Chereads / Cube: Paralyzed (Indo. ver) / Chapter 6 - Goodbye

Chapter 6 - Goodbye

Nicholas mengedarkan pandangan, cat warna putih kusam mendominasi kamar ini. Cowok itu duduk di pinggir ranjang milik Wendy, sedangkan si pemilik sedang menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Wendy terdiam sambil memperhatikan telapak tangannya, di sana ada luka bekas gigitan makhluk itu. Wendy terluka ketika melawan mereka di minimarket.

Wendy lalu tertunduk, mengingat kejadian sebelum D-21 menyerang kota Aphelion, karena Wendy adalah penyintas yang berasal dari kota Stonburg, hanya panti asuhan inilah yang mau menerimanya. Asal-usul yang tidak diketahui membuat Wendy di kucilkan anggota panti yang lain. Termasuk karena tragedi Stonburg, membuat keberadaan Wendy tidak diakui.

Kecuali, Laurencia. Yang membuat Wendy bersahabat baik dengan Laurencia adalah karena cewek itu menyembunyikan yang sebenarnya terjadi di panti asuhan ini. Wendy kemudian tersadar dan terkekeh kecil sambil membasuh tangannya yang mulai terasa perih.

Sebuah catatan dari Laurencia yang saat ini masih ada di kamar Wendy tidak sengaja ditemukan oleh Nicholas, cowok itu lantas mengambilnya. "Apa ini?" tanya Nicholas heran, dia membolak-balikkan secarik kertas itu.

Laurencia, 6 Juli 2021.

Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia.., dia punya gangguan mental. Dia bahkan membunuh anggota panti setiap malam. Dia seperti pembunuh berantai, aku sering melihatnya tertawa ketika semua orang sedang bersedih. Aku rasa dia mengidap penyakit Pseudobulbar affect, tapi aku tidak yakin.

Tapi, aku yakin satu hal, dia kesepian. Aku dengar penyakit aneh yang menyerang kota Stonburg telah merenggut kebahagiaannya, jadi, aku memutuskan untuk berteman dengan penjahat bertopeng ini. Namun, setelah aku mengenalnya, dia adalah tipe orang yang menyenangkan, kadang-kadang penyakit PBA nya kambuh... Jadi, aku harus berhati-hati.

Nicholas menekuk alisnya, siapa yang dimaksud dalam surat ini? Dia sendiripun tidak tau, Nicholas lalu membuang kertas itu sembarang. Dia tidak ingin ambil pusing dengan si 'Dia' dalam surat yang ditulis Laurencia ini.

Nicholas lalu memeluk tas ranselnya sambil memikirkan tentang Ibunya, rasa rindu tiba-tiba menyeruak ke dalam batinnya. Dia tidak tau apakah sang Ibu masih hidup atau tidak. Tapi, Nicholas selalu berdoa untuk keselamatan kedua orangtuanya

"Aku harap Ibu baik-baik saja," gumam Nicholas.

Sementara itu, Wendy merasa kalau tubuhnya sedang tidak sehat. Beberapa bagian menjadi sangat sensitif dan sangat sakit! Sejurus kemudian, Wendy mengambil pisau dan berjalan menghampiri Nicholas.

Perempuan itu menyembunyikan pisau dibalik punggungnya, dia tersenyum pada Nicholas. "Ada apa? Kenapa kau tersenyum begitu?" tanya Nicholas heran, Wendy mengambil duduk di samping Nicholas.

"Tidak ada, aku memperhatikanmu dari sana," Wendy menunjuk dapur, Nicholas kemudian mengikuti arah pandang Wendy lalu menggaruk tengkuknya seperti orang bodoh.

"Lalu? Apa ada masalah denganku?" tanya Nicholas bingung.

"Aku mencintaimu, bagaimana dengan itu?" tanya Wendy berubah kemayu. Nicholas semakin dibuat bingung, sekaligus deg-degan.

"Kau menyatakan cinta padaku?" Nicholas menatap Wendy yang sedikit berkeringat, cewek itu menahan rasa sakit yang seolah akan membunuhnya secara perlahan.

