Pondok As Salam.
Rumah Kyai Dahlan.
"Assalamualaikum," ucap Nyai dan Halimah bersamaan.
Seorang santriwati berjalan tergesa menjemput Nyai dan Enengnya tanpa mambalas ucapan salam.
"Nyai, Eneng Halimah! Mari saya bantu bawa barangnya," jawab santriwati itu.
"Encus .... biasaan ya, Kamu! Balas dulu salam kami, Encus!" ucap Halimah kesal.
"Hehehe, lupa, Neng. Kan udah biasa Encus seperti ini," ucap Encus sambil mengangkat tas belanjaan Nyai yang berisi sayur mayur bakal makan tiga hari ke depan.
Nyai Dahlan hanya geleng kepala melihat interaksi santriwatinya. Keduanya selalu begitu jika bertemu tidak pernah akur tetapi selalu kompak.
"Sudah jangan dilanjut, Encus. O ya, apakah Kamu melihat Abah Dahlan?" tanya Nyai Dahlan saat memandang Encus.
"Abah, tadi titip pesan pada Encus, Nyai. Begini, En-ncus jika Nyai mencari Abah tolong sampaikan bahwa Abah ada di empang nila yang di ujung pondok. Seperti itu, Nyai," papar Encus.
"Iih, itu mah akal-akalanmu saja, Encus. Mana mungkin Abah ngomong seperti itu nadanya, iih," kata Halimah dengan mengangkat kedua bahunya.
Tawa lirih Nyai Dahlan keluar begitu saja, terdengar manis di telinga setiap santriwati yang mendengar termasuk Encus yang sangat jarang bisa mendengar langsung.
'Tawanya saja bikin hati adem, apalagi saat ngaji, ya Robb,' batin Encus.
"Baiklah, Encus. Kamu bantu si Eneng masak bakal makan siang, nyai mau ke empang temui Abah," pamit Nyai.
"Bunda jangan berkasih dengan Abah, ya. Malu!" ledek Halimah.
"Assalamualaikum," pamit Nyai Dahlan yang tidak memedulikan perkataan Halimahj.
"Waalaikumsalam," balas keduanya sesaat setelah Nyai Dahlan berjalan meninggalkan dapur.
Nyai Dahlan berjalan menuju empang ikan nila yang biasa didatangi suaminya. Kyai Dahlan pecinta ikan, jadi dia membudidayakan berbagai jenis ikan air tawar. Hasilnya ada yang di jual dan ada yang di konsumsi semua penghuni pondok baik santriwan maupun santriwati.
Jarak antara empang dengan rumah berkisar lima ratus meter jadi kaki lumayan terasa pegal. Namun, tidak untuk Nyai Dahlan. Wanita yang terkenal anggun, cantik dan tangguh dalam segala bidang itu masih tegak berjalan.
"Assalamualaikum, Nyai," sapa salah satu santrinya saat berpapasan dengannya.
"Waalaikumsalam, Ukhti."
Saling tegur sapa bila bertemu sesama santri hukumnya wajib, itu selalu di tekankan Nyai Dahlan pada santriwatinya. Namun, jika untuk santriwan lebih baik jaga pandangannya agar tidak menimbulkan rasa yang berlebih.
"Akhirnya sampai juga, tapi kok abahnya tidak ada. Kemana, ya?" lirih Nyai saat sudah sampai di lokasi empang.
Lokasi itu tampak sepi dan sunyi, terdapat banyak pohon rindang disekitar empang. Dari balik pohon akasia yang berbatang besar, sosok Abah bersembunyi. Dia tahu bahwa istrinya melangkah menuju ke arahnya saat jarak keduanya kurang seratus meter. Waktu yang tersedia digunakan abah untuk bersembunyi berharap istrinya tidak tahu.
"Assalamualaikum, Abah. Abah oh Abah. I miss youu," ucap Nyai mendayu rindu.
Abah yang sembunyi tidak kuasa akan pesona istrinya, senyum terukir di bibirnya yang terlihat merah muda tanpa bekas nikotin. Perlahan abah keluar dan mendekap tubuh istrinya dari belakang dengan mengucap salam yang sangat lembut.
"Waalaikumsalam, Bidadariku, my life," bisik Kyai Dahlan di telinga kanan istrinya.
Lenguhan halus keluar dari bibir ranum yang tertutup cadar membuat Kyai Dahlan ingin berbuat lebih pada istri cantiknya.
"Ugh, Abah," desah Nyai.
"Jangan menggodaku, Nyai. Kamu tahu bahwa aku paling tidak sanggup jika berdekatan denganmu. Bagiku, Kamulah canduku," ucap Kyai Dahlan sambil membuka cadar istrinya lalu menyentuh bibit itu lembut.
"Ada perlu apa hingga bidadari abah datang ke sini, Heem?" tanya Abah yang masih mengusap bibir Nyai Dahlan dengan ibu jarinya.
Lenguhan demi lenguhan keluar tak dapat dikontrol oleh Nyai, akhirnya dengan berat hati diputusnya sentuhan itu meski Nyai juga sangat mendamba.
"Jarinya, Abah. Maaf, kondisikan!" decih Nyai.
Abah makin greget melihat tingkah istrinya, dengan kecepatan yang akurat disergapnya bibir yang membuatnya candu. Sekilas tapi sangat lembut lalu diturunkan kembali cadar istrinya sambil menenangkan rasa rindunya.
"Iya, Nyai. Ini sudah turun. Hal apa yang membawamu datang ke sini?" tanya Kyai.
Kemudian Nyai Dahlan menceritakan semua kejadian di pasar antara Halimah dan Jupri tanpa terlewat sedikitpun. Kyai Dahlan mendengarkan dengan seksama cerita sang istri, ada kecemasan yang muncul di wajahnya.
"Apakah Dia seorang preman, Nyai? Pasti Dia pamabuk dan penjudi. Abah tidak setuju," tegas Abah.
"Tapi Abah, Jupri anak yang baik. Jujur, kuat, pandai beladiri lho dan juga tampan," balas Nyai dengan senyum yang mematikan.
"Tidak. Nyai rupanya sudah tergoda dengan ketampanan anak itu bahkan sudah bisa menyebut nama pria lain selain abah tanpa ijin," sarkas Abah.
Nyai Dahlan tertunduk, air mata keluar tanpa ijin. Buru-buru dia menyebut nama Robbnya dengan rendah hati dan mencium punggung tangan suaminya denga derai air mata.
"Annisa istri tercinta Dahlan, maafkan ucapan pria ini ya. Dahlan hanya cemburu pada pria muda itu," ucap Kyai Dahlan dengan menyebut nama istrinya tanpa embel-embek Nyai.
Jika Kyai sudah menyebut nama asli istrinya berarti dia sedang merayu istrinya. Dahlan juga manusia biasa pasti muncul cemburu saat istri tercintanya menyebut nama pria lain saat bersamanya.
"Abah, bukan maksud Annisa seperti itu. Annisa hanya ingin Halimah bahagia, seperti kita dulu. Ijinkanlah, Kyai Dahlan," ucap Nyai penuh penekanan saat menyebut nama suaminya lengkap dengan gelarnya.
Kyai Dahlan tersenyum memandang istrinya penuh harap, hatinya bergetar saat Annisa menyebut namanya lengkap dengan gelar Kyai yang di sandangnya penuh penekanan. Kyai Dahlan sangat mengenal Annisa, dia tidak akan salah dalam menafsirkan watak seseorang juga kemauannya sulit untuk di belokkan. Teguh pendirian dan tepat mengambil keputusan, itulah Annisa.
"Abah akan lihat sejauh mana pria itu perjuangkan Halimah dalam hidupnya. Sebagai lelaki sejati dia harus berjuang meski nyawa taruhannya, Nyai," tegas Kyai Dahlan.
"Baik, Abah akan lihat perjuangan Jupri dalam mendapatkan restumu!" Ketegasan tampak nyata di manik mata Nyai.
Keduanya makin adu argumen mengenai jodoh anaknya yang siap dipetik dan dihisap madunya oleh kumbang. Nyai Dahlan sangat respek pada Jupri, apalagi setelah tahu garis keturunannya. Nyai Dahlan sangat yakin hidup anaknya bakal bahagia jika bersama Jupri, sebagai ibu naluri Nyai Dahlan sangat kuat.