Mentari mulai membumbung tinggi, sinarnya menerobos masuk melalui jendela rumah. Hamzah tengah bersiap pergi ke ladang, banyak pekerjaan yang harus dia lakukan.
Hamzah, seorang pemilik perkebunan kopi terbesar di wilayahnya. Meski begitu, dia terkenal dermawan dan baik hati. Siapa yang tidak kenal dengannya? Si Juragan yang baik hati dan murah hati.
"Umi kita bisa panen kopi hari ini. Bapak mau siap-siap dulu untuk pergi ke perkebunan. Tolong, siapkan baju dan peralatan panen, ya," titah Hamzah pada istrinya—Halimah.
"Iya Pak, Umi siap kan sekarang. Bapak habiskan dulu kopinya, biar Umi siapkan semua keperluan Bapak."
Halimah, seorang istri yang hidup sederhana walau berkecukupan harta. Senyumnya selalu mengembang, menghiasi hari-hari Hamzah. Tidak banyak bicara dan penurut, dia adalah sosok istri yang Hamzah idamkan menjadi pendamping seumur hidupnya.
Hamilah berjalan ke dapur, menyiapkan segala keperluan sang suami dengan gesit. Setelah selesai, dia kembali dengan segala perkakas dan pakaian kotor untuk pergi ke ladang.
"Pak, semuanya sudah Umi siapkan," ucapnya seraya menyerahkan perkakas itu pada sang suami yang tengah menyesap kopi miliknya.
Diraihnya perkakas itu, juga pakaian yang dia sebut 'Pakaian Dinas' lalu mamakainya. "Terima kasih, Umi." Setelah selesai berkemas, Hamzah mengecup puncak kepala sang istri. "Bapak pergi dulu ya, Umi."
"Eits, jangan lupa bekalnya Pak."
Hamzah tersenyum. "Iya, terima kasih sudah diingatkan, Umi." Diraihnya bekal makan siang yang sudah sang istri siapkan dalam bungkus daun pisang yang dilayukan. "Bapak jalan dulu, selagi cerah."
"Iya, Pak. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Hamzah bergegas pergi, menyusuri jalan setapak Pesawahan yang cukup licin karena hujan semalam.
Posisi ladang kopi miliknya berada cukup jauh dari rumah, melewati hamparan sawah dan harus menyusuri sungai. Meski begitu, semangatnya mencari nafkah untuk anak dan istri tercinta.
Setibanya di sana, terlihat Hamdan sedang membersihkan pohon kopi yang hendak di panen.
Hamdan, salah seorang karyawan kepercayaannya. Pria bertubuh jangkung dengan kulit gelap itu begitu tekun dan rajin dari yang lainnya.
Saat melihat Hamzah datang, dia bangkit dan tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang berbaris rapi dan bersih.
"Wilujeng enjing, Juragan (Selamat pagi, Juragan)," sapanya seraya mengimpitkan kedua telapak tangannya lalu menaruhnya di dada.
"Mana yang lainnya, Dan?"
"Di kebun seberang, Juragan," jawabnya dengan tegas.
"Ya sudah, ayo kita mulai selagi cuaca sedang bagus," katanya.
"Iya, Juragan."
Mereka mulai memanen buah kopi yang tumbuh melimpah. Berkat cuaca yang mendukung serta ketelatenan Hamzah dan para anak buahnya, biji-biji kopi ini lebih dari cukup untuk mengisi saku mereka dengan pundi-pundi uang.
"Alhamdulilah Juragan, panen bulan ini sangat memuaskan semoga seterus nya seperti ini."
"Amiin, semoga saja."
Hamzah memilah biji-biji kopi sesuai dengan kualitas dan besarannya, sedangkan Hamdan masih sibuk memetik kopi dengan wajah semringah.
"Panen raya kita, Juragan."
"Iya, Dan. Oh ya, bagaimana kabar putri-putrimu?"
"Alhamdulilah juragan, mereka pada sehat."
"Syukurlah kalau mereka pada sehat. Suruh mereka main ke rumah biar Hamidah dan Hasanah ada teman nya."
"Insyaallah Juragan, nanti saya sampai kan."
Begitulah hubungan baik keduanya, seolah tidak ada batasan selayaknya atasan dan bawahan, yang ada hanyalah hubungan persaudaraan selayaknya kakak beradik.
Saking asyiknya, mereka bahkan tidak menyadari jika waktu berlalu begitu cepat. Suara azan berkumandang saling bersahutan dari surau, mereka mengucap hamdalah, bersyukur atas waktu yang Tuhan berikan.
***
Hari berlalu, senja mulai menyingsing. Langit berwarna jingga keemasan, lengkap dengan panorama senja yang memukau. Suara hewan malam mulai terdengar, lengkap dengan semilir angin yang mulai menerpa.
Hamzah segera bangkit, pergi menuju air mancur untuk membasuh tangan dan kakinya yang kotor. Selagi hari masih terang, dia harus segera kembali pulang.
Dari kejauhan, Hamdan juga sudah bersiap naik, membawa serta cangkul dan arit di tangannya. Dia tersenyum lebar lalu menyapa ramah. "Pulang Juragan?"
"Iya, Dan. Ayo, selagi hari masih terang."
"Iya, juragan."
Mereka berjalan berdampingan, berpisah saat berada di pematang Pesawahan yang memisahkan dusun tempat mereka tinggal.
Dengan langkah ringan, Hamzah pulang membawa uang hasil penjualan kopi yang siang tadi berhasil terjual. Esok, dia ingin membeli hadiah untuk istrinya—Halimah, juga kedua putrinya—Hamidah dan Hasanah. Bukan benda yang mahal dan mewah, cukup membelikan barang satu gram emas untuk menghiasi jari mereka.
Setibanya di rumah, sang istri sudah menanti di ambang pintu, senyumnya lebar kala melihat Hamzah pulang lebih awal dari biasanya.
Halimah meraih kedua tangan sang suami, lalu mencium punggung dengan takzim. "Kopi atau teh, Pak?" tanyanya dengan senyum mengembang.
"Teh saja Mi, lengkap dengan singkong rebus," pintanya.
"Tunggu dulu, Pak. Biar Umi siapkan."
Halimah berlaku ke dapur, lalu kembali dengan segelas teh hangat dan singkong rebus yang sudah dia siapkan jauh sebelum Hamzah pulang.
"Teh-nya, Pak."
"Terima kasih, Mi."
Hamzah meraih gelasnya, lalu menyesapnya perlahan. "Mana anak-anak, Mi?"
"Di dalam. Sebentar, Umi panggilkan dulu—"
Belum lagi Halimah selesai berucap, suara teriakan Hamidah menggema memenuhi rumah. Dengan langkah kecilnya dia berlari menghampiri Halimah dan Hamzah. "Umi! Bapak! Hasanah ... Hasanah!" pekiknya tertahan.
Hamzah yang sedang menyesap tehnya langsung berlari, tidak peduli dengan tubuhnya yang masih lelah. Di kamar, Hasanah terbaring lemah dengan wajahnya yang memucat. "Nah! Hasanah!"