Chapter 10 - Peri Hijau, Bagian 3

Tante July bahkan menuliskan instruksi di dalamnya.

Pertama aku membersihkan lukanya. Lalu aku oleskan denga salep. Lalu aku ikat kain kasa dan perban ke sekujur punggung dan perutnya. Karena itu aku terpaksa membuka bajunya yang terlihat seperti seragam itu.

Lalu aku memberikan dia obat pereda sakit. Bibirnya terlihat kering sekali. Aku memaksanya untuk menghabiskan satu botol air.

Isla yang ada di sebelahku sejak dari tadi melihatku dengan penuh ketertarikan.

Lalu aku ingat kalau bahwa Isla itu juga terluka di tubuhnya.

Aku memeriksa sayapnya. Untungnya dia tidak menyundulku atau menusukku dengan paruhnya. Sepertinya dia sudah percaya padaku? Entah aku tidak paham.

Sesuai dugaanku, di sayap kanannya da luka goresan juga. Cukup dalam.

Lalu aku melakukan hal yang sama yang aku lakukan dari wanita itu ke Isla.

Oh iya aku tahu nama binatang ini, tapi aku tidak tahu nama wanita ini. Yah aku tanyakan setelah dia bangun.

Aku memberikan salap dan menutup sayap kanannya dengan banyak perban berantakan. Mudah-mudahan salep ini juga bekerja pada binatang ini. Tapi aku tidak memberikan obat pereda sakit ke Isla, karena aku tidak tahu efek seperti apa yang akan muncul.

Setelah aku melakukan ini, aku sadar langit sudah mulai gelap.

Gawat bagaimana nih. Nanti Aron bakal marah lagi.

Tapi aku tidak bisa meninggalkan mereka disini begitu saja.

Hmmm...

Setidaknya aku harus menunggu sampai wanita ini bangun.

Lalu aku membuat api unggun di dalam. Membuat api unggun cukup mudah. Aku sering membuatnya ketika kecil.

Pertama aku pergi ke hutan untuk mengambil beberapa daun dan ranting kering, aku menumpuknya berbentuk runcing. Lalu aku mengambil dua batu seukuran telapak tanganku. Berikutnya yang aku lakukan adalah menggesek kedua batu itu dengan kencang.

Lagi-lagi Isla melihatku dengan penuh ketertarikan.

Sepertinya dia tidak pernah melihat ada orang bodoh yang menggosok-gosok batu.

Aku beberapa kali melakukannya hingga akhirnya keluar percikan api. Lalu aku memberikan ranting kering di atasnya dan setelah apinya cukup besar aku memindahkannya ke tumpukan daun tadi.

Voala! Jadi api unggun.

"KAA!"

Tiba-tiba Isla menggeram dengan keras. Dia mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

"Oi ada apa?"

"KAAA!"

Salah satu cakarnya mencoba menyerang kepalaku.

"Woy!"

Aku menundukkan badanku secepat mungkin.

"Sial aku tidak tahu harus ngapain!"

"Coba elus lehernya"

"Eh?"

Terdengar suara wanita lemah yang lemah. Icho segera melihat arah sumber suaranya.

"Kamu sudah bangun?"

"Cepetan lakuin!"

"Ba-baik!"

Aku mencoba mengelus lehernya.

"Yosh yosh yosh, tenanglah Isla, tenanglah"

Lalu Isla mengeluarkan suara "Krrr..." dan akhirnya mulai tenang

"Hufft... syukurlah"

"Isla takut api, dia langsung kehilangan akal kalau melihat api"

Bilang dari awal dong

Wajah wanita itu sekarang terlihat lebih segar dibanding pertama kali aku melihatnya. Sepertinya obat dan salepnya bekerja.

Lalu wanita itu diam dan menatap tajam ke arahku. Apa dia membenciku?

"A-ada apa kamu melihatku seperti itu?

"Bukan apa-apa. Jadi, Apa yang kamu inginkan? Asal kamu tahu saja aku tidak punya uang dan aku tidak sudi memberikan tubuh ini padamu"

Wanita ini memaksa untuk mengalihkan topik.

"Aku tidak membutuhkan itu. Tapi.. iya aku ada beberapa pertanyaan padamu"

"Apa itu?"

"Pertama, boleh aku tahu nama kamu?"

Aku tidah mau dikit-dikit menyebut dia sebagai 'wanita itu'. Terlalu merepotkan.

"Pertama huh, yah baiklah. Ini sebagai gantinya karena telah mengobati Isla. Namaku adalah Evelyn"

"E-felin?"

"EVELYN! E-V-E-L-Y-N! Dan seperti yang kamu tau Hippogriff di sebelah sana namanya Isla"

"Hippo-apa?"

"Hippogriff. Kamu tidak tahu? Dia adalah rekanku"

"Mana aku tau!"

Aku tidak pernah mendengar istilah yang dia sebutkan tadi. Sepertinya itu adalah nama jenis binatang ini.

