Chereads / Cube: Paralyzed (Indo. ver) / Chapter 8 - Fallen hero

Chapter 8 - Fallen hero

Keadaan hening di antara mereka semua, Nicholas merebahkan kepalanya di paha sang Ibu sambil menjemput kantuk. Seragamnya terlihat sangat kumal dengan beberapa bercak darah di beberapa bagian, begitupun rambutnya yang terlihat lepek. Nicholas memeluk tas ranselnya sambil merasakan usapan lembut dari Jane di kepalanya.

Ricardo menunduk, memikirkan apa yang terjadi pada Pione dan markas mereka. Sedari tadi, dia mencoba menghubungi markas namun selalu gagal. Hingga akhirnya, Ricardo menemukan pikiran buntu, bahwa mereka semua mati.

"Kau mau kemana?" tanya Ricardo ketika April bangkit dari duduknya.

"Mencari benda yang bisa dimakan," jawab April dingin. Ricardo agak mengangguk sambil memperhatikan punggung April yang perlahan menghilang dalam kegelapan.

"Sebenarnya kalian siapa dan dari mana?" tanya Jane angkat suara.

"Maaf, kami belum sempat memperkenalkan diri, kami adalah sub-unit dari pasukan khusus Cavalerry. Calvard yang dikirim pemerintah untuk mencari para penyintas dan menggali informasi tentang asal-usul bencana ini, nama saya Ricardo Liam dan yang barusan pergi adalah April Osella," ujar Ricardo, Jane sontak menekuk alis, ekspresinya tiba-tiba berubah serius.

"Dia adalah anak dari Brian Osella?" tanya Jane.

"Yup, benar, selama ini April berusaha keras mencari ayahnya, namun April tidak pernah menemukannya," Ricardo mengambil rokok dan menempelkannya di bibir, tangan yang satunya kemudian hendak mengambil korek api. Namun, April tiba-tiba menyambar rokok itu dan membuangnya ke lantai.

"Sudah aku bilang untuk tidak merokok!" hardik cewek itu seraya memelotot.

"Maaf, maaf," Ricardo tersenyum lalu menggaruk tengkuknya, melihat pemandangan itu Jane pun spontan tersenyum lebar.

Jane memperhatikan April yang menaruh beberapa makanan di atas meja, dia teringat tentang kejadian di rumah sakit, saat Brian berubah menjadi zombi. Jane kemudian merunduk, menatap sang buah hati yang sedang tidur.

"Silahkan di makan," April berkata pada Jane yang dibalas anggukan.

"Bukain dong," April memberikan sebuah botol minuman yang masih disegel ke Ricardo, pria itu lalu membuka tutup botol dan meminum sedikit isinya.

"Eh! Kan cuma minta tolong buat dibukain bukan buat diminum!" rengek April, Ricardo kemudian terkekeh dan memberikannya kepada April.

"Cantik," ceplos Ricardo ke April.

"Gembol." April tersenyum lalu meminumnya sampai tandas.

"Gombal," ralat Ricardo.

"Apakah ada jalan keluar dari bencana ini?" tanya Morgan angkat suara.

"Ya, pak." jawab Ricardo sopan. "Saya tau tempat yang aman untuk kalian, ada kemungkinan besok kita akan di jemput menggunakan helikopter milik unit inti, Cavalerry," ujarnya.

April menatap tajam kearah Morgan dengan tatapan penuh selidik, cewek itu kemudian membuka sarung tangan yang dipakai dan menaruhnya di paha Ricardo. "Hei, pak Morgan Vasquez, kau adalah penyintas dari kota Stonburg, 'kan?" tanya April.

"Mengapa kau tau nama lengkapku?" tanya Morgan sambil memakan makanan ringan yang ada di atas meja.

"Kau ada di daftar para penyintas, kukira kau mati karna rumah sakit tempat kau bekerja sudah meledak," ujar April, Morgan menanggapi dengan sedikit senyum singkat.

"Ah, aku sangat istimewa, makanya bisa lari," Morgan menatap April.

"Aku tau bahwa kau memiliki beberapa informasi penting, setauku, semua penyintas dari kota Stonburg tidak ada yang selamat! Hanya kau satu-satunya yang selamat atas kejadian ini!"

"Banyak informasi yang kau kantongi, gadis kecil?" Morgan sontak mengangkat satu alisnya.

"Aku sudah dewasa, umurku sembilan belas tahun!" April bangkit dan hendak menerjang Morgan, namun Ricardo menggenggam tangan April dan membuatnya tetap tenang.

"Tampaknya kau anggota termuda, Nona," Morgan dengan tenang mengunyah makanannya.

"Pak, kami mohon kerjasamanya, jika anda menyerahkan diri kepada kami dan memberikan semua informasi yang anda punya, maka, anda akan menyelamatkan banyak orang," ujar Ricardo.

