Chapter 4 - Fear

Morgan dengan tidak berdosanya tertidur di samping Jane yang sedang mengemudi, karena sebagian jalan tidak bisa dilalui, alhasil Jane harus mengambil jalan memutar dan pastinya memakan waktu banyak.

Matanya menyipit kala melihat ada orang di beberapa rumah, mereka sepertinya sedang bersembunyi sampai keadaan membaik. Tapi, sampai kapan?

Jane memutar setir ke kanan dan berhenti tepat di sebrang sekolah Nicholas. Perempuan itu membuka sabuk pengaman, lalu mencolek lengan Morgan. Tetapi, Morgan tampak asyik bermimpi dan tidak mau bangun.

Tanpa meminta izin, Jane mengambil M1911 (pistol semi otomatis) yang ada di tangan Morgan secara perlahan supaya tidak membangunkannya. Sebelum turun, Jane merapihkan rambutnya dulu serta membuka jas putih dan menyampirkannya di kursi.

Perempuan itu menatap tangannya dengan nanar, sambil mengumpulkan keberanian dan menyiapkan mental juga fisik. Bagaimanapun juga, Jane harus melindungi Nicholas, karena anak adalah inti kehidupan dari seorang Ibu.

Setelah dirasa siap, Jane kemudian turun dari mobil. Jane mulai mengambil langkah ke depan walaupun detak jantungnya tidak stabil. Tapi, tekadnya sudah bulat. "Nicholas, Ibu datang, nak," gumam Jane.

Morgan sontak memandang Jane yang mulai mengecil hingga akhirnya hilang dari pandangannya, pria itu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. "Apa aku harus mengikutinya? Ah, tidak. Bukan itu. Apa dia bisa memakai pistolnya?" Morgan bermonolog sambil menatap jalanan yang ada di depannya, panas terik membuat tubuhnya sedikit berkeringat.

Pria itu menoleh ke jas milik Jane, di sana ada kartu identitas Jane yang terselip di saku jas. Penasaran, akhirnya Morgan mengambil kartu itu untuk melihatnya. "Dokter Jane Haviland. Usia, tiga puluh lima tahun. Dokter umum." Morgan menekuk alisnya.

"Aku kira usianya dua puluh lima tahun," ceplos Morgan. Pria itu lalu memasukkan kembali kartu identitas Jane ke tempat asal, kemudian kembali tidur.

"Apa dia akan baik-baik saja, ya?" tanya Morgan pada dirinya sendiri. "Memecahkan kaca jendela mobil terlihat sangat mudah baginya, jadi menghadapi segerombolan zombi itu juga pasti hal yang mudah untuk Jane."

πŸƒπŸƒπŸƒ

Derap langkahnya terdengar cukup jelas, mengingat tempat ini terasa sangat sepi. Jane mengintip ke setiap kelas yang nampak kacau, lalu berjalan lagi sampai ke kelas berikutnya. "Astaga, aku bahkan tidak pernah bertanya kelas berapa Nicholas," kata Jane menyesal.

Wanita itu sontak menutup hidung ketika melihat mayat Camelie dan Billy yang mulai dikerumuni lalat, mau tak mau, Jane harus melangkahi mayat keduanya untuk masuk ke kelas Nicholas. Perlahan, Jane berjalan, dia mengedarkan pandangan dan menemukan gantungan Nicholas yang terjatuh dari ranselnya.

Jane mengambil benda kecil itu dan melihatnya secara intens, dia sangat yakin kalau itu milik Nicholas. Jane ingat, kalau suaminya pernah memberikan gantungan dengan bentuk katak ke Nicholas.

Sejurus kemudian, Jane memasukkan benda itu ke saku jeans nya dan kembali berjalan melangkahi kedua mayat tersebut. Jane kini menelusuri koridor sekolah, namun langkahnya terhenti saat sekumpulan zombi memenuhi jalan yang ada di depannya. Mau tak mau, Jane harus menembaki mereka semua.

"RRAAGGRRRRHHH." Erangan itu kembali terdengar dan membuat bulu kuduk Jane meremang, tetapi, untuk saat ini, takut bukanlah sebuah pilihan.

Jane menembak asal dan sama sekali tidak mengenai makhluk-makhluk itu, akibatnya, kini Jane kehabisan peluru. Perempuan itu melangkah mundur seiring waktu, kemudian terjatuh karena tak sengaja menginjak mayat Camelie.

Zombi itu berjalan ringkih mendekati Jane, Jane sontak berteriak ketakutan saat mereka nyaris menggapainya. Sedetik kemudian, suara tembakan terdengar keras, Jane terkejut dan segera menoleh ke belakang, dia mendapati figur Morgan yang sedang mengacungkan senjatanya ke atas. Tubuhnya seketika terasa lunglai, maju sendiri tampaknya bukanlah pilihan yang bagus.

Mau semenjengkelkan apapun sosok Morgan, Jane tetap membutuhkannya, khususnya di saat-saat genting seperti sekarang.

"Hei, nyonya, kalau tidak tau cara memakai pistol. Lebih baik bangunkan pemiliknya terlebih dahulu, tapi, setidaknya minta izin, itu lebih bagus," ujar Morgan santai, pria itu lalu memejamkan sebelah matanya untuk membidik para zombi yang kini tengah berjalan terseok-seok ke arahnya.

"Bisakah kau menunduk, nyonya?" tanya Morgan, Jane spontan merunduk, membiarkan Morgan menyelesaikan masalah ini untuknya.

πŸƒπŸƒπŸƒ

"Ulurkan tanganmu," pinta Morgan, Jane refleks menjulurkan tangannya.

Pria itu lalu membantu Jane untuk berdiri, Wanita itu sontak membersihkan pakaiannya kemudian memandang wajah Morgan dengan seksama. "Terima kasih," kata Jane masih gengsi.

"Tidak usah berterima kasih, cukup traktir aku setelah ini," balas Morgan sekenanya, Jane refleks mempoutkan bibirnya lalu berjalan mendahului.

"Hey, nyonya! Aku rasa anakmu tidak pergi ke arah sana!" ujar Morgan, dia menatap jejak kaki Nicholas yang mengarah ke gudang. Namun, Jane menyahutinya dengan tawa hambar sambil terus berjalan.

"Nyonya! Jangan meremehkan insting berburu seorang pria!" cerocos Morgan.

"Terserah kau saja," balas Jane.

"Hey, nyonya! Teruskan saja perjalananmu, aku akan mencari toilet." Morgan langsung berbelok arah, lalu mereka pun terpisah.

Lelaki bermata abu-abu gelap itu menelusuri setiap sudut bangunan hanya untuk mencari toilet, rasanya dia sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Sejurus kemudian, akhirnya Morgan menemukan pelang bertuliskan "toilet", tanpa basa-basi lagi, Morgan memutar knop pintu dan mendorongnya secara brutal. Lalu dia menunaikan apa yang menjadi hambatannya.

πŸƒπŸƒπŸƒ

Jane lupa kalau pistol yang dia pegang tidak memiliki peluru, kemudian dia berbalik arah untuk meminta beberapa peluru dari Morgan. Namun, ketika dia kembali ke tempat awal, dia tidak menemukan keberadaan Morgan.

"Kemana pria itu?" tanya Jane bermonolog.

Saat Jane mengedarkan pandangan, dia melihat sebuah jejak kaki yang mengarah ke gudang. Tanpa menghabiskan banyak waktu, dia langsung mengikuti jejak itu.

Jane berjalan cukup pelan, lama-lama dia merasa ngeri karena tempat ini tampak sangat sepi dan noda-noda merah bekas coretan tangan tercetak jelas di dinding bangunan. Jane melirik ke kanan-kiri, tubuhnya mendadak menegang tatkala terdengar suara air mengalir.

"Apa ada orang di sana?" tanya Jane memastikan, dia melangkah mendekati pintu toilet.

"Halooo?" Jane terus melangkah maju sambil menodongkan senjatanya, tetapi, suara air itu tiba-tiba tak terdengar lagi. Suasana menjadi sangat hening.

Jantungnya berdetak cepat, rasa takut yang menyelimuti membuat Jane berhenti sejenak, dia menenangkan diri terlebih dahulu. Akan tetapi, Morgan berteriak sambil membanting pintu itu, akibatnya Jane terlonjak kaget dan nyawanya hampir melayang gara-gara Morgan.

"Hahaha," tawa Morgan terdengar menyebalkan.

"Astaga, kau!" Jane refleks memukuli Morgan sangking kesalnya. Sedangkan, Morgan malah tertawa puas karena telah mengerjai Jane.

Sedetik kemudian, Morgan tiba-tiba membekap mulut Jane. Dengan cekatan, Morgan menarik tubuh Jane masuk ke dalam toilet untuk bersembunyi. "Sstt, jangan berisik, ada sesuatu di luar sana," bisik Morgan, bibirnya bahkan berada tepat di samping telinga Jane.

Jane yang awalnya memberontak pun akhirnya terdiam ketika suara lolongan terdengar menggema di luar, Morgan semakin menarik Jane ke pelukannya dan menyeret perempuan itu masuk ke salah satu bilik toilet. "Apa itu?" tanya Jane kalut.

"Seekor anjing yang terinfeksi D-21," jawab Morgan.

"Apa?" Jane melirik sekilas.

"Mereka menjadi lebih besar dan ganas, kau tau kenapa tempat ini sepi?" tanya Morgan.

"Tidak," Tatapan Jane tak lepas dari wajah Morgan yang berjarak hanya beberapa sentimeter darinya.

"Mereka memakan makhluk-makhluk itu, yeah, untung saja kau tidak bertemu dengan mereka," Morgan melirik ke Jane yang terlihat ketakutan.

"Ya, tapi tolong jauhkan wajahmu dari wajahku! Nafasmu bau apek!" Jane sedikit mendorong tubuh Morgan, rasanya sesak sekali karna pria itu terlalu dekat dengannya. Morgan tersenyum melihat reaksi Jane.

"Pasti kau sangat mencintai keluargamu," ujar Morgan.

"Tentu, kenapa kau bertanya?" Jane mendadak jutek, lagi.

"Aku hanya sedang merindukan istriku,"

"Apa yang terjadi padanya? Kenapa kau bisa kehilangan istrimu?" tanya Jane iba.

"Takdir yang merenggutnya dariku, tidak, bukan takdir, tapi mereka... Para dokter yang lambat menangani pasiennya. Waktu itu aku tidak memiliki sepeserpun uang karna sudah kubayarkan untuk sekolah kedokteranku, lalu, istriku mendadak sakit parah dan butuh pertolongan sesegera mungkin. Tapi, mereka tidak melayani pasien yang miskin," ujar Morgan seraya memandang Jane.

"Lalu, apa yang terjadi padanya?"

"Dia kehabisan oksigen dan meninggal, itulah alasan mengapa aku menjadi sukarelawan untuk masyarakat yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit."

Jane terdiam, begitupun Morgan, tidak ada satupun dari mereka yang berbicara setelah kalimat terakhir Morgan. Sesekali, terdengar suara lolongan dan gonggongan anjing yang saling menyahut di sekitar koridor. Jumlah mereka ada empat, lebih besar dan lebih mengerikan.

"Nicholas tidak ada disini," ujar Morgan angkat suara.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah memastikan, bahwa tidak ada siapapun di sini, kecuali makhluk menyeramkan yang sekarang sedang menyalak di luar."

"Bagaimana kau tau?"

"Insting penyintas."

Jane sontak menatap skeptis, "Yang benar?"

"Yeah, tidak juga, sih. Pertama, aku tidak merasakan ada hawa kehidupan di sekitar sini. Kedua, aku terlalu gila jika nekat berkeliling tempat ini, bisa-bisa aku terbunuh, nyonya. Alasan ketiga, ketika kau bilang kalau Nicholas itu anak pemberani, kemungkinan terbesarnya dia sudah pergi dari sini."

"Kalau begitu, kita harus bergerak lebih cepat." Jane menyahut dengan rasa keberanian yang besar.