Mak Ijah meninggalkan Jupri dan Zaki dalam lapak, beliau pergi ke masjid yang ada di pasar untuk mengikuti sholat subuh berjamaah. Jupri termenung memikirkan perkataan Mak Ijah, sudah lama dia tidak memasuki masjid.
Perlahan Jupri berdiri, kakinya melangkah mengikuti Mak Ijah dari belakang. Saat Mak Ijah masuk tempat wudlu khusus wanita Jupri mengintip di antara celah yang terbuka, diperhatikannya setiap gerakan wudlu Mak Ijah dan direkam dengan otaknya.
Mak Ijah keluar dari tempat wudlu itu, matanya menangkap sebuah bayangan, 'seperti bayangan si Jupri, semoga kau segera kembali ke jalan yang benar, Nak,' batin Mak Ijah.
Melihat Mak Ijah keluar, Jupri langsung sembunyi di tempat gelap. Saat ibadah subuh sudah di mulai, Jupri melangkah masuk tempat wudlu di mana tadi Mak Ijah masuk.
Jupri mulai belajar cara wudlu sesuai yang terekam di otaknya saat melihat Mak Ijah berwudlu. Satu kali, dua kali, tiga kali, Jupri masih belum puas. Dia seakan menemukan keasyikan tersendiri dengan cara wudlu, hingga sebuah suara menghentikan dia berwudlu.
"Sudah benar caramu berwudlu, Nak. Mengapa masih kamu ulangi?" ucap Pak Hasan, imam masjid pasar.
Jupri terkejut dan menoleh asal suara itu, dengan senyum yang kaku Jupri mendekati imam masjid itu.
"Maafkan saya, Pak, jika dengan kedatangan saya membuat masjid ini menjadi kotor dan penuh najis," ucap Jupri dengan polosnya.
Pak Hasan melangkah mendekati Jupri, merangkul tubuh nan lelah itu masuk dalam masjid. Udara yang dingin terasa nyaman dan sejuk menerpa relung jiwa yang kosong, menimbulkan getaran yang aneh dalam hati Jupri.
"Mengapa saya dibawa masuk, Pak. Saya adalah manusia hina dina penuh dosa, apakah saya masih pantas untuk masuki tempat suci ini?" tanya Jupri dengan nada lirih dan sarat akan kelukaan yang dalam.
"Semua makhluk Tuhan berhak masuk masjid ini asal dalam keadaan suci dan bersih ...,"
"Bukankah saya sudah bilang, saya menusia hina penuh dosa bukan manusia yang baik dan suci!" ucap Jupri dengan nada sedikit tinggi.
Pak Hasan dengan sabar menjelaskan pada Jupri tentang kata suci dan bersih sebelum masuk masjid, Jupri yang dasarnya anak cerdas dengan cepat menangkap penjelasan dari Pak Hasan. Perlahan tapi pasti Jupri mulai belajar lagi tentang islam.
"Ijinkan saya belajar agama lagi, Pak, saya rindu Robb ku," ucap Jupri dengan lirih sambil berderai air mata, Jupri menagis sesenggukan bersujud di kaki Pak Hasan.
"Jupri, anak baik, Tuhan selalu mengampuni hambanya. Jangan kecil hati, kembalilah Nak. Bapak akan selalu membantumu," kata Pak Hasan.
Direngkuhnya Jupri, dipeluknya memberi semangat bahwa hidup terus maju bukan kebelakang. Jupri merasa terharu dan terimakasih, dia berjanji akan kembali ke jalan yang benar.
Cukup lama Jupri bercerita dengan Pak Hasan hingga hari menjelang siang, Pak Hasan pamit undur diri.
"Sudah waktunya untuk bapak bekerja, Nak. Maafkan bapak, besok kita sambung lagi," kata Pak Hasan.
"Baiklah, terimakasih atas waktunya, Pak. Saya akan berusaha selalu merubah prilaku keseharian," balas Jupri.
Mereka perpisah di depan masjid, Jupri melangkah ke pos tempat dia biasa duduk. Di sana sudah ada Zaki teman setianya.
"Sarapan Abang nih dari Mak Ijah," ucap Zaki begitu Jupri duduk di depannya.
"Terimakasih, Zaki. Apa kamu sudah sarapan? Mana sarapanmu?" tanya Jupri.
Zaki hanya tersenyum, dia sangat paham siapa Jupri. Dengan senyumnya, Zaki berharap Jupri segera melahap sarapannya. Namun sayangnya Jupri bukan teman yang suka meninggalkan teman, susah senang selalu bersama itu prinsip Jupri.
"Mana sarapanmu, Zaki?" pertanyaan itu keluar lagi dari bibir Jupri.
"Ada, Bang. Nih, yuuk kita sarapan bareng!" ajak Zaki sambil mengeluarkan bungkusan nasi beserta dua sendok.
Jupri yang melihat Zaki menyiapkan sendok dua, dia pun mengambil air mineral dua gelas yang tersedia di pos itu.
Mereka berdua makan dengan lahapnya tanpa beban, seakan hanya mereka saja yang merasa lapar.
"Alhamdulillah, selesai sudah. Kenyang banget ya Bang," ucap Zaki dengan sendawa yang di buat-buat.
"Heem," balas Jupri.
Zaki melangkah membersihkan kotoran sisa mereka makan dan membuangnya ke tempat sampah.
"Aku keliling dulu, Zaki. Menarik iuran para penghuni lapak di dalam pasar, kali ini bagianmu yang di luar pasar dan ingat jangan memaksa!" kata Jupri.
"Baik," balas Zaki
Setelah mendengar jawaban Zaki, Jupri melangkahkan kakinya menuju dalam pasar. Dia mulai menarik pajak di tiap penghuni lapak. Hingga sampai di lapak Bapak Imam, Jupri bicara baik-baik.
"Pak Imam, ini harta Bapak yang saya ambil dari pencuri semalam," ucap Jupri dengan sopan.
"Jupri, kau bisa mengambilnya, terimakasih. Harta ini sangat berguna bagi saya, jika ini hilang dengan apa saya harus membayar gaji karyawan dan umrah bulan depan. Sekali lagi terimakasih, Nak," ucap Pak Imam sambil mengusap lengan Jupri perlahan.
"Ini untuk kamu, hanya sedikit sebagai rasa terimakasihku," lanjut Pak Imam menyerahkan dua lembar uang ratusan ribu pada Jupri.
Jupri menolak uang itu dengan halus, baginya cukup hasil pajak tiap hari yang selalu dia ambil di tiap lapak. Itu sudah kewajibannya menjaga keamanan lapak, jadi tidak perlu lagi.
Karena Jupri menolak pemberiannya, akirnya Pak Imam tersenyum dan memasukkan dua lembar uang sepuluh ribuan ke saku Jupri. Mau tidak mau Jupri harus menerima uang itu untuk menghormati pemilik lapak.
Setelah dari lapak Pak Imam, Jupri melanjutkan ke lapak yang lain. Di tiap lapak Jupri hanya menarik uang keamanan sebesar lima ribu rupiah, tidak semua lapak memberi uang keamanan padanya.
Jupri hanya menarik uang keamanan pada lapak yang mau saja dan percaya padanya. Dalam sehari Jupri mengumpulkan uang keamanan sebesar seratus ribu rupiah jadi sekitar dua puluh lapak yang berada dalam pengawasannya.
"Juprii," teriak Mak Ijah saat melihat Jupri berjalan menuju lapaknya.
"Iya, Mak,"
"Sini, duduk dulu sama, Mamak. Mamak kangen pengen ngobrol, bentar temani emak ngobrol," kata Mak Ijah.
Jupri pun duduk di samping Mak Ijah, mendengarkan cerita dari wanita setengah baya yang masih tampak segar dan cantik di usianya yang menjelang enam puluh tahun.
Di usapnya punggung tangan Mak Ijah kala cerita itu sedih, di peluknya wanita setengah baya itu seperti dia memeluk ibunya dulu. Jupri juga sering memeluk ibunya saat sedih, jadi seperti itu juga perlakuan Jupri pada Mak Ijah.
Bagi Jupri, Mak Ijah adalah pengganti ibunya yang telah pergi meninggalkannya entah ke mana, begitu pula Mak ijah. Jupri sudah seperti anak lelakinya yang bekerja di luar kota.
"Jupri, maafkan Mamak yang tua ini ya, selalu membuatmu repot," ucap Ma Ijah.
"Jupri tidak merasa di repotkan olehmu, Mak. Justru Jupri senang jika Mak juga senang," balasnya dengan halus.