Chereads / Cube: Paralyzed (Indo. ver) / Chapter 7 - Red zone

Chapter 7 - Red zone

Nicholas tidak sengaja membunyikan alarm salah satu mobil yang terparkir, akibatnya, beberapa zombi berupa seekor anjing pun menyalak dan mengejutkan Nicholas. Dia refleks mengambil langkah seribu, yaitu, kabur!

Lolongan mengerikan membuat bulu kuduk Nicholas berdiri, cowok itu berlari berpacu dengan waktu. Bahkan, makhluk-makhluk itu hampir menyusulnya. "Aaaaarrghhhh!!" teriak Nicholas panik, dahinya yang terdapat beberapa bintik jerawat itu mulai berkeringat.

Morgan dan Jane yang sedang beristirahat sejenak pun menoleh dan mendapati seorang anak yang sedang berlari melewati mereka, disusul beberapa anjing yang terinfeksi. Jane kemudian berteriak histeris memanggil Nicholas.

"NICHOLAS!" teriak Jane.

"IBU! TOLOOOOONGG!" Nicholas menyahut, walaupun dia tidak yakin kalau itu adalah suara Ibunya.

"Tunggu apa lagi! Jalankan mobilnya!" suruh Jane ke Morgan.

"Hei! Jangan meremehkan mantan pembalap liga satu!" cerocos Morgan, Jane mendelik dan memukul lengan Morgan untuk segera menyusul anaknya.

๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

Morgan mengendarai mobilnya seperti pengemudi setan, dia bahkan menabrak beberapa anjing itu hingga akhirnya berada persis di samping Nicholas yang sedang berlari menghindari monster mengerikan tersebut.

Nicholas menoleh dan mendapati sang Ibu, dia lalu mengulurkan tangannya untuk meraih Jane. Jane lantas membuka pintu mobilnya, berusaha meraih tangan Nicholas yang terulur. "Lebih dekat lagi, sayang!" pinta Jane ke Nicholas.

"Tidak bisa, Bu!" kata Nicholas.

Cowok itu perlahan memperlambat lajunya akibat kelelahan, oleh karena itu, Jane memukul-mukul tangan Morgan supaya memundurkan mobilnya. "Anakku! Nicholas! Mundurkan mobilnya, cepat!!"

"Nyonya! Makhluk itu semakin mendekat, aku tidak bisa mengambil resiko!" ujar Morgan, Jane memaki dan meminta Morgan untuk menghentikan mobil. Wanita itu dengan senewen membuka pintu mobil dan beranjak, ia nekat berlari mendekati Nicholas.

Gonggongan anjing membuat semuanya menjadi panik dan tidak terkendali, gerombolan makhluk tersebut sudah berada di belakang Nicholas. Dan salah satunya tengah mengambil ancang-ancang untuk melompat ke punggung Nicholas, membuat Jane berteriak sambil berlari hendak menghampiri putranya. Namun, Morgan mencegah Jane dengan memegang lengannya.

"NICHOLAS!" teriak Jane memekik, tubuhnya mendadak lemas, alhasil Jane terduduk sambil terus berteriak. "Lepaskan aku!" Jane menyikut pinggul Morgan, pria itu sontak meringis, namun ia tak kunjung melepaskan tubuh Jane.

Nicholas memelotot ketika makhluk tersebut menyergap tubuhnya dari belakang, cowok itu memandang Jane sambil tersenyum sebagai tanda perpisahan. "NICHOLAS! TIDAAKK!!" Jane memekik sangat keras, air matanya kini telah berguguran.

"Pada hitungan ke tigaโ€”"

"TIGA!"

Suara tembakan memberondong menghujani makhluk itu satu persatu hingga berjatuhan, April terkekeh senang karena telah menghabisi makhluk-makhluk aneh itu. Ricardo pun bahkan sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan rekannya yang satu ini.

"Akan kuhabisi kalian semua," April menembaki zombi itu satu persatu, semua tembakannya rata-rata tepat sasaran. Sebab, itu adalah salah satu kemampuan terhebat April.

"Hey, berhenti! Mereka sudah mati!" Ricardo mencolek bahu April yang malah keasyikan menembak. Perempuan itu kemudian tersengeh.

Jane sontak terdiam saat melihat kedatangan Ricardo juga April, dia sangat bersyukur. Jika saja tidak ada kedua orang itu, Jane akan kehilangan pusat kehidupan dan kebahagiannya, yaitu Nicholas. Karena kejadian barusan, seluruh tubuhnya seakan mati rasa.

"Kenapa meloncati hitungannya dan langsung ke angka tiga?" tanya Ricardo.

"Kelamaan, jadi aku potong," April mengisi ulang pelurunya.

"Hitungan itu penting, April. Jangan sembrono!" Ricardo memarahi April dan berujung pada cekcok mulut di antara keduanya.

Jane segera berlari menghampiri Nicholas yang membungkuk di tanah dengan tubuh gemetaran, wanita itu langsung merengkuh sang anak ke pelukannya. "Nicholas ... Ibu merindukanmu, nak ..." lirih Jane seraya terisak. Nicholas pun sama, dia memeluk Jane begitu erat. Ada sebuah rasa hangat yang menguar dan menyelimuti batin bocah itu.

Nicholas bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia memeluk Ibunya seperti saat ini, kesendirian yang menimbun seolah menghilang ketika Nicholas merasakan hangatnya pelukan Ibu. Nicholas menangis sambil berulang kali meminta maaf pada Jane.

"Ibu, aku takut," isaknya.

"Tenang, semuanya sudah aman, nak. Sekarang ibu ada di sini untuk melindungimu." Jane mengusap surai hitam milik Nicholas dengan penuh kelembutan.

Dia menyadari betapa besar kasih sayang Jane padanya dan Nicholas tidak bisa berhenti membayangkan betapa terlukanya sang Ibu saat dia membentaknya. Ingatan singkat memasuki kepala Nicholas, saat dia melempar hadiah dari Jane di ulang tahunnya yang ke sepuluh, tepat pada malam harinya, Jane terisak seorang diri, tangisan yang membuat Nicholas merasa sangat bersalah. Namun, dia terlalu malu untuk meminta maaf kepada sang Ibu tercinta. "Maaf, bu, maafkan Nicholas..." ucapnya parau.

"Ini semua salah Ibu, nak... Ibu tidak pernah tau kalau kamu selalu sendirian... Ibu sangat menyayangimu, kamu adalah harta terbesar dan keajaiban terindah yang terjadi di kehidupan Ibu, Nicholas." Jane mengusap halus kulit pipi Nicholas dan menyeka air mata anak itu.

April memperhatikan pertemuan Ibu dan anak yang mengharukan itu, dia lalu menoleh ke Ricardo yang berdiri tegap di sampingnya. April kembali menatap Nicholas dan tak sengaja melihat Morgan yang berdiri tak jauh darinya, April ingat kalau orang itu ada di daftar para penyintas kota Stonburg. Cewek itu refleks menyikut Ricