Ayah menyarankan agar kita mengikuti mereka pergi evakuasi ke kota lain. Para warga yang selamat sudah dievakuasi sebelumnya.
Ayah hanya menyarankan. Benar berarti ayah juga memberikan aku pilihan lain.
"Apa kamu ada rencana pergi ke tempat lain?"
Aku keluar dari sekolah dan menengok ke atas.
Hujan sudah berhenti, tapi angin dingin masih terasa.
Di langit sana, masih terdapat lubang besar yang menganga.
Terlihat beberapa bayangan kecil di tengah yang tadinya hanya terbang memperhatikan saja tapi sekarang sudah terbang masuk ke dalam lubang tersebut.
Sepertinya mereka sudah mau mundur dari kota.
"Kelihatannya rencana mereka gagal"
"Hm memang rencananya apa?"
Dengan santai Evelyn duduk di bahuku.
"Rinciannya aku tidak tahu, tapi sepertinya para pasukan itu menemukan suatu petunjuk"
"Hmm petunjuk soal apa?"
"WOY ICHO!"
"Icho"
Haaa yaampun. Ada penggangu lagi. Dan aku hapal suara ini. Udah berapa kali aku mendengar teriakan dalam satu hari ini.
Itu adalah Aron dan kak July di belakangnya. Mereka berdua penampilannya dipenuhi lumpur dan terlihat capek.
"Ada apa sih kak?"
"Jangan lihat ke atas terus sialan, coba lihat keadaan sekitar"
Aku mengikuti omongan Aron dan menengok ke bawah.
Saat itu aku benar-benar terkejut dari dalam hati, dan reflek merasakan isi perutku mau keluar.
Pemandangan yang menjijikan dan mengerikan.
Begitu banyak mayat. Sebagian mayat adalah warga kota sini. Dan sebagian lainnya adalah makhluk asing.
"K-k-kenapa mereka semua... m-mati?"
Tubuhku dipenuhi perasaan sedih, muak dan mual..
"Mereka semua telah dibunuh oleh monster-monster tadi!"
Monster? Memang benar yang menyerang aku tadi berniat membunuhku. Tapi tidak semuanya monster, setidaknya di sisiku ini ada Evelyn.
"Kamu tidak sadarkan diri selama 10 jam lebih. Sekarang sudah pagi hari dan para musuh sudah tidak ada semua"
Ayah keluar dari sekolah juga bersama temannya dan
"10 JAM!?"
Berarti selama aku enak-enakan tidur, terjadi pertempuran besar-besaran di kota ini. Dan hasilnya adalah... banyak warga kota Ekasia ini yang menjadi korban.
Begitu aku perhatikan lagi, di jalan banyak mobil hitam dengan orang-orang yang bernampilan mirip dengan ayah. Mereka mengangkut mayat-mayat manusia dan bukan manusia lalu memasukkannya ke dalam mobil.
Dalam hati aku merasa kesal. Tak kusangka begitu banyak korban.
Aku mengenal mereka semua. Pak penjaga gerbang sekolah. Ibu guru matematika Misna pak guru Fisika Joseph, teman kelasku Bern dan masih banyak lagi.
Itupun masih di area sekolah ini. Bagaimana dengan tempat lain.
"Ini adalah kesalahan ayah Icho. Ayah tidak menyangka mereka akan menyerbu besar-besaran hanya untuk kota kecil seperti ini"
"Apa ayah selalu mengerjakan hal seperti ini?"
"Iya ayah tidak pernah memberitahu sebelumnya, inilah pekerjaan ayah. Sebagai anggota Biro Penanggulangan Humanoid dan Monster tugas ayah adalah bertarung dengan makhluk-makhluk ini untuk melindungi umat manusia"
Begitu ya, aku tidak tahu bagaimana ayah masih bisa bersikap tenang seperti itu dalam situasi mengerikan seperti ini.
"Kenapa...kenapa mereka menyerang kita?"
"Menurut kita, kalian manusia adalah makhluk paling jahat, bengis dan menjijikan yang ada di muka bumi. Mereka ingin kalian musnah dari daratan agar kita tidak perlu hidup bersembunyi di atas langit lagi"
Evelyn mengatakannya dengan suara yang sedih.
Jadi kita yang salah? Aku tidak tahu tempat lain tapi setidaknya di kota ini tidak ada satupun orang jahat. Mereka memperlakukan orang asing sekalipun dengan ramah, dan saling tolong menolong.