"Darimana kamu berasal?"

"..."

Evelyn tidak menjawab. Dan dia melototku dengan wajah kesal. Tolong hentikan itu.

"Apa yang kamu lakukan disini?"

"..."

Dia kembali diam.

Hmm, bagaimana nih. Tentu saja,aku ingin mengetahui banyak informasi darinya. Tapi aku tidak mau memaksa dia juga.

Baiklah, kalau mulutnya tidak bisa diajak kompromi, mungkin perutnya bisa.

"Hei kamu lapar, aku bawa makanan ini"

Aku membuka kotak putih berisi medis. Aku tadi menyadari bahwa di dalamnya juga ada makanan, beberapa plastik berisi kue kering.

Terima kasih banyak Tante July.

"Ini dimakan"

Aku memberikan dua plastik ke Evelyn

"Kamu mau juga?"

"Kaa!"

Aku memberikan sisa 3 kantong plastik ke Isla. Aku lapar juga sih tapi untuk sekarang akan kutahan

Isinya adalah kue kering berisi selai nanas. Aku sering memakannya waktu kecil.

Isla terlihat bahagia makannya.

Berbanding terbalik Isla hanya melotot makanannya saja.

"Kaa! Kaa!"

"Apa kamu bermaksud meracuniku?"

"Tidaklah, kenapa aku meracuni orang yang repot-repot baru saja aku tolong"

Dia kembali melototiku lagi. Setelah itu dia menengok ke arah Isla.

"Isla?"

"Kaa! Kaa!"

Setelah mendengar geraman dari Isla, Evelyn menggangukan kepalanya.

Apa dia mengerti apa yang dibilang Isla tadi?

Lalu dia melototiku lagi.

"Untuk kali ini akan kupercaya omongamu"

"Ohh.. hmm yah syukurlah"

Evelyn perlahan mulai mencoba mengambil kuenya. Setelah mencoba makan 1, matanya melunak.

"Benda apa ini yang ada di dalamnya?"

"Ah itu namanya selai. Sari buah yang dihancurkan, dimasak lalu ditambah gula. Untuk kue itu berasal dar buah nanas"

"Haum Haum"

Tanpa merespon penjelasanku dia terus makan kue itu. Padahal kamu yang nanya lho.

Yah sudahlah yang penting mereka menuukainya.

Gawat!

Aku melihat langit, ternyata sudah sangat gelap. Udah malam.

"Aku harus pulang sekarang. Aku akan kembali besok bawa makanan lagi"

Ekpresi Evelyn tidak berubah. Dia tetap lanjutkan makannya

Aku langsung mengambil tasku lagi.

"Aku pasti kembali lagi besok"

"Kaa!"

Hanya Isla yang menjawab. Apa dia mendengarku?

Yah sudahlah. Aku segera keluar dari gua. Sekilas aku menengok sebelum pulang, sepertinya dia menengok juga.

Saat aku membuka pintu rumah, hal yang pertama yang aku lihat adalah kepalan tangan seseorang tepat di depan wajahku.

Bruk!

Aku terlempar ke luar rumah lagi.

"Darimana lu sialan!?"

"Aku habis dari klub tadi kak seperti biasa. Terus aku ada jalan-jalan dulu sebelum pulang"

Wajahnya Aron benar-benar mengerikan, aku tidak mau menjelaskannya.

"Lu kira gua bakal percaya ha?"

"Maaf tadi itu bohong. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku lakukan kak. Aku benar-benar minta maaf "

Disaat seperti ini yang aku bisa lakukan hanyalah jujur saja. Tidak mungkin aku bisa berbohong pada Aron

"Memangnya apa itu hah?"

"Maaf kak, tapi aku tidak bisa bilang"

Aron mengelengkan kepalanya dan menghela napasnya sangat panjang.

Haaaaaaaa...

'Pada akhirnya memang tidak bisa dihentikan ya..."

"Huh?"

"Gua udah capek ngurusin kebegoan lu, itu yang gua bilang sialan. Terserah dah lakuin apa yang lu inginkan gua udah ga peduli"

Aku tidak bisa balas apa-apa. Sepertinya Aron benar-benar udah muak dan akhirnya pasrah dengan keadaanku.

"Tidak jera-jera, tidak menyerah, egois, hanya mengikuti perkataan hati sendiri. Sifat kamu seperti itu benar-benar mirip"

Aku tidak berani bertanya Aron membandingkan aku dengan siapa, tetapi aku bisa menebak kira-kira siapa.

"Mulai aku aku tidak akan bertanggung jawab atau mengurus apapun yang kau lakukan. Lakuin terserah kamu"

"Terima kasih banyak kak!"

Sejak saat itu, kakak laki-lakiku Aron Regald menyerah kepadaku dan membiarkan aku bebas.

Setidaknya itu yang kupikirkan.