"Pagi, Bang?" sapa Suci saat melihat Jupri melintas di depannya.
"Pagi, di mana Mamak?" tanya Jupri dingin.
"Mamak pulang ke rumah sebentar katanya ada yang ketinggalan, Bang," jelas Suci masih sedikit malu.
Jupri duduk di bangku yang ada di depan lapak menunggu Mak Ijah.
"Abang, mau minum apa?" tawar Suci.
"Kopi saja, jangan manis abang kurang suka!" balas Jupri.
"Siap, ditunggu dulu ya, Bang."
Setelah berkata itu, Suci melangkah ke dapur untuk buatkan segelas kopi abangnya.
'Jangan manis, segini apa cukup, ya?' lirih Suci.
Kopi pun sudah siap, Suci meletakan gelas itu di atas nampan di temani sepiring pisang goreng hangat.
'Moga abang suka,' batin Suci.
Dibawanya nampan itu ke depan, ternyata mamak sudah sampai.
"Maak? Kapan sampai?" tanya Suci sedikit terkejut karena tidak mendengar suara motor matic si mamak.
"Baru saja, lho kok kamu tidak sekolah? Bukankah sudah di daftarkan sama abangmu kemarin?" balas Mak Ijah.
"Ini kopinya, Bang. Maaf, Mak, saya bantuin Mamak jualan saja, ya? Saya malu masuk sekolah lagi," decih Suci.
Mak Ijah memandang Jupri yang asyik menghirup aroma kopi buatan Mak Ijah yang khas.
"Juupri!" panggil Mak Ijah dengan suara lantang.
Jupri hanya meringis melihat Mak Ijah yang sudah melotot. Pandangan mamak seakan meminta pertanggungjawaban Jupri. Diletakkan kembali gelas kopi di tempat semula, tangan Jupri terulur hendak mengambil pisang goreng tetapi piring pisang goreng itu keburu diambil mamak.
"Maak, Jupri ingin itu ...." ujar Jupri dengan manjanya.
"Jawab dulu semua tanya, Mamak! Jelaskan!" balas Mak Ijah.
"Jupri, sudah daftarkan adek ke sekolah terdekat Sdn Pandean 1. Tetapi seadeknya tidak mau, Maak. Jupri harus bagaimana lagi?" papar Jupri.
Suci diam termangu mendengar penjelasan Jupri yang langsung tanpa di saring seperti ucapannya saat itu.
"Suci tidak mau sekolah lagi, Bang. Suci malu, saya kurang pandai. Biar Suci bantu mamak jualan saja," balas Suci saat itu.
"Seperti itu, Maak. Kalimat si adek," jalas Jupri.
"Trus, apa rencana kamu hingga kamu kumpulkan banyak anak seperti itu?" tanya Mak Ijah.
Jupri melihat sekitar, tampak lima anak kecil seusia Suci duduk bersila di pinggir lapak Mak Ijah yang sudah di bersihkannya semalam.
"Jupri ingin membuka kelas untuk anak terlantar dan tidak punya biaya, Mak. Boleh, ya?" kata Jupri penuh permohonana akan restu Mak Ijah.
Mak Ijah terharu akan niat tulus Jupri, di letakkan lagi pisang goreng di bangku samping duduknya Jupri.
"Baik, Mamak setuju. Kalau seperti itu niat kamu maka biarkan Suci bantu kamu ya?" kata Mak Ijah.
"Boleh, Maak?" tanya Jupri dan Suci bersamaan.
Mak Ijah mengangguk tanda menyetujui dan merestui niat Jupri, keduanya memeluk Mak Ijah penuh kasih.
"Terimakasih, Mak. Jupri akan giat mendapatkan ijin untuk bangun rumah singgah di pojok dekat lapak Mamak. Mohon di bantu, ya Mak!" ucap Jupri.
"Pasti, mamak pasti bantu kalian," balas Mak Ijah merangkul kedua anak itu bagaikan anaknya sendiri.
