Chapter 13 - Di Balik Langit, Bagian 3

"Haa..."

Ketika aku sadar, aku telah berada di kamarku. Sejak kapan aku pulang? Apa jangan-jangan aku bertemu dengan Evelyn tadi malam itu hanyalah mimpi.

"Sakit!"

Tapi ketika aku memegang belakang kepalaku, rasa sakitnya beneran ada. Berarti itu bukanlah mimpi. Tapi kalau begitu bagaimana aku bisa pulang? Ingatan terakhirku adalah terlempar oleh Evelyn dan terjedut oleh sesuatu.

Jangan-jangan Evelyn yang bawa aku pulang?

Aku segera berlari keluar dari rumah. Tapi tidak ada siapapun. Tidak ada Aron.

Lalu aku mengecek meja makan. Mengejutkannya jumlah makanan yang ada di dalamnya sangat banyak. Mungkin 2 kali lipat lebih banyak dari biasanya.

Sudah kuduga Aron menyadarinya ya? Kakakku memanglah sangat pintar, aku tidak bisa membohonginya.

Setelah memasukkan secukupnya ke dalam tas, aku berangkat ke sekolah. Sebenarnya aku ada keinginan untuk bolos saja sekalian, tapi aku tidak ingin membuat Rudy dan Adel khawatir.

Di sekolah Adel dan Rudy sudah menunggu di dalam kelasku.

"Hey Icho

"Woy Icho"

"Kenapa kalian berdua masih pagi sudah ada disini?"

"Icho kita ada sedikit permintaan"

"Apa itu?"

"Pertemukan kita dengan wanita di dalam hutan itu"

"Haaa!?!?"

"K-ke-kenapa kamu ingin bertemu dengannya? Kan kemarin aku bilang dia itu ketakutan"

Tanpa sadar aku grogi ngomongnya. Ada apa tiba-tiba mereka bilang seperti ini.

"Yah kita berdua ini penasaran sebenarnya wanita itu. Siapa sih orang yang menarik perhatian kamu sampai begitunya"

"Terlebih lagi.."

Rudy menunjuk wajahku.

"Ada apa?"

"Kamu tidak ngaca ya hari ini? Betapa pucatnya wajah kamu hari ini"

"Eh?"

Lalu Adel memberikan kaca kecil dari dalam kantongnya. Wanita memang selalu bersiap hal seperti ini ya.

"Uwah"

Benar kata Rudy, wajahku pucat. Aku sendiri tidak menyadarinya. Karena mengalami begitu banyak luka dan rasa sakit akhir-akhir ini, tubuhku kelelahan. Tapi karena keasyikan dengan diri sendiri aku sendiri tidak menyadarinya.

"Jadi kenapa wajah kamu sampai pucat seperti itu?"

"Tidak, bukan apa-apa kok tenang saja"

"Beneran?"

"Beneran, beneran"

Aku memang bodoh. Kenapa aku tidak menyadarinya. Gara-gara kelalainku temanku ini jadi khawatir.

"Karena khawatir dengan wanita itu, jangan-jangan dia yang membuat tubuh kamu sampai seperti itu, makanya kami datang untuk bertemunya"

"Ta-tapi, aku tidak bisa membawa kalian berdua begitu saja, bagaimana kalau dia semakin ketakutan dan malah melarikan diri?"

Sejujurnya yang lebih kutakutkan adalah bagaimana jika Evelyn menggunakan kekuatan anginnya itu ke Rudy dan Adel. Aku tidak tahu apa yang mereka berdua akan lakukan jika mengetahui identitas dari Evelyn.

"Tenang saja, aku punya rencana. Pertama kita akan melihatnya dari jauh. Nanti kamu bilang ke dia kalau kamu mau mengenalkan kita. Kalau dia gamau kita akan segera pulang

"..."

Aku tidak yakin rencana dari Adel akan berjalan dengan baik. Bagaimana kalau mereka melihat keberadaan Isla? Aku tidak yakin mereka akan diam melihat saja.

"Gini aja bagaimana kalau hari ini aku coba bertanya pada dia? Nanti kalau dia setuju besoknya kalian boleh datang bertemu dengannya"

"Besok ya hmm, bagaimana kalau dia tidak setuju?"

"A-akan aku usahakan dia buat setuju"

Kemungkinan besar Evelyn tidak akan setuju. Jadi besok aku ada waktu buat mengeluarkan dia dari hutan dan menyembunyikannya di tempat lain.

Tapi dari mata Rudy dan Adel sepertinya mereka tidak menyukai saran yang kuberikan.

"Beneran? Bukannya kamu cuman mau mengulur waktu saja?"

Gawat, tebakan Adel benar.

"Be-beneran kok sumpah hehe"

Aku mengeluarkan suara aneh yang terpaksa. Tanpa sadar aku juga menggaruk pipiku.

"Yah sudah deh, kita percaya kamu Icho"

"Kalau ada apa-apa segera bilang lho ya!"

"Iya tentu saja, karena kalian ada teman aku"

Untuk sekarang aku berhasil menahan mereka, tapi aku tidak tahu sampai kapan aku bisa melakukannya. Aku harus membicarakan ini dengan Evelyn.

Apa dia mau mendengar pembicaraan aku ya...

Setelah sekolah selesai aku mengayuh sepeda secepat yang kubisa. Karena khawatir Aron dan Adel mungkin saja mengikuti dari belakang, setiap beberapa menit aku menengok ke belakang. Mungkin ini sedikit berlebihan tapi aku tidak boleh lengah lagi.

Sampai aku di hutan setelah memastikan tidak ada siapapun yang mengikutiku, aku segera berlari masuk ke dalam hutan. Aku tidak melihat keberadaan dari Bronny, apa dia masih bersama Evelyn ya?

Mungkin karena sudah beberapa kali melakukannya aku sudah tidak kesakitan lagi ketika turun dengan tali tersebut. Memang masih terasa sakit di tangan, tapi punggung dan selankanganku tidak kesakitan lagi seperti waktu pertama kali menuruninya.

Dengan sekejap aku langsung sampai di depan gua. Di situ terdapat Evelyn yang sedang bermain-main dengan Bronny. Lalu untuk Isla dia sedang menggali tanah dengan paruhnya. Apa yang dia lakukan..?

"Hey Evelyn"

".."

Mengabaikan panggilanku, Evelyn meneruskan permianan gelitik-gelitikannya dengan Bronny.

Ada yang kuingin pastikan terlebih dahulu.

"Evelyn apa kamu yang membawa aku pulang ke rumah?"

"..."

Evelyn tetap diam. Dia berhenti bermain dengan Bronny.

"Bagaimana Evelyn?"

"... Makan"

"Haa..."

"Kamu kesini membawa makanan kan? Itu dulu. Setelah itu akan aku lakukan jika aku mau saja"

Ah jadi sama seperti kemarin ya...

Yah sudah deh, untuk sekarang aku hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauannya.

Hari ini aku membawa ayam goreng tepung dan sup sayur. Tentu saja tidak lupa dengan nasi. Lalu ada tambahan makanan penutupnya adalah donut coklat.

Sejujurnya aku agak takut untuk membawa donat coklat ini. Donat coklat adalah makanan kesukaan Aron. Dia sering memakan ini ketika hari libur, sambil membaca buku dan meminum kopi.

Tapi karena hari ini hanya hari sekolah biasa dan Aron sedang sibuk belajar mempersiapkan masuk kuliah, aku mengira dia sedang tidak ingin makan donat ini.

Isla yang melihat aku mengeluarkan makanan dari tas, langsung berhenti menggali tanahnya dan merebut nasi.

"Hey!"

"Ka! Ka!"

Dengan lahap dia langsung memakannya. Di lain pihak Evelyn hanya memperhatikan dengan keheranan makanan yang kuberikan.

"Apa ini, makanan dengan lubang seperti ini?"

"Ah itu namanya donat. Lubang itu dibuat biar bisa matang sempurna"

"Hmm..."

Setelah satu gigit, Evelyn terlihat sangat senang. Matanya bersinar-sinar dan mulutnya terlihat senyum sedikit.

"Bagaimana rasanya?"

"Biasa saja..."

Sekali lagi meskipun dia ngomong dengan nada datar, tapi ekspresinya berkata lain. Melihatnya dia senang aku juga ikutan senang.

Hanya dalam waktu 5 menit saja, makanannya langsung lenyap. Syukurlah kalau mereka menikmatinya.

Setelah menyelesaikan makannya, Evelyn tiba-tiba mendekat ke arahku.

"A-ada apa?"

"Diam"

Wajah semakin dekat hingga akhirnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajaku.

A-a-apa dia akan menciumku??

"Tidak bodoh, aku tidak akan mencium kamu"

"Eh?"

Eh? Eh? Eh? Apa dia bisa membaca pikiranku?

Lalu tangannya memegang belakang kepalaku. Aku merasakan udara hangat mengalir ke dalam kepalaku. Rasa sakit di kepalaku mulai menghilang,

Ini penyembuhan yang sama dengan kemarin.

"Yang kamu bilang kemarin..."

"Hm?"

Oh, tidak kusangka Evelyn akan memulai pembicaraan.

"Apa kamu bisa bilang sekali lagi yang kamu bilang kemarin..."

"Oh boleh"

Hm? Kira-kira pembicaraan mana yang dia maksud. Ah sial aku langsung menyetujuinya begitu saja.

"... Kalimat sebelum kamu pingsan itu..."

Uwah! Evelyn bisa menjawab pertanyaan padahal belum kuucapkan sama sekali. Berarti dia memang bisa baca pikiran ya.

Hmm... sebelum aku pingsan ya, kalau tidak salah...

Aku lalu memegang tangannya yang masih hangat itu dan mengatakannya tepat di hadapan wajahnya.

"Aku ingin ada hubungannya dengan kamu! Aku ingin ikut campur dengan urusan kamu! Evelyn, apa kamu mau jadi temanku?"

Evelyn melepaskan pegangan tanganku, duduk berhadapan denganku dengan wajah yang serius. Wajah itu bukan lagi wajah dipenuhi amarah, atau kekesalan. Dia hanya ingin berbicara empat mata denganku.

"...Kenapa kamu ingin tahu tentang aku?"

"K-Kenapa katamu?"

"Bukannya lebih baik kalau tidak mengetahui informasi hal yang berbahaya. Apa kamu tidak takut? Kalau misalnya kamu itu terbawa dengan masalahku. Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan kamu. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu ingin ikut campur dengan urusanku"

"Karena..."

Aku sering ditanyai seperti ini. Kenapa kamu sebegitunya ingin tahu banyak hal. Kenapa kamu tidak bisa normal saja seperti orang lainnya. Mengetahui suatu hal seperti itu tidak ada gunanya di masa depan. Cukup pelajari saja apa yang diajarkan di sekolah dan masyarakat, tidak perlu mengetahui hal-hal tidak penting seperti itu.

Tetapi, aku.. hanya ingin...

"Karena.. aku ingin jujur dengan diri sendiri. Diriku penasaran dengan suatu hal dan aku berusaha untuk mencari jawabannya. Itu saja"

"Jujur dengan diri sendiri?"

"Iya aku sekarang ingin tahu apa yang terjadi pada kamu. Karena itu, maukah kamu menceritakan apa yang terjadi pada kamu Evelyn?"

"Lalu apa yang kamu bisa lakukan setelah mengetahui tentang aku? Setelah mengetahui semua informasi yang kamu ingin ketahui itu?"

"Hmm benar juga. Sebagai gantinya aku mendapatkan informasi, aku akan memenuhi satu permintaan kamu apapun itu"

".."

Evelyn terlihat seperti tidak mempercayaiku. Baiklah mau bagaimana lagi, untuk bisa negoisasi seperti ini, sepertinya aku harus jujur dengan semua yang aku miliki.

"Aku ini bukan orang sangat baik yang mau menolong wanita aneh tidak dikenal di dalam hutan. Aku pun sadar jika menolong kamu ini pasti ada bahayanya juga. Banyak orang yang masih mengkhawatirkan orang bodoh sepertiku ini. Karena itu untuk menghargai mereka sejujurnya aku lebih tidak melakukan tindakan yang berbahaya. Tetapi lain cerita jika seseorang memiliki sesuatu yang menarik bagiku"

"...Kamu benar-benar manusia yang egois ya"

"Hahaha, kan aku sudah bilang aku hanya ingin jujur ke diri sendiri. Karena itu Evelyn aku punya satu saran"

"Apa itu?"

"Sebagai gantinya kamu memberikan informasi padaku, aku berjanji akan membantu dengan masalah apapun yang kamu miliki sekarang"

"Manusia lemah seperti kamu mana bisa membantu masalah yang aku miliki"

"Itu benar, sangat benar. Tetapi aku ingin punya ingin punya posisi yang setara dengan kamu. Aku akan berusaha sebisa mungkin"

...

Evelyn termenung cukup lama. Pandangannya yang tadinya marah sekarang sudah tenang.

"Posisi yang setara ya... aku suka kata itu. Baiklah manusia, aku terima permintaan kamu. Aku akan menjadi teman kamu"

"Yes!"

Akhirnya dari mata Evelyn terpancar aura harapan. Sepertinya ada tetesan air mata mengalir tapi dia segera menghapusnya.

"Aku adalah makhluk dari ras Fayn"

"Fein?"

"Fayn! F-A-Y-N! Kalian ras manusia kalau tidak salah menyebut kita sebagai peri"

"Peri..."

Peri. Kalau menurut ingatanku istilah ini sering digunakan di cerita rakyat atau dongeng jaman dahulu untuk menggambarkan makhluk gaib yang sering ikut campur urusan manusia.

"Tapi kalau tidak salah, peri itu adalah wanita kecil seukuran telapak tangan, berpakaian daun hijau, berambut kuning dan bisa terbang kan?"

"Jadi seperti itu penggambaran peri di mata manusia??? Yah terserah deh. Tapi benar, tubuh asliku memang kecil dan karena suatu hal aku terpaksa menggunakan tubuh manusia ini"

"Menggunakan? Apa maksudnya itu?"

"Penampilan tubuh manusia yang kamu lihat sekarang iniadalah mayat manusia yang sudah mati"

"Owalah begitu"

Pantas dia sebelumnya pernah bilang kalau tidak ada gunanya menolong dia.

"Normalnya untuk ras Fayn harus membuat kontrak dengan makhluk hidup lain agar bisa hidup. Tetapi karena tidak ada yang mau membuat kontrak denganku, terpaksa aku harus menggunakan mayat"

"Hmm hmm begitu begitu"

Sebisa mungkin aku harus menyerap semua yang Evelyn katakan. Meskipun sekarang tidak paham tidak apa-apa.

"Jadi kenapa kamu melarikan diri?"

"Ehh? Kenapa kamu bisa tahu aku melarikan diri"

"Oh jadi aku benar? Nice hehe. Aku membuat teori dari kejadian yang aku lihat kemarin"

"Humm, teori seperti apa itu?"

"Pertama yang harus dipikirkan itu bukan apa yang kamu lakukan disini tetapi kenapa kamu ada disini. Dari seragam kamu itu sepertinya kamu bagian dari suatu organisasi. Dan dari luka di punggung kamu dan luka di sayap Isla, sepertinya kalian terluka ketika dalam terbang dan akhrinya terjatuh—Oi kenapa malah aku yang cerita?"

"Humm gapapa kok, dengar cerita kamu cukup menarik dan benar kok teori kamu"

Kenapa sekarang Evelyn menunjukkan senyuman jahat seperti itu. Dia bisa baca perasaanku tapi aku sama sekali tidak paham perasaannya.

"Baiklah kalau gitu. Tapi aku tidak tahu detailnya. Darimana atau siapa kamu melarikan diri"

"Di balik langit.."

"Hm?"

"Di balik langit, apa kamu pikir ada surga?"

"Surga ya..."

Karena aku bukan penganut agama apapun, sejujurnya aku tidak terlalu mempercayai hal religius seperti itu. Aku juga pernah membaca beberapa buku bahwa surga itu mungkin saja hanyalah karangan dari orang jaman dahulu, supaya banyak orang yang bergabung dengan perkumpulannya.

Tetapi menurutku.

"Aku harap surga itu beneran ada"

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Yah begini, jadi ibuku sudah lama meninggal sejak aku masih kecil. Karena itu aku berharap ibuku sekarang berada di tempat yang indah sekarang ini"

"Begitu ya"

Aku tidak ingat sama sekali tentang ibuku, tapi yakin aku ibuku adalah orang yang baik. Pasti ibuku sekarang ada di surga sana. Aku percaya itu.

"Ah- kamu mengalihkan pembicaraan ya! Apa hubungannya surga itu dengan darimana kamu melarikan diri?"

"Tentu saja ada hubungannya, sangat berhubungan. Karena aku ... melarikan diri dari situ"

"Dari situ mana?"

Perasaanku ga enak nih.

"Dari di balik cakrawala, tersembunyi di balik awan, aku berasal dari... kalian yang sebut sebagai surga"

"Hah!?"

... barusan dia bilang apa?

"Surga katamu? Jadi tempat itu beneran ada?"

"Setidaknya dinamakan seperti itu. Tapi mungkin ini berbeda dengan apa yang kamu bayangkan"

Aku merasakannya lagi. Jantungku berdebar-debar. Dipenuhi dengan rasa penasaran dan ketertartarikan.

"Kalau begitu ceritakan aku tentang surga itu!"

"Untuk sekarang.. tidak bisa"

"Kenapa tidak? Bukannya kita sudah sepakat tadi? Jangan-kamu udah sampai sini kamu berubah pikiran"

"Bukan, tenang saja. Lihat keatas"

"Atas?"

Ah! Aku baru sadar ternyata langit sudah ditutupi langit gelap. Sudah pasti sebentar lagi bakal hujan nih.