Urat-urat mulai bermunculan di tangan Wendy, dia mengerang kesakitan. Perempuan itu merintih.

"Apa kamu baik-baik saja? Katakan padaku," Nicholas meremas bahu Wendy yang merunduk.

Suasana menjadi hening, erangan Wendy pun terhenti sejenak. Perempuan itu perlahan menengadah, menatap Nicholas yang kebingungan. Matanya mengeluarkan cairan merah yang mengalir sedikit demi sedikit, Nicholas refleks menarik tangannya dari tubuh Wendy.

"Ya! Aku menyatakan cinta! Bagaimana menurutmu?! Menyenangkan, bukan?! HAHAHAHAHA!" Wendy tertawa seram, dia mengayunkan tangannya ke depan—hendak menusuk Nicholas, namun refleks cowok itu jauh lebih cepat, sehingga pisaunya hanya menancap ke ranjang.

"Kau kenapa? Kau tidak waras, hah?!" hardik Nicholas kaget.

Tetapi, Wendy hanya tergelak sambil mencakar-cakar wajahnya sendiri sampai mengeluarkan darah, "Aku yang membunuh Laurencia... Dia tidak mengorbankan dirinya untukku! Aku! Aku yang mengorbankan hidup Laurencia untukku!" ungkap Wendy seraya tertawa terbahak-bahak, dia lantas merunduk lagi.

Nicholas mengerutkan dahi, dia tetap menjaga jarak dengan Wendy.

"Aku juga yang membunuh para penghuni panti! Aku sudah tidak tahan lagi! Aku ini monster! Monster kejam yang mengerikan! Ak-Aku tidak berhak lagi untuk hidup di dunia, aku sudah banyak melakukan dosa." Sekarang Wendy terisak, namun, bukan air mata yang jatuh, melainkan darah segar.

"Oh, sekarang semuanya jadi masuk akal, surat itu, Laurencia tujukan padamu," balas Nicholas berani.

Sejurus kemudian, Wendy menengadah, penampakan wajahnya sangat mengerikan. "Dia menyayangiku, bukan?" tanya Wendy lirih.

"Siapa yang mau menyayangi monster kejam dan mengerikan sepertimu?" ceplos Nicholas.

"Ibu dan Ayahku mati, lalu, aku akan segera menyusul mereka... Hanya merekalah yang menyayangiku, selain itu, aku tidak peduli lagi!" Wendy berdiri dan memekik seram, dia berlari untuk menggigit Nicholas.

Nicholas sontak mengambil pisau itu dan spontan menusuk dahi Wendy menggunakan benda tersebut, perempuan itu menganga dan memelotot kaget, begitupun Nicholas. Hening menjeda, Nicholas menahan pekiknya saat darah mulai turun dari gagang pisau menuju jari-jemarinya.

Dia tak mengatakan apapun lagi, Wendy hanya mengerang dan tangannya berusaha meraih leher Nicholas, akan tetapi, tubuhnya perlahan ambruk ke samping dan cengkramannya melonggar dari pakaian cowok itu.

Tangan cowok itu bergetar hebat, jantungnya bertalu-talu tak keruan. Nicholas memundurkan tubuhnya, kemudian dia terperenyak sambil memandang jasad Wendy yang berlumuran darah. Rambut pirang gadis itu bahkan terkotori oleh darahnya sendiri dan itu karna Nicholas.

Dia memandangi kedua tangannya yang bergetar hebat, "Aku membunuhnya." Sepasang mata hitam pekat itu memelotot dan sedikit bergetar.

Nicholas rasanya ingin menangis, dia terlalu takut untuk melangkah lagi.

Sebuah suara dentuman memecah keheningan, Nicholas menoleh ke asal suara, dua orang itu memakai seragam yang sama dan membawa senjata di pelukan masing-masing. Salah satu dari mereka melepas topeng seram yang dipakai, "Astaga, kamu membunuhnya?" tanya perempuan itu lantang.

"Tenanglah, April!" kata rekan lelakinya.

"Sialan! Kau membunuh satu-satunya penyintas dari kota Stonburg! Kemari kau!" April mendekat dan lantas mencengkram kerah seragam Nicholas. Tangannya terkepal, seolah hendak menonjok wajah Nicholas.

