Esok harinya saat bangun, Icho merasa sekujur tubuhnya sakit semua. Telapak tangan sakit, pinggul sakit, pantat sakit, bahu sakit dan wajah sakit.
Benar-benar hari yang menyakitkan kemarin. Tetapi itu saja tidak akan memberhentikan Icho.
Ketika Icho keluar dari kamar, dia melihat kakaknya sudah tidak ada. Dia berangkat ke sekolah sangat cepat seperti biasa.
Icho lalu mengambil semua makanan yang tersisa di rumah, memasukkannya ke tasnya dan berangkat ke sekolah.
Di perjalanan Icho terlalu sibuk memikirkan Evelyn hingga dia lupa untuk mencari mobil hitam yang dia tabrak kemarin.
Setelah sampai sekolah Adel dan Rudy telah menunggu. Dari wajahnya sepertinya dia khawatir dengan kejadian kemarin.
"Jadi apa yang kau temukan disana?"
"Iya apa ada sesuatu disana?"
Mereka berdua mengatakannya dengan harap-harap cemas.
"Aku menemukan sesuatu tetapi tenang saja itu bukan makhluk berbahaya kok"
"Sungguh? Memangnya apa yang kamu temukan disana"
"..."
Aku tidak bisa menjawabnya.
"Kamu ga mau cerita?"
Apa aku gapapa bilang ke mereka?
Apa ini pilihan yang benar?
Icho tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Apa ada kemungkinan sesuatu yang buruk akan terjadi kalau misalnya mereka tahu.
Tenggelam di kebingungannya sendiri, Rudy tiba-tiba memegang bahu Icho dengan erat.
"Kita ini.. teman kan?"
"Icho.."
Benar, mereka berdua adalah teman terbaik yang aku punya. Aku mempercayai mereka berdua sepenuh hati, tanpa keraguan.
"Oke, aku bisa bilang tapi apa kalian bisa berjanji tidak memberitahukannya ke orang lain?"
"Iyap!"
"Tentu saja Icho"
Mereka berdua mengatakannya dengan yakin tanpa ragu sama sekali.
"Yah untuk sekarang yang bisa aku bilang adalah aku menemukan manusia disana. Seorang wanita ada disana sendirian."
"Manusia!?"
Mereka berdua terlihat terkejut. Yah wajar saja, normalnya tidak ada yang mau tinggal di dalam hutan yang katanya dipenuhi binatang berbahaya.
Lalu Icho mengatakannya dia menemukan Evelyn adalah seorang manusia, karena setidaknya dari penampilannya dia terlihat seperti manusia.
'Kenapa ada wanita disana?"
"Aku masih belum tahu, dia masih belum menceritakan apa-apa"
"Apa dia orang kota sini?"
"Tidak, aku yakin dia bukan orang sini"
Tidak pernah Icho lihat ada wanita berambut hijau di kota ini.
"Lalu apa dia masih di dalam hutan?"
"Iya"
"Kenapa kamu tidak membawa keluarnya?"
Ah!
Adel memang cermat, melebihi Icho. Icho sendiri sampai lupa dengan hal sederhana seperti itu.
Tetapi, Icho mengingat wajah Evelyn kemarin.
"Sepertinya dia tidak mau keluar. Dia kelihatan ketakutan"
"Begitu ya.."
Dari wajahnya sepertinya mereka berdua masih tidak menerimanya.
'Tapi yang paling penting sekarang adalah kau tidak terluka apapun, Icho"
"Iya aku benar-benar khawatir"
"Maaf ya Adel, Rudy"
Adel mengacak-acak rambut Icho dan Rudy memukul ringan perutnya. Seakan mereka berdua mengurus adik kecil yang susah diatur dan akhirnya pulang dari petualangan bodohnya.
"Lalu apa yang kamu lakukan dengan wanita itu, Icho?"
"Hmm.."
"Apa kita bisa ikut untuk bertemu dengannya?"
"Hmm.."
Icho belum kepikiran rencana kedepannya harus bagaimana dengan Evelyn.
"Untuk sekarang aku berencana untuk ketemu dia lagi sehabis sekolah, untuk membawakan makanan. Dia kelihatan kurang makan"
"Kau jangan-jangan hari ini juga berencana absen klub lagi ya?"
"Yah tolong bantuannya lagi ya Rudy"
"Haa..."
Rudy memang kelihatannya keberatan sekarang tapi dia pasti akan melakukannya juga nanti.
"Hey Icho, kamu masih belum menjawabnya pertanyaanku"
"Hmm? Bukannya udah aku bilang barusan, 'Aku akan memberikan makanan ke dia'"
"Bukan yang itu, bagaimana kalau kita bertemu juga dengan wanita itu?"