"Aku tidak mengerti"
Mendengar jawabanku Evelyn terlihat murung dan akhirnya duduk diam di bahuku.
"Ga penting siapa yang salah atau benar, yang penting sekarang adalah kita tetap hidup dan kita harus berjuang untuk melindungi orang-orang yang berharga bagi kita"
Sekali lagi Aron menyatakan hal yang sangat benar.
"Ayo Icho segera masuk mobil. Kalian juga Aron dan July"
Kita semua berjalan dengan wajah murung. Meninggalkan kampung halamanku dengan situasi terburuk yang pernah ada.
"..."
Perasaam gelisah dan kesal memenuhi hatiku.
Sudah kuduga aku tidak terima.
Aku memang tidak terima dengan situasi ini.
Aku tidak bisa pergi begitu saja tanpa mengetahui kebenaran
Lalu aku menghentikan langkahku.
"Aku... tidak ikut kalian"
"HAA!?"
Mereka semua kelihatan khawatir, tentu saja Aron marah dengan pernyataanku. Tapi ayah hanya memperhatikanku dalam diam.
"Aku tidak ingin ikut dengan kalian. Ada tempat lain yang ingin kudatangi?"
"HA, memangnya mau kemana?"
"Pergi ke langit"
Aku tidak tahu kenapa selama 10 jam ini lubang langitnya masih terbuka tapi ini adalah kesempatan. Aku harus menggunakannya untuk bisa pergi ke surga itu secepat mungkin.
"Adik sialann!"
Aron mendekatiku dengan ekspresi kesal yang belum pernah kulihat sebelumnya lalu dia mengangkat kerah bajuku.
"Langit adalah tempat tinggal makhluk-makhluk itu, mereka adalah musuh kita! Hanya orang gila yang mau pergi ke sarang musuh sendirian tanpa persiapan apapun!"
"Aku tidak sendirian, lihat"
Aku menunjuk ke bahuku yang ada Evelyn, wajahnya sekarang sudah mantap dia kelihatannya sudah membulatkan tekadnya.
"Bukan itu maksud gua, brengsek!"
"Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk pergi dan mempelajari tentang mereka"
"Memangnya apa gunanya mempelajari mereka hah!?"
Kegunaan ya?
Sejujurnya aku belum kepikiran sampai situ. Kalau aku jawab 'Hanya ingin memenuhi penasaranku saja' detik berikutnya pasti aku akan dihajar.
Aku harus memikirkannya baik-baik sebelum menjawab.
"Kenapa Icho kamu mau pergi ke langit, padahal kamu sendiri telah mengalami pengalaman yang menyakit dari mereka?"
Kali ini ayah juga bertanya. Tapi dia menatap dalam-dalam mataku.
"Memang benar kalau mereka itu jahat, mereka membunuh warga kota ini, mereka juga menyerangku tapi itu bukan mereka semua. Setidaknya yang ada di sisiku ini Evelyn tidak jahat...
Karena itu aku ingin pergi ke tempat mereka, mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi, di antara langit dengan kita manusia"
"Makanya gua bilang apa gunanya setelah mengetahui semua itu hah? Yang penting adalah kita bisa menjaga orang-orang yang penting di sekitar kita, itu saja sudah cukup!"
"A-aku berharap bisa menemukan sebuah... kesimpulan. Setelah mempelajari semua informasi yang ada aku berharap bisa menarik sebuah kesimpulan agar bisa menghentikan pertempuran ini"
"Kesimpulan?"
Itu saja yang bisa aku dapatkan. Aku ingat ketika belajar buku pelajaran, di setiap akhir bab pasti ada suatu kesimpulan.
"Memangnya kalau kamu bisa mendapatkan kesimpulan perang akan dengan gampang akan berakhir hah?"
"Aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu! Tapi aku harus mencobanya, -bukan- aku ingin mencobanya!"
"Cih!"
Aron membuang mukanya. Dia benar-benar terlihat kesal. Tapi aku sudah mengatakan semua yang ingin aku katakan.
Meskipun ini tidak bisa menyakinkan siapapun, aku tetap akan pergi.
"Icho"
"Kenapa ayah?"
"Apa kamu yakin ingin pergi kesana? Aku tidak tahu ekspetasi apa yang kamu kamu miliki, tapi ayah yakin tempat itu tidak sesuai dengan gambaran surga yang dimiliki manusia"
"Makanya aku ingin pergi kesana untuk mengetahui kebenaran seperti apa tempat itu!"
"Haa yaampun, sifat kamu seperti itu mirip sekali dengan ibumu, benar kan Greg?"