Jupri merasa terharu, dia melangkah di depan kumpulan anak yang sudah membentuk lingkaran.
"Pagi, adek semua. Perkenalkan nama saya Jupri, panggil saja Abang!" sapa Jupri pada semua.
"perkenalkan nama kalian satu per satu!" lanjutnya.
"Saya, Amir." Seorang bocah laki-laki berdiri dengan rambut keriting dan berkulit hitam, memakai kaos coklat dekil.
"Saya, Tohir." Anak pria berdiri dengan kaos merah, kulit sawo matang dan mata belok.
"Saya, Lukman." Bocah laki-laki yang paling gendut di antara anak lain.
"Saya, Desi," ucap anak perempuan sedikit malu dengan tubuh yang kurus, berkulit bersih dengan rambut hitam lurus sebahu.
"Saya, Kumala, Bang," balas Kumala. Anak perempuan yang terlihat pandai.
Kelima anak itu berkumpul atas undangan Jupri dengan janji akan diajari cara baca dan tulis. Jupri akan turun tangan langsung memberi mereka pelajaran sesuai kemampuan dasar masing-masing.
"Baiklah, mulai besok kalian harus siap untuk belajar di sini jam sepuluh pagi!" ujar Jupri.
"Baik, Bang."
Terdengar jawaban kelima anak bersamaan, lalu mereka bubar kembali ke tempat asal mereka mengais rezeki. Masing-masing anak memiliki aktifitas berbeda.
Ada yang tukang semir sepatu, ada yang tukang membersihkan lapak orang yang sudah selesai berjualan bahkan ada yang sekedar menjual suara alias ngamen.
Jupri tergerak hatinya untuk membimbing mereka dalam hal yang lebih baik. Mengenalkan angka dan baca tulis agar bisa berguna kelak di kemudian hari.
"Bagaimana usaha kamu, Jupri? Sudah berapa anak yang mau ikut belajar di rumah singgahmu?" tanya Mak Ijah.
"Saat ini masih lima anak, Mak. Jupri minta doa dari Mamak untuk kelancaran usaha ini," ujar Jupri dengan mengusap lembut punggung tangan Mak Ijah.
"Mamak, selalu berdoa yang terbaik untukmu, Jupri. Jodohmu, rezekimu bahkan usahamu selalu yang terbaik. Jangan lupa segera cari ibumu, ya nak!" ucap Mak Ijah.
Jupri memandang kosong ke depan, meski dia mendengar semua ucapan Mak Ijah tetapi pikirannya menerawang jauh. Mengingat saat bersama keluarga utuhnya.
Jupri merindukan kehangatan keluarga, bercanda bersama ibu dan ayahnya juga kedua adeknya. Tunggu! Adeknya, tiba-tiba Jupri teringat akan adeknya, 'bagaimana nasib kalian, Dek?' batin Jupri perih bila ingat akan hal itu.
"Mak, masih ingatkah mamak dengan wajah adek Jupri?" lirih Jupri.
"Kamu adalah kakak yang buruk, Jupri. Masak punya adek bisa lupa?" gerutu Mak Ijah.
"Lain hari Jupri akan mencari informasi tentang nasib adek-adek, ya Mak. Bantu doanya!"
Mak Ijah tersenyum bahagia lambat laun hati Jupri terketuk akan nasib saudaranya yang dia sendiri tidak tahu kabarnya.
'Apakah ini efek bertemu dengan Halimah, harim yang diceritakan Jupri semalam?' batin Mak Ijah.
Sungguh ironi kehidupan sebuah keluarga bisa hancur gegara satu kata"MEDSOS". Jupri mulai mengerti arti kehidupan semenjak berkelana dalam kehidupan pasar.
Jika ingin hidup layak kita harus berjuang sesuai kemampuan yang ada, jangan pantang menyerah. Hidup terus berjalan tanpa ada yang melarang.