong jelaskan pada Ivory, apa yang menarik dari hal itu? Ia begitu membenci Copulation, Para Petinggi, dan Dewan Tertinggi, dan semua orang yang menciptakan segala sistem aneh ini.
"Boleh ku buka amplopmu? Siapa tahu aku kenal calon pasanganmu."
Ivory memiringkan kepalanya sedikit. "Buka saja, Kak. Aku tak terlalu peduli."
Roger membuka amplop itu dengan penuh semangat. Ia mengeluarkan secarik kertas tebal bertinta hitam yang terukir sebuah nama dengan goresan seindah kaligrafi. Ia membacanya dengan suaranya yang tegas dan mantap.
"Aaron Magnifico."
Sedetik kemudian, Roger berteriak dengan kencang. Membuat karung aprikot di sebelahnya tersenggol dan nyaris jatuh sebelum Ivory menangkapnya dengan cekatan. Ivory memandang heran pada sosok anak dari majikannya.
"Aku kenal dia, Vy! Kami dulu teman sekelas!"
Ivory menggeser karung aprikot itu dengan susah payah. Menjauhkannya dari jangkauan tubuh Roger yang melompat-lompat kegirangan. Ivory masih heran dengan sikap antusias yang ditunjukkan Roger.
"Dia sangat tampan. Sumpah deh. Idola nomor satu di kelas," ujarnya. "Wah, aku tak sabar menantikan anakmu nanti seperti apa. Kau cantik. Dia tampan. Anak kalian nanti pasti akan sangat rupawan!"
Ivory menelan ludah dengan susah payah.
Sungguh.
Membayangkan ia hamil dari seorang laki-laki asing yang tak dikenal sangat membuatnya merasa kasihan dan malu pada diri sendiri. Ia sendiri bahkan tak pernah benar-benar berkencan dengan lelaki. Bagaimana bisa nantinya dirinya akan membiarkan orang asing menginvasi tubuhnya?
"Oh ya?" sahut Ivory setengah hati.
"Serius!" jawab Roger sepenuh hati. Ia masih terlihat sama antusiasnya seperti sebelumnya walau pun Ivory tak benar-benar terlihat berminat pada pendapatnya. "Ah, aku tak punya fotonya untuk membuktikannya padamu. Tapi tak bohong, Vy. Sumpah, dia cakep sekali. Kalau aku wanita mungkin aku akan suka dengannya."
"Tapi kau laki-laki, Kak," ucap Ivory mengingatkan.
"Mangkannya. Sayang sekali, 'kan?" tanya Roger sambil mengerucutkan bibirnya. "Aaron dulu disukai banyak orang karena rupanya yang tampan di atas rata-rata. Aku ingat, bahkan dulu ada salah satu guru yang terang-terangan menunjukkan perasaannya pada Aaron. Padahal guru itu sudah bersuami. Wah, lucu sekali kalau diingat-ingat."
Kepala Ivory berdenyut-denyut. Ucapan Roger membuat pikirannya semakin rungsang. Ia sama sekali peduli dengan bentukan Aaron untuk saat ini. Ia masih kalut dan bingung bagaimana caranya menjalani hidupnya bersama orang asing itu untuk satu tahun mendatang. Ia menghabiskan separuh hidupnya dengan tinggal bersama kakaknya, dan separuhnya lagi untuk berjuang sendiri. Ia tak yakin dirinya bisa tahan hidup berdua dengan sosok yang tak dikenal dengan baik.
Ivory memijat batang hidungnya sambil mencoba membayangkan dirinya tengah bertelanjang kaki di dapur dan dalam keadaan hamil.
Sial, bayangan itu terlalu mengerikan baginya.
Ia tak sanggup menghadapi mimpi buruk yang menghadangnya, tapi sayangnya ia tak punya pilihan lain, bukan? Tak ada yang bisa mengentikan Copulation. Tak ada yang bisa menolak titah Sang Dewan Tertinggi.
Atau kah ... akan ada?