Chereads / Halimah, aku cinta / Chapter 2 - Bab 2 Perceraian

Chapter 2 - Bab 2 Perceraian

Jupri masih enggan untuk masuki rumah Robbnya, dia masih merasa hina. Jupri bisa tenang, setelah semua masalah toko Pak Imam beres. Jupri melepas pencuri itu dengan catatan dia tidak boleh lagi beraksi dalam pencurian.

Kegiatan Jupri kembali seperti semula manarik uang keamanan pada tiap lapak yang ada dalam pasar juga menyisihkan sedikit hasilnya untuk anak yatim dan terlantar.

Hari menjelang malam, pandangan Jupri menangkap sesosok ibu-ibu yang mirip dengan ibunya.

Dihampiri sosok itu, "Ibu," sapa Jupri.

"Iya, ada apa ya, Mas?"

Wanita itu berbalik badan menghadap Jupri, dan seketika wajah Jupri terkejut karena salah orang gegas dia minta maaf.

"Maafkan saya, Bu. Saya salah orang," ujar Jupri.

"Iya, Mas tidak apa," balas wanita itu lalu melanjutkan langkahnya.

Jupri terdiam termangu, dia merindukan ibunya, 'kemanakah ibu pergi? Jupri rindumu, Ibu?' lirihnya.

Sejak peristiwa itu Jupri tidak peduli lagi akan hidup kedua orangtuanya. Saat itu ....

"Bapak! Keterlaluan, apa ini?" ujar Bu Imah sambil melempar beberapa foto vulgar.

Pak Dulah mengambil beberapa lembar foto itu, matanya melotot tidak percaya.

"Apa-apaan ini, Bu. Kamu mematai suamimu sendiri?" kelit Pak Dulah.

"Ini masuk sendiri dalam kotak pos depan rumah. Jawab, semua foto ini. Jawaab!!" Teriakan Bu Imah menggelegar hingga sampai depan rumah.

Bu Imah sangat emosi melihat foto suaminya bersama dengan wanita muda cantik dalam sebuah kamar hotel dalam keadaan yang tidak pantas.

"Saya tidak sanggup, Pak. Pilih saya atau wanita rubah itu? Piiliih!" Bu Imah histeris matanya tidak kuasa lagi menahan air mata.

"Tunggu, Bu. Ini bisa di jelaskan, bapak tidak melalukan ini dalam kamar hotel tetapi ini di kamar kita."

Usai berkata Pak Dulah gegas menutup mulutnya yang kelepasan bicara, 'walah. Kelepasan, makin parah ini,' batinnya.

Mendengar penjelasan suaminya Imah makin menangis tergugu, sungguh dia tidak pernah menyangka suami yang dihormati oleh seluruh warga bisa melakukan itu dalam rumahnya bahkan di atas ranjang kebesaran mereka.

"Saya tidak sanggup seperti ini, Pak. Lepaskan saya," balas Imah dengan derai air mata.

Imah bangkit menuju kamarnya, dia mengambil koper lalu memasukan beberapa baju juga perhiasan yang dimilikinya. Imah keluar dari kamarnya masih berderai airmata.

"Saya pergi, Pak. Urus wanita itu, jangan mencari saya. Terimakasih untuk semua, jaga Jupri," lirih Imah lalu menyeret kopernya keluar dari rumah yang telah dihuninya selama puluhan tahun.

"Saya tunggu surat gugatan cerai, Bapak. Kirim saja ke alamat ibu saya yang di desa Pandean!" imbuh Bu Imah, lalu melanjutkan langkahnya.

Pak Dulah hanya mampu memandang kepergian istri tanpa ada niat untuk mencegahnya.

Begitulah peristiwa itu terjadi, saat itu Jupri baru pulang dari pasar dalam keadaan mabuk berat. Melihat ibunya pergi membawa koper, Jupri mencegahnya.

"Ibu, mau ke mana? Jupri ikut, ya?" pinta Jupri sambil menarik lengan ibunya.

"Jangan ya, Nak. Jupri harus kuliah, dengan ikut ibu Jupri tidak bisa kuliah nanti akan jadi apa, Nak," papar Imah dengan nada rendah dan derai air mata.

"Jupri tidak perlu kuliah, Bu. Jupri ingin di sisi ibu selalu. Boleh, ya, Bu?"

Imah tidak memedulikan Jupri, dia tetap melangkah meninggalkan rumah penuh kenangan itu.

Sekarang Jupri sangat menyesal mengapa dulu tidak mencegah ibunya pergi, hidupnya makin tidak karuan tanpa ibu.

'Semoga kamu di sana selalu sehat, Ibu,' batin Jupri.

"Bang, melamun lagi?" sapa Zaki.

"sudahlah jika, abang ingin mencari ibu. Carilah, Bang. Biar Zaki bersama Mak Ijah saja," lanjut Zaki.

Jupri hanya diam tanpa ada niat untuk membalas ucapan Zaki. Kakinya melangkah menuju lapak Mak Ijah. Dia kangen, rindu akan ibunya. Bersandar pada lengan Mak Ijah terasa sangat nyaman.