"Eh?"
Ga-ga-ga-gawat.
Bukan ketemu Evelyn nya yang bikin gawat. Tapi makhluk setengah kuda setengah burung yang katanya bernama Isla itu. Bagaimana bisa menjelaskan makhluk itu ke mereka berdua? Bisa super gawat kalau mereka panik dan malah mulai menyerang.
"U-untuk itu bagaimana kalau serahkan ke aku saja ya hmm?"
"Kenapa, kamu ga mau mengenalkan teman wanita baru kamu itu ke kita? Jangan-jangan kamu suka dia?"
"Bukanlah! Cuman yah gimana jelasinnya"
"Oi oi oi Icho akhirnya kamu suka wanita juga akhirnya. Aku kira kamu ini cuman tertarik dengan petualangan dan hal aneh saja"
"Udah kubilang bukan. Cuman seperti yang aku bilang di awal, wanita itu ketakutan. Aku saja waktu pertama kali ketemunya didorong sampai jatuh lho. Aku tidak tahu bagaimana responnya kalau orang yang tidak dikenalnya bertambah lagi"
"Didorong sampai jatuh? Yah kelihatannya wanita itu malah benci kamu ya Icho ha ha ha"
Iya di dorong jatuh dengan kekuatan anginnya yang aneh itu. Tapi tidak mungkin Icho bisa menceritakannya.
"Baiklah kita percaya semuanya ke kamu. Tapi kalau ada butuh bantuan langsung saja bilang ke kita ya"
"Langsung lho ya!"
"Oke siap!"
Segera setelah jam sekolah selesai Icho segera mengayuh sepedanya secepat mungkin. Saking buru-burunya dia mengabaikan lampu lalu lintas dengan melintas dengan cepat.
Icho tidak menyadari bahwa langit hari ini cukup mendung. Awan berwarna abu-abu cukup tebal menutup seluruh kota Ekasia. Angin bertiap cukup kencang, dan sinar matahari tidak bisa menembus tebalnya awan yang menutupi langit. Suhu hari ini cukup dingin sehingga banyak orang berpakaian tebal.
Awan itu dinamakan nimbostratus. Pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan yang besar.
Setelah Icho sampai gunung, Bronny telah menunggu disana seperti biasa. Hari ini Icho berencana untuk mengajak Bronny bertemu dengan Evelyn dan Isla juga.
Karena itu Icho kembali mengingkatkan tali yang masih terpasang di sekitaran selankangannya lagi. Di pinggung ada tas sekolah berisi makanan (dan buku pelajaran), tangan kanan memegang tali erat-erat dengan tangan kiri memeluk Bronny. Sangat penuh.
Perlu kehatian super tinggi untuk bisa turun tebing dengan banyak barang yang harus dibawa.
Icho sangat perlahan lompat ke bawah.
Perlahan sangat perlahan.
Tangan kanannya merasa sakit ketika harus menahan semua beban yang dia bawa.
Di tengah-tengah dia merasa tangan kanannya sudah tidak tahan lagi
"AAA!!!"
Icho terjatuh dari tebing. Tali yang dia pegang juga putus.
Lalu tiba-tiba ada angin kencang bertiup dari bawahnya.
Sesaat Icho berpikir kalau dia sedang terbang.
Tapi ternyata angin dari bawah itu menahan laju jatuhnya.
Kukira aku bakal mati...
Setelah sudah mencapai tanah, Bronny langsung lompat dari tangan Icho.
Dia berlari ke arah seseorang yang membuat kejadian tersebut.
"Evelyn!"
Dia benar-benar punya suatu kekuatan mistis gitu
Dia melihat wajahku dengan ekspresi marah.
"Kenapa kamu datang lagi?"
"Bukannya aku sudah bilang kemarin, kamu tidak dengar ya. Aku datang untuk memberikan makanan"
"Hmph!"
Kenapa dia selalu marah, aku tidak paham.
"Lalu binatang apa ini yang kamu bawa ini?"
"Ah, ini adalah temanku namanya Bronny. Dia adalah seekor rubah merah"
"Ru-bah? Apa itu?"
"Eh? Kamu tidak tahu, binatang cukup banyak di daerah sini lho?"
"Mana mungkin aku tahu lah!"
"...Mana mungkin? Apa maksudnya itu?"
"..."
Evelyn terdiam. Kali ini dia tidak mempelototi mata Icho tetapi mengalihkan pandangannya. Matanya teralihkan karena Bronny menjilat-jilat wajahnya.
Bronny terlihat senang ketika menjilat pipi Evelyn. Sepertinya Bronny menyukainya.
Tetapi setelah melihat keberadaan Isla yang ada di belakang sedang menusuk-nusuk paruhnya ke dalam tanah, Bronny ketakutan dan lompat ke arah Icho.
"Aw!"
Saat Icho ingin memeluk Bronny, dia baru menyadari ternyata telapak tangan kanannya ada luka baret. Sepertinya karena memegang tali tadi cukup kencang.
Evelyn yang melihatnya berdiri dan berjalan ke arah Icho.
"Kamu mau ngapain?"
"Diam"
Evelyn memegang tangan Icho dengan lembut.
Lalu, entah bagaimana caranya terasa ada udara hangat mengelilingi tangannya.
"Selesai"
Ajaib, luka di tangannya menghilang seperti tidak ada sebelumnya. Bahkan tadinya kulitnya yang terkelupas juga pulih kembali.
"Kamu..."
Evelyn memalingkan pandangannya lagi.
"Sudah kuduga... kamu bukan manusia ya"
"..."
Dari awal aku sudah menduga-menduganya. Justru aneh kalau tidak memikirkannya sama sekali.
Dari tadi malam, terus sampai sekarang aku terus memikirkan Evelyn.
Siapa sebenarnya dia?
Apa yang dia lakukan disini?
Makhluk apa yang ada bersama dia?
Dia memiliki kekuatan?
Sebenarnya aku sudah memikirkan sebuah teori dengan situasi yang ada, tapi aku masih tidak yakin.
Point yang paling penting aku masih belum tahu sama sekali.
"Evelyn, apa kamu sudah mau cerita?"
"..."
"Tentang kamu, siapa seben-"
"Makan"
"Eh?"
Evelyn menjulurkan tangannya ke depan, memaksa aku berhenti bicara. Apa dia sebegitunya tidak ingin cerita.
"Kamu kesini untuk memberikan makanan kan. Pertama itu dulu. Untuk hal yang lainnya akan aku lakukan kalau aku mood"
"...Baiklah"
Wanita yang egois. Yah sudahlah.
Sambil aku sibuk mengeluarkan makanan yang aku bawa. Evelyn bermain dengan teman barunya Bronny. Dia kejar-kejaran, saling menggelitik, Evelyn lempar ranting kayu dan Bronny mengejarnya. Cepat banget mereka sudah akrab.
Isla ada di dekatku memperhatikan kotak makanan yang aku keluarin. Sepertinya dia sudah lapar tidak bisa menunggu lama lagi.
Sabar sabar ya
Hari ini aku membawa tumis sayur daging dan nasi putih yang dimasakkan Tante July. Ini adalah sisa makanan kemarin makanya terasa dingin.
Aku membawanya dalam jumlah yang cukup banyak karena harusnya ini adalah makan sore kita. Aron pasti bakal marah lagi kalau tahu tidak ada makanan di rumah.
"Oi ini sudah aku siapkan"
"Kaa!"
Hanya Isla yang menjawab. Evelyn datang setelah dia puas bermain.
"Oi apa benda kecil-kecil berwarna putih ini? Terlihat menjijikan"
"Nasi namanya, kamu tidak tahu ini juga?"
"... tidak tahu"
"Yah coba makan dulu, dicampur dengan lauknya, enak kok"
"Kaa! Kaa!" Isla langsung melahap makananya, Tetapi dia hanya memakan nasinya saja, lauknya sama sekali tidak tersentuh.
"Kenapa dia tidak makan lauknya?"
"Kaa! Kaa!!"
"Dia tidak makan daging. Dan sepertinya dia suka dengan yang namanya nasi itu"
"Begitu ya, syukurlah"
Melihat Isla yang senang memakannya, Evelyn ikutan mencoba makan nasinya. Sekilas terlihat mulutnya sedikit tersenyum setelah mencoba sesuap nasi. Tapi dia langsung menghilangkan senyumnya saat menyadari kalau aku senang melihatnya.
Yaampun kalau senang jujur saja sih.
Oh iya, masih ada yang lain.
Aku membuka tasku lagi dan masih ada satu kotak lagi. Isinya adalah kue kering dengan butiran coklat di dalamnya. Kue ini juga buatan tante July. Tidak hanya memberikan lauk saja, setidaknya seminggu sekali tante July juga memberikan cemilan buat kita.
Sekali lagi, terima kasih banyak tante July.
"Ini kalau mau coba ini juga"
"..Apa ini?"
"Ini namanya kue choco chip, renyah dan manis, enak lho"
"Lalu apa butiran kecil-kecil menjijikan itu"
"Itu namanya coklat, rasanya manis dan sedikit pahit"
"Kalian manusia ini suka dengan makanan kecil-kecil menjijikan seperti ini ya?? Pertama nasi itu lalu coklat ini"
"Udah coba aja dulu"
Dengan ogah-ogahan dia memakan satu kue.
"..."
"Bagaimana?"
"... Biasa saja"
"Begitu ya"
Meskipun nada suaranya datar tapi aku melihat ekspresinya sekarang lebih melunak dari sebelumnya. Sepertinya dia menyukainya tapi tidak mau jujur mengatakannya.
Makanan manis emang disukai cewek manapun ya.
Bronny duduk di pangkuan Evelyn dengan tenang. Isla yang sudah selesai makannya (cepat sekali), matanya terlihat menyipit, menurunkan kakinya dan merebahkan dirinya di tanah. Lalu dia menempelkan kepalanya di sayapnya. Sepertinya itu cara dia tidur, cukup unik.
"Jadi..."
"Apa?"
"Kamu sudah mau bicara?"
"Tidak"
"Eh... Kenapa?"
"Tidak ada urusannya dengan kamu"
"Iya sih memang tidak ada, tapi aku penasaran dengan kamu"
"Bukannya tadi sudah kubilang? Akan aku lakukan kalau mood saja"
"Ta-tapi"
Evelyn mengarahkan tangannya ke arahku.
"Kalau kamu memaksa lagi, akan kupentalkan lagi kamu kaya kemarin"
"Geh!"
Wanita egois. Yah sudahlah, rencana berikutnya.
"Kalau begitu bagaimana kalau aku saja yang bicara?"
"Ha... aku sama sekali tidak peduli denganmu"
"Tapi kamu pasti ada kan yang ingin ditanyakan?"
"..."
Kalau misalnya aku tiba-tiba berada di tempat asing dan ada seseorang yang datang menolongku, tentu saja aku ada yang mau ditanyakan. Misalnya...
"Tempat ini, dimana?"
"Tempat ini adalah hutan di pinggir gunung Ekasia"
"E-ekasia?"
Evelyn menunjukkan ekspresi terkejut.
"Kenapa? Apa kamu tahu tempat ini?"
"Tidak bukan apa-apa"
"Hmm..."
Meskipun dia bilang seperti itu tapi wajahnya berkata lain.
"Kenapa kamu menolongku?"
"Karena kamu terluka, makanya aku tolong"
"...Ha?'
Sekarang dia menunjukkan ekspresi bingung. Sepertinya dia tidak mengerti dengan apa yang kukatakan.
"...itu saja?"
"Iya itu saja. Apa aku perlu banyak alasan?"
"Kamu ini ya! Apa kamu tahu bahayanya menolong makhluk tidak jelas di tempat seperti ini? Untung saja aku tidak serius menyerangmu saat itu, tapi bagaimana kalau aku serius menyerangmu saat itu? Kamu bisa mati lho? Gini makanya aku benci dengan manusia!"
"Kenapa malah kamu yang marah...?"
"Ya iyalah, biar kamu sadar betapa bodohnya tindakan yang kamu lakukan ini"
Cewek sialan ini, udah repot-repot tolong malah dimarahin.
"Terus kalau aku tolong, bagaimana dengan kamu hah?"
"Apa yang terjadi denganku tidak ada urusannya sama sekali dengan kamu kan?"
"Ada seorang wanita terluka dan sendirian di tengah hutan gelap seperti ini, mana mungkin aku tinggalin begitu saja. Aku ini masih manusia!"
"..."
Sebenarnya ada juga alasan lain, yaitu mendapatkan informasi dari dia, tapi untuk ini tidak mungkin kukasih tahu dia.
"Hmm yah sudahlah"
Wajahnya masih kesal tapi aku melihat sedikit ekspresi senang di senyumnya. Yaampun nih wanita, apa dia tidak sadar kalau dia terlalu mengeluarkan perasaannya di ekspresi wajahnya?
"Tapi ini saja sudah cukup aku tidak butuh bantuanmu lagi"
"Apa!?"
"Berikutnya tidak usah datang, lagi kesini aku masih bisa mengurus diriku sendiri"
"Kamu masih terluka begitu mana mungkin bisa"
"Bisa! Aku tidak sebegitu menyedihkannya sampai perlu bantuan dari bocah manusia seperti kamu!"
Cewek sialan ini, dibilangin malah makin ngelunjak...
"Oh gitu yah sudah! Mau kamu mati kelaparan disini aku tidak peduli sama sekali!"
"Ya sudah sana pergi hush hush"
"!!!"
Wanita itu menggerakkan tangannya dengan gaya mengusir seakan aku adalah anjing liar yang masuk ke dalam rumahnya.
Kesal. Kesal banget! Dengan perasaan penuh amarah seperti ini, aku kembali pulang ke rumah.