"Benar sekali bos. Dek Icho mirip sekali dengan Nyonya Rona"
Ibu?
"Baiklah aku mengijinkan kamu untuk pergi ke langit sana, Icho!"
"Benarkah!?"
"Ayah!!"
Tidak kusangka ayah ternyata bisa memberikan izinnya secepat ini.
"Lagian kalau misalnya kita menghentikannya sekarang, nantinya dia pasti akan berwajah cemberut selama waktu lama, soal ini kamu juga sudah paham kan Aron?"
"Iya, dia benar-benar seperti anak kecil. Jika ada permintaannya yang tidak terkabul dia bakal langsung ngambek bisa sampe satu bulan"
"hhh..."
Kakakku ini benar-benar paham denganku.
"Untuk keamanannya tenang saja, sekarang Icho telah membuat kontrak bersama gadis bernama Evelyn ini"
"I-iya benar!"
Evelyn kaget karena dia tiba-tiba dia bawa masuk ke dalam pembicaraan.
"Apa kamu bisa melindungi Icho?"
"Bisa! Aku bersumpah atas kontrak yang kita buat, akan melindungi Icho dari bahaya apapun"
"Tuh kan? Ga perlu khawatir"
Dengan santai ayah mengatakannya seakan itu seakan itu bukan urusannya lagi.
Yah memang ini adalah urusanku sih.
"Cih, seperti yang kubilang sebelumnya, lakukan terserah kamu sekarang Icho. Aku sudah tidak peduli. Tapi ingat baik-baik, apapun yang terjadi kedepannya padamu ini mulai sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Meskipun kamu sekarat mau mati disana, kita tidak akan menolongmu"
"Baik!"
"Icho..."
Kak July berjalan mendekatiku dan memelukku.
"Berhati-hatilah Icho. Disana kamu pasti akan mengalami kesulitan yang kamu rasakan sebelumnya. Karena itu ketika kamu disana, pertama carilah teman yang bisa diandalkan"
"Baik Kak July"
Aku merasakan tubuh kak July merinding dan sepertinya dia menangis.
Maaf Kak July, adikmu ini memang bodoh.
"Icho"
"Ayah"
Sekarang gantian ayah yang memelukku dan mengelus kepalaku. Waktu kecil aku ingat dia sering melakukan ini padaku.
"Tolong bawa ini Icho"
"Apa ini?"
Ayah memberikan sebuah benda. Ukuran sekitar 20 cm, ditutupi sebuah sarung kulit berwarna coklat dan terdapat pegangan yang terbuat dari kayu.
"Ini adalah belati, iya kan ayah?"
"Benar Icho"
Kenapa ayah memberikan aku sebuah senjata?
"Belati ini adalah salah satu benda ciptaan ibumu. Aku ingin kamu membawanya agar bisa melindungi dalam perjalanan kamu"
Ibu? Ibu membuat senjata seperti ini?
"Tapi ingat ini baik-baik Icho. Gunakan senjata ini hanya untuk menyerang musuh kamu saja"
"Kalau itu, tentu saja-"
"Karena itu perhatikan dan pikirkan baik-baik sebelum menyerang, Icho. Siapa yang bagimu musuh dan siapa yang bagimu adalah teman!"
"Baik ayah!"
Perkataan ayah ini bergema dalam hatiku. Perhatikan dan pikirkan sebelum bertindak.
Berikutnya adalah Aron yang mendekatiku. Dia kepal kencang tangan kanannya dan berusaha memukul wajahku.
Aku sudah muak dipukul seharian ini!
Lalu aku menangkap pukulannya sebisa mungkin.
Sakitnya, dia benar-benar serius memukulnya.
Lalu aku mengepalkan tangan kiriku dan memukul wajahnya.
BUK!
Tapi ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia tidak merasakan sakit sama sekali.
"Lemah, benar-benar lemah!"
Dia melepaskan tangannya dari genggamanku dan kembali berusasha memukul wajahku.
Kali ini aku tidak bisa menahan pukulannya. Aku terkena mentah-mentah pukulannya di wajahku.
Sakit, tapi dibanding pukulan Agros ada apa-apanya.
"Cih!"
Dia membuang muka dan segera berjalan meninggalkan tempat. Kak July mengikuti di belakangnya.
"Kujamin kamu tidak akan kuat tinggal disana lebih dari seminggu"
"Aku akan berusaha!"
Lalu aku pergi berlari meninggalkan mereka semua.