"Kuatkan hatimu, Nak. Berdoalah semoga ibumu dalam keadaan baik!" nasehat Mak Ijah lembut.

"Mak, Jupri ingin tidur dalam pangkuan mamak. Boleh?" tanya Jupri.

Tangan Mak Ijah langsung meraih kepala Jupri, dibawanya dalam pangkuannya. Tangan itu mengusap lembut surai rambut Jupri yang rapi, disunggar dengan jemari tua penuh kasih.

"Kita masih ada Tuhan, Nak. Mintalah padaNya, apa pun hanya Dia yang pantas untuk kita mintai tolong," ujar Mak Ijah.

"Caranya, Mak? Jupri sudah lupa melakukan semua itu," balas Jupri penuh sesal.

"Datangilah mushola dalam pasar tiap kamu mendengar panggilan Allah dalam adan di waktu tertentu!" ujar Mak Ijah.

Jupri terus menyimak nasehat Mak Ijah yang seperti ibu baginya, hingga dia terlelap dalam pangkuan lembut Mak Ijah. Hari sudah malam membuat Mak Ijah ingat akan rumahnya.

Melihat Jupri sudah terlelap, Mak ijah bangkit dari duduknya. Perlahan di angkatnya kepala Jupri pada bantal yang ada di sisinya.

"Zaki, jaga abangmu ini, ya! Mak, pulang ke rumah. Tidurlah kalian dalam lapak mamak untuk malam ini!" ujar Mak Ijah pada Zaki yang sedari tadi duduk timpuh di sisi Mak Ijah.

"Baik, Mak. Terimakasih telah percaya pada saya," balas Zaki.

Mak ijah tersenyum lalu melangkah meninggalkan lapaknya menuju motor matic miliknya.

Zaki yang terjaga sendiri menjadi termangu melihat sekitarnya. Dia mengingat saat awal jumpa dengan Jupri.

"Namamu siapa, Adek kecil?" tanya Jupri saat itu.

"Al Zaki, Bang," balas Zaki kecil.

Saat itu usia Zaki masih lima belas tahun, baru lulus dari sekolah menengah pertama. Zaki dari keluarga tidak mampu kemudian oleh Jupri Zaki di sekolahkan hingga lulus menengah atas sederajat dengannya.

Kini Zaki telah berusia dua puluh tahun selisih lima tahun lebih muda dari Jupri. Selama lima tahun itu Zaki mengikuti ke mana Jupri berada, baginya Jupri adalah panutan.

'Bang, saya akan selalu ada di sisimu baik suka dan duka. Jangan khawatir, Bang,' gumam Zaki.

"Zaki, keliling dulu, Bang. Tidurlah dengan nyaman, jika sudah waktunya bergilir nanti Zaki bangunkan Abang," lirih Zaki.

Setelah berkata lirih Zaki melangkah meninggalkan Jupri dalam lapak Mak Ijah. Kali ini Zaki melakukan ronda pasar sendiri tanpa Jupri.

"Sepi banget pasar ini jika malam, seperti kuburan saja," lirih Zaki sambil menyalakan senter ke arah yang gelap.

"Iya, Bang. Lilis juga kesepian."

Telinga Zaki mendengar suara perempuan yang merdu membalas ucapannya. Bulu kuduk Zaki berdiri, 'mungkinkah suara itu, hiiii,' batin Zaki gegas di berlari menjauhi pohon beringin di sisi barat selatan pasar itu.

"Baang, tungguin Lilis ..."

Zaki berlari tanpa melihat kebelakang, seumur hidupnya dia tidak pernah melihat hantu. Suara itu sangat merdu hingga membuat Zaki tidak berani melihatnya.

"Apakah tadi manusia ya? Badannya melayang di udara warna putih, berayun-ayun di dahan, hii," lirih Zaki yang sudah kembali di depan lapak Mak Ijah.

Zaki masih merasa ketakutan dengan tubuh bergetar, tiba-tiba sebuah tangan tersampir di bahunya.

"Aaaaaa!"

Zaki berteriak sekencangnya tanpa sadar matanya melirik pada bahunya dan melihat telapak tangan yang putih dan keriput, lalu badannya berbalik menghadap sosok yang memiliki tangan itu.

"Kamu itu kenapa, Zaki? Ini sudah menjelang subuh, teriak sekencang itu. Memang habis melihat siapa?" tanya Mak Ijah yang lengkap mengenakan mukena putih hendak pergi ke mushola dalam pasar.

"Ya ampun, Maak. Tadi itu Zaki melihat penampakan hantu Lilis berayun di pohon beringin, trus sekarang melihat mamak pakai mukena . Aduh, ampuun," ujar Zaki sambil menepuk jidat.

"Hantu, hantu Lilis? Emang ada?" tanya Jupri yang baru terbangun dari tidurnya.

Pandangan Zaki tertuju pada Jupri yang sudah duduk di sampingnya dengan bergelung kain sarung.

"Sudahlah, kalian itu jangan bicara yang tidak-tidak. Sebentar lagi adan subuh, segera ambil wudlu biar hilang itu Si Lilis!"