"Astaga, ada apa denganmu!" Ricardo menarik April mundur, cewek itu refleks melepas cengkramannya ketika melihat wajah syok Nicholas.

"Dia terpaksa melakukannya, kau tau? Tidak sedikit penyintas kota Stonburg yang bisa bertahan hidup, kebanyakan dari mereka sudah terjangkit D-21," ujar Ricardo membuat April memeriksa tubuh Wendy. Perempuan itu memaki kesal setelah melihat kondisi badan Wendy yang mulai melepuh.

"Aku yang membunuhnya," ujar Nicholas, April pun sontak menoleh dan memutar bola mata malas.

"Dasar pembunuh! Selama berhari-hari kami mencari informasi mengenai para penyintas dari kota Stonburg dan mereka semua mati, kau tau? Mati. Lalu, orang ini adalah penyintas terakhir yang kami tau! Penyelidikan ini sia-sia, sungguh!" April berucap frustrasi, perempuan itu memandang lekat Nicholas. "Harusnya kami bisa mencegah virus ini agar tak masuk ke kota Aphelion. Tapi, barikade kami tampaknya tak cukup kuat," sambungnya.

Kemudian, Ricardo memegang bahu April untuk menguatkan gadis itu. "Hentikan, kamu membuatnya semakin putus asa," kata Ricardo.

"Persetan! Ayo kita bunuh dia saja! Itu lebih baik!" April dengan cekatan mengambil pistol dari sabuknya dan mengarahkan benda itu ke kepala Nicholas.

"Hey!" Ricardo memelototi April dan mengambil pistol dari tangan perempuan berseragam tersebut. "Inilah, mengapa pimpinan tidak mengizinkan kamu untuk turun tangan dalam kasus ini, April. Kamu terlalu muda, berambisi, dan labil," ujar Ricardo, April sontak mempoutkan bibirnya.

"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Nicholas lemah.

"Kami adalah anggota Calvard, pimpinan kami memperintahkan kami untuk menemukan para penyintas dan menggali informasi tentang asal-usul bencana ini," jelas Ricardo.

Nicholas sontak memandang wajah jutek April, cowok itu lalu beranjak bangkit dan mengambil tas ranselnya, Nicholas berjalan untuk meninggalkan mereka berdua. Namun, langkahnya terhenti karena April memegang tangan Nicholas.

"Setelah kau membunuh, kau pergi begitu saja?" tanya April ketus, dia menarik lengan Nicholas, akibatnya cowok itu berbalik badan dan langsung menghadap ke April.

Nicholas menatap kedua mata April yang berwarna hitam pekat, tidak ada cahaya disana, hanya ada ketakutan yang tidak terbatas dan trauma yang panjang. Cowok itu lantas menyentak tangan April darinya, tanpa berkata lagi, Nicholas langsung pergi.

"Hey!" Ricardo menggenggam tangan April, mencegah agar gadis itu tidak mengikuti atau menghajar Nicholas dari belakang.

April menoleh dan mendapati wajah tampan Ricardo yang tidak tertutupi masker, April lalu membuang muka, sial! Ricardo selalu mampu mengendalikan emosinya.

Tak lama kemudian, protofon April berbunyi. "Calvard satu, jawab Calvard satu!"

"Calvard satu disini! Ada apa komandan?!" Ricardo menyambar protofon dari tangan April.

"Kembali ke markas! Tempat itu tidak aman!"

"Apa maksudnya?" April bertanya kurang ajar.

"Ada sekelompok anjing mutan yang dilaporkan oleh Cavalerry tiga sedang menuju kesana! Pergi segera!" suaranya terdengar berkerisik.

Ricardo melamun sejenak setelah April mengambil protofonnya kembali, kedua orang itu kemudian menoleh ketika suara alarm mobil berbunyi. April mengintip dari balik jendela, namun dia tidak dapat melihat apapun, terlalu gelap diluar.

"Ayo, April. Kita pergi sekarang!" Ricardo kembali memimpin jalan.