"Tapi cuman hujan doang mah ga masalah, aku bisa meneduh di gua ini bersama kamu"

"Tidak, kamu harus pulang sekarang juga"

"Hah memangnya kenapa, sudah sampai sini kita bicara, aku bakal terus kepikiran nanti"

"Akan aku lanjutin kalau hujannya sudah berhenti"

"Kenapa tidak sekarang saja?"

"Kumohon... tolong pulang ke rumah. dan tolong jangan keluar dari rumah kamu ketika hujan masih turun lebat di luar"

"Ba-baiklah..."

Sepertinya aku dengar peringatan ini sebelumnya. Dimana ya, aku agak lupa.

Dengan perasaan campur aduk, aku terpaksa pulang ke rumah.

"Oh iya, untuk terakhir"

"Hm?"

"Kamu masih ingat, kemarin sebelum aku melempar kamu itu.."

"Melempar... aaa"

Oh iya aku ingat rasa sakit itu. Terlempar dengan kekuatan angin tidak jelas. Pantatku lumayan sakit waktu itu. Bahkan sekarang masih terasa sedikit sakit.

"Sebelum aku lempar kamu itu, aku sempat bilang aku ada pertanyaan terakhir kan"

"Aaa, iya aku masih ingat. Memangnya apa pertanyaan terakhir itu?"

"Kamu apa mengenal orang-orang berjubah hitam?"

'Berjubah hitam? Hmmm..."

Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi aku tidak ingat. Akhir-akhir aku fokus mikirin Evelyn saja jadi hal yang lain aku segera lupa.

"Maaf aku tidak tahu"

"Begitu ya, baiklah, syukurlah..."

Evelyn terlihat lega setelah mendengarnya. Kira-kira apa ya yang dimaksud dengan orang-orang berjubah hitam itu.

Hmmm.. sepertinya aku kelewatan satu hal.

Apa ya kira-kira?? Sekilas wajah kedua temanku terbesat di dalam kepalaku.

"Oh iya!!"

"Apa lagi sih? Udah kubilang cepetan pulang sana"

"Satu lagi Evelyn, satu pertanyaan lagi"

"Haa... yaudah cepetan"

"Sebenarnya aku sempet cerita tentang kamu ke kedua temanku"

"APA!!"

Wushh! Angin kencang mengalir dari Evelyn. Aku takut terlempar lagi makanya aku segera memegang batu besar di dekatku.

"Kenapa kamu tidak bilang dari awal, bodoh!"

"Yah pembicaraan kita tadi cukup berat dan serius, jadi aku agak lupa"

"Lupa..."

Wajahnya yang tadi penuh dengan harapan dan bahagia, langsung hilang dan kembali dipenuhi amarah lagi.

"Te-tenang saja, tenang saja. Aku sama sekali tidak membicarakan rahasia kamu. Aku hanya bilang ada seorang wanita di hutan"

"... Lagian kenapa kamu menceritakan kepada mereka?"

"Karena mereka berdua adalah teman terbaikku. Mereka khawatir padaku kalau misalnya aku melakukan hal yang berbahaya

"..."

Evelyn terlihat terkejut dengan perkataanku. Kenapa apa yang kukatakan itu aneh?

"Lalu ada apa dengan kedua temanmu itu?"

"Sebenarnya mereka bilang mau bertemu dengan kamu. Mereka sepertinya penasaran orang seperti apa kamu. Apa kamu mau bertemu dengan mereka berdua?"

"..."

Evelyn terdiam cukup lama. Setelah itu dia menengok ke atas.

"Hmph aku tidak masalah bertemu dengan mereka"

"Benarkah?"

"Tetapi setelah hujan ini berhenti dan langit gelap itu pergi dari sini"

"Oh iya tentu saja!"

Pada waktu itu seharusnya aku lebih memikirkan lebih dalam dengan apa yang dibilang oleh Evelyn.

Surga. Langit. Orang-orang berjubah hitam. Peri. Melarikan diri. Isla. Evelyn. Kekuatan.

Padahal aku sudah mendapatkan kata kunci yang cukup banyak.

Andaikan saja aku lebih pintar, lebih teliti, lebih dewasa, semua tragedi ini mungkin saja tidak akan terjadi.

Aku masih tidak tahu tindakan apa yang sebenarnya tepat untuk dilakukan.

Meskipun begitu ada satu hal yang pasti, satu hal yang harus kulakukan.

Janji pada Evelyn, pasti akan kutepati.

Dengan perasaan gelisah seperti itu aku kembali pulang ke rumah. Meninggalkan Evelyn yang lanjut bermain bersama Bronny.