"Morgan," panggil Jane, pria itu lalu menoleh dan mendapati tatapan Jane yang memohon.

"Nyonya, aku tidak akan memberikan diriku sendiri untuk menjadi kelinci percobaan."

"Bukan kelinci percobaan, tapi—"

"Tapi, apa?" Morgan melirik tajam ke Ricardo yang langsung bungkam.

"Morgan, kamu akan menyelamatkan banyak orang dengan antivirus yang kamu punya," Jane memelas.

"Untuk apa aku mendengarkan seorang wanita yang sudah menikah?" ceplos Morgan.

"Morgan, jangan kekanakan!" bentak Jane, Nicholas sontak membuka matanya dan mengedarkan pandangan, orang-orang sedang mencoba meyakinkan Morgan dan mereka tidak menyadari ada sesuatu yang mengerikan di luar.

"Bencana ini tak memiliki jalan keluar! Aku tak punya anti virus apapun! Aku hanya beruntung karena bisa lolos!" Morgan membentak Ricardo yang masih ngotot.

Nicholas sontak menyipitkan mata, atensinya terfokus ke luar jendela, perlahan dia mengubah posisi jadi duduk, cowok itu memelotot saat mengetahui bahwa ada segerombolan anjing mutan yang berlari ke arahnya. Refleks, dia menggoyang-goyangkan lengan Jane.

"Diam dulu, nak." Jane menepis tangan Nicholas dan kembalu beradu argumen dengan Morgan.

"Dengar ya kalian semua, anti virus itu tidak pernah ada untuk kasus mayat hidup seperti sekarang!" ucap Morgan.

"Tapi, setidaknya biarkan kami—"

Suara kaca jendela yang pecah terdengar nyaring akibat salah satu makhluk itu yang melompat masuk, semuanya menjadi panik, Ricardo memberikan sarung tangan tersebut ke sang empu. "Cepat, pakai!" titah Ricardo, kemudian April mengangguk dan menuruti permintaan Ricardo.

Makhluk itu menggonggong dan mengaum seolah sedang memanggil kawanannya yang lain, "Sial!" maki Morgan sambil menembaki satu makhluk yang sedang melolong.

"April, bawa mereka ke tempat aman!" Ricardo memberondongi zombi-zombi tersebut menggunakan senjatanya.

Jane sontak menggenggam tangan Nicholas dan membawa anak itu pergi mengikuti aba-aba April, "Apa yang kau lakukan, Pak?! Cepat ikuti mereka! Biar aku yang urus ini! Kau adalah jalan keluar dari bencana ini! Kau yang tau bagaimana mengakhiri ini!" Ricardo berteriak sambil sesekali menoleh ke Morgan. Suara tembakan terdengar sangat keras hingga telinga rasanya pekak.

"Kau akan mati!" balas Morgan frontal.

"Itu resikonya. Hey, kalau kau bertemu dengan April, katakan kalau aku mencintainya. Sekarang, cepat pergi!" Ricardo dengan kasar mendorong tubuh Morgan supaya menjauh darinya. Ia ingin protes, namun urung karena melihat kegigihan Ricardo.

Morgan mengangguk dan meninggalkan Ricardo yang sedang menembaki mereka, sekian menit berlalu, Ricardo akhirnya kehabisan peluru dan hendak mengisi ulang pelurunya, namun, salah satu makhluk itu melompat kemudian berhasil menggigit bahu Ricardo. "AARRGHH!" teriaknya kesakitan, Ricardo lalu membanting hewan tersebut dan menusuknya menggunakan pisau Jadgkommando.

Nafasnya jadi tak beraturan, keringat pun bercucuran dari dahi pria berambut pirang tersebut, bahunya terasa sangat perih. Makhluk-makhluk ganas yang haus darah itu kini sudah berdiri dan terus menggonggong di depan Ricardo, bayangan mereka jelas terlihat di kedua pupil matanya.

Tubuh mereka seperti daging yang dilumuri darah, giginya pun tajam dan panjang. Tubuhnya dua kali lipat lebih besar. Terlihat mengerikan, apalagi ketika Ricardo kehabisan peluru. Ia harus menyerah, sekaligus menyelamatkan April juga yang lain.

"Sialan. Aku masih ingin hidup, tapi, percuma saja, aku akan menjadi bagian dari mereka. Sial, sial, sial! Aku harus melakukan sesuatu, harus." Pria itu menilik ke senjata yang ia pegang, tak ada waktu untuk mengisi ulang pelurunya. Hingga dia menemukan satu pilihan.

"Maaf, Ibu dan ayah. Maaf, April. Aku gugur dalam menjalankan tugas," Ricardo mengambil keputusan akhir, ia menarik pelatuk granat bersamaan dengan serangan para makhluk tersebut, mereka langsung menggigiti tubuh Ricardo secara rakus, pria itu mengeraskan rahang, mencoba untuk menahan rasa sakit yang sangat teramat ketika gigi tajam itu menembus dan mengoyak dagingnya. "Ini waktunya," Ricardo tersenyum pasrah sembari menutup kedua mata, satu air mata terlihat mengalir ke dagunya.

🍃🍃🍃

April membawa Jane dan Nicholas ke belakang rumah, dia lalu berbalik arah untuk membantu Ricardo menghadapi monster-monster itu, tetapi, ketika dia hendak melangkah, ledakan besar pun terjadi tepat di depan matanya. Tubuh April terhempas beberapa meter karena ledakan tersebut, begitupun yang lainnya.

Telinganya berdenging hebat, pandangannya pun berubah buram, "RICARDO!" teriak April histeris, dia mengerang kesakitan sambil mencoba untuk bangkit. April berjalan terseok-seok menghampiri puing-puing bangunan yang terbakar. Dia mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh, sembari menatap lurus ke depan, April memegangi perutnya yang terasa mual, akibat benturan keras barusan.

Cewek itu tidak bisa membendung kesedihannya lagi, dia menangis sambil menatap sehelai kain dari seragam Ricardo yang terbakar di dekat kakinya, ia menengadah lalu menghormat atas pengorbanan Ricardo. Air seolah tidak pernah surut dari kedua pelupuk matanya, April memejamkan mata dan menangis tersendu-sendu.

Hidung dan matanya bahkan memerah karena asap dan rasa pilu, ia sangat terpukul atas Kepergian Ricardo. Sementara itu, Jane memperhatikan cewek itu dari belakang, punggung April mulai bergetar hebat sampai akhirnya dia terduduk lesu.

Morgan beranjak untuk duduk bersila sambil memegang perutnya yang terasa nyeri, pria itu mendengar teriakan April yang terus menerus memanggil Ricardo. Morgan lalu melihat kekacauan yang terjadi tepat di depan matanya, dia seolah tertarik kembali ke masa lalu.

"Ayah!"

Morgan membuka matanya lebar-lebar ketika suara teriakan anaknya terdengar samar di telinga, traumanya masih belum pulih setelah kebakaran yang menewaskan kedua anaknya.

April sama seperti dirinya tujuh tahun silam, tidak berdaya, putus asa, dan merasa kehilangan. "Apa yang telah aku lakukan? Apa yang telah ayah lakukan, Drea, Max?" gumam Morgan linglung.

"AAAAARRGGHHH!!!" April berteriak sampai suaranya hilang, dia lalu tertawa sambil terisak, seperti orang yang kehilangan akal. Dia bersimpuh tepat di depan sehelai kain gosong itu.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Bu?" tanya Nicholas ke Jane, wanita itu menoleh dan tersenyum hangat.

"Pulang," Jane berharap.

Morgan perlahan berjalan menghampiri April, tangannya menyentuh bagian bahu kanan April dan ikut duduk di samping cewek itu. Morgan memperhatikan April yang terisak seraya terus menatap kosong ke depan.

"Aku melihat banyak perngorbanan yang dilakukan para pahlawan dalam bencana ini, seperti yang dilakukan kekasihmu, Ricardo. Sebelum aku keluar, dia mengatakan kalau dia mencintaimu," ujar Morgan menambah kesedihan April. Cewek itu menggeleng lemah lalu memanggil nama Ricardo dengan suaranya yang parau. Sekali lagi, dia terisak.

"Hei, kau mencintainya juga bukan?" tanya Morgan, April tidak menjawab. Morgan kemudian mengangguk mantap dan mengatakan: "Baik, aku akan menyerahkan semua informasi yang aku punya kepada kalian untuk menanggulangi kekacauan ini, aku juga tidak ingin ini terus berlanjut, aku akan menjadi pahlawan. Meskipun aku tak yakin bencana ini memiliki jalan keluar."

Morgan menoleh ke Jane yang tersenyum dan mengangguk setuju dengan keputusan Morgan, sedangkan, Nicholas merasa aneh dengan respon sang Ibu terhadap pria asing tersebut. Dia merasa cemburu. Lagi pula kalau boleh jujur, entah mengapa Morgan terlihat lebih berwibawa ketimbang sang ayah? Nicholas takut ibunya akan jatuh hati pada pria itu.

"Tenanglah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini, nona," Morgan menepuk lembut bahu April, ia spontan menoleh lesu. "Bukankah itu keinginan Ricardo? Menyelamatkan dunia dari pandemi yang tidak berujung? Aku akan mencoba untuk berkorban, demi orang banyak," kata Morgan terdengar sangat tenang.

Gadis itu tak menggubris, dia malah menunduk sambil menggertakkan giginya.

"Yeah, walaupun aku sangat yakin kalau aku tak tau apapun tentang anti virusnya, ya kau tau, selama ini aku hanya terus lari dan bersembunyi," ujarnya frontal.

"Morgan," sentak Jane langsung membuat Morgan bergeming.