Pasar Sleko, pagi hari.
Tampak Jupri melamun mengingat perjumpaannya dengan Halimah, gadis bercadar yang memenuhi mimpinya semalam. Tidur Jupri sangat nyenyak hingga tidak mendengar adan subuh.
Mata yang indah terlihat di antara ujung hijab dan cadarnya, hidung yang tampak mancung runcing membuat Jupri membayangkan bibir Halimah. Hanya membayangkan saja Jupri sudah membuatnya bergelora, detak jantung berpacu, peluh keluar di dahi karena memahan segala rasa yang menguar.
"Bang, ini kopinya juga sarapan!" ucap Suci tiba-tiba yang sudah berdiri di sampingnya.
Jupri berjengit melompat dari bangku yang didudukinya, mendengar suara yang halus dan lembut dari sampingnya.
"Iih, Suci! Lain kali ucap salam kek, untung jantung abang baik. Jika ...." ucap Jupri sambil mengusap dada akibat terkejut.
"Aish, tidak boleh ngomong seperti itu, Bang. Tidak baik," serobot Suci sebelum Jupri menyelesaikan kalimatnya.
Mendengar ucapan Suci, tangan Jupri langsung menutup mulutnya sambil beristigfar. Setelah reda keterkejutannya, Jupri mengambil gelas kopinya lalu meminumnya perlahan.
"Terima kasih kopinya, Dek. Sangat pas komposisinya," puji Jupri.
"Sama-sama, Bang," balas Suci.
Suci melangkah masuk dalam lapak Mak Ijah untuk membereskan yang lain, memasak dan menyiapkan segala keperluan Mak Ijah saat siang hari.
Lapak Mak Ijah berukuran 4x5, jadi bisa beraktifitas keperluan dapur meski hanya kecil tapi bisa membuat Suci nyaman tinggal di lapak itu.
Jupri melangkah meninggalkan lapak Mak Ijah untuk menarik pajak para pemilik lapak dalam pasar. Lapak yang di luar pasar tugas Zaki. Setelah semua selesai, kedua pemuda beda usia itu berkumpul di pos belakang kantor polisi yang ada di sudut barat laut Pasar Sleko.
"Bagaimana perkembangan mengenai perijinan rumah singgah yang Abang usahakan? Perlukah Zaki membantumu ,Bang?" tanya Zaki mengawali perbincangan yang serius.
"Semua pemilik lapak sangat mendukung rencana abang, Zak. Tapi ... ." ucap Jupri menggantung.
"Apalagi yang membuatmu ragu, Bang? Jika semua sudah mendukung rencanamu itu," balas Zaki.
Jupri terdiam, termenung, memikirkan nasib kedua adeknya yang dia tidak tahu keberadaannya. Mereka masih kecil, sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Apakah nasibnya akan sama seperti mereka kelima anak yang sudah dalam pengawasannya.
"Aku masih harus mencari keberadaan kedua adekku, Zak. Apakah ibu tiriku bisa menjaganya? Atau malah sebaliknya?"
"Jika seperti itu, ijinkan saya, Zaki untuk menyelidikinya dengan mengintai rumah Abang yang ada di jalan Sriti itu," tegas Zaki penuh percaya diri.
"Heemm, benar juga ide kamu. Mereka tidak mengenal wajahmu, Zak. Baiklah mulai besok misi ini aku serahkan padamu, semoga ada kabar baik," ucap Jupri penuh semangat.
Kedua pemuda itu berbincang akrab laksana saudara, uang yang terkumpul di bagi sebagian untuk keperluan pribadi masing-masing sebagian di tabung untuk keperluan anak terlantar dan putus sekolah.
"Zak, besok selain kamu pergi ke rumahku yang dulu jangan lupa narik uang keamanan lapak dalam pasar ya. Seharian besok aku mau urus perijinan rumah singgah," ucap Jupri.
"Baik, Bang," balas Zaki.
Setelah mamberitahu Zaki, Jupri melangkah masuk dalam lapak mamak untuk mengambil beberapa buku bacaan. Untuk mengisi waktu luang Jupri sering membaca buku pelajaran untuk mengasah otaknya kembali menyimpan materi pelajaran.
Sejak bertemu Halimah, Jupri mulau merubah kebiasaannya sedikit demi sedikit. Mulai mengurangi konsumsi minuman beralkohol tinggi, judi dan tawuran antar sesama geng. Dia mulai belajar ilmu agama lewat bacaan yang bermanfaat juga mulai belajar mengaji seperti dulu.
Usaha yang dilakukan Jupri sangat keras, dia sudah bertekad untuk mensegerakan meminang Halimah sebagai bidadari dalam rumahnya kelak. Segala usaha dia terapkan untuk menuju kesuksesan yang signifikan.
Sementara di rumah mantan lurah Taman di jalan Sriti Nambangan, tampak Pak Dulah sedang duduk sendiri dengan wajah sedihnya.
"Imah, apa kabarmu?" lirihnya.
"Tolong maafkan aku, sekarang aku menyesali semua langkah bodohku. Lihatlah, mantan suamimu ini!" lanjutnya.
Tanpa di sadari oleh Dulah sesosok wanita yang cantik dengan tubuh yang proporsional bak peragawati sudah berdiri di sisi kirinya bersandar pada gawang pintu.
"Tak perlu kau panggil wanita tua yang tidak di untung itu, Pah. Masih saja mikir dia," dengus kesal Siska, istri muda Dulah.
"Mami, kok sudah berdiri di situ. Sejak kapan?"
"Sejak papah bicara sendiri, menyebut nama wanita tua itu," balas Siska dengan bibir cemberut.
Dulah paling tidak tahan melihat tingkah Siska yang manja sambil bibir yang cemberut. Gegas Dulah meraih tapak tangan Siska dan menariknya hingga tubuh yang sintal itu berhasil mendarat tepat di pangkuan Dulah.
Di dekapnya tubuh Siska dengan penuh kasih, tangan Dulah tidak pernah berhenti bergerak.
"Issh, ini tangan berhenti donk. Dari tadi kok gerilya, ndak cape semalaman bercinta?" sarkas Siska.
"Aku tidak pernah lelah, hanya untukmu permataku, Siska," balas Dulah sambil meniupkan udara di belakang telinga Siska.
"Dulah, oohg, hentikan tak baik dilihat orang."
Mendengar kalimat Siska, Dulah tidak berpikir dua kali dia langsung menggendong tubuh mungil nan sintal itu menuju kamar pribadinya.
Keduanya bersama dalam satu kamar.
Kelakuan dua orang dewasa itu tak lepas dari pandangan dua anak perempuan Dulah yang kebetulan ada di ruang tamu. Dulah tidak melihat keberadaan kedua anak gadisnya, dia terlena akan pesona Siska.
"Mbak, lihatlah polah bapak kita! Bagaimana kabar Mas Jupri ya?"
"Mbak sudah bosan hidup di rumah ini, Dek. Bagaimana jika kita pergi dari rumah ini?"
"Pergi kemana, Mbak? Rumah kakek yang di desa Pandean saja kita tidak tahu, apalagi keberadaan Mas Jupri!"
Percakapan kakak adik membuat pilu orang yang mendengarnya, Zaki yang berdiri di sebelah sis tembok pembatas jalan mendengarkan dengan seksama. Air mata perlahan mengalir di pipinya.
"Bang, lihatlah kedua adekmu ini! Kasian sekali nasibnya, tidak diperhatikan orang tua."
"Tenanglah adek berdua, kalian adalah saudaraku selain Abang Jupri. Suatu saat nanti akan kumunculkan senyum indah di wajah kalian lagi," lanjut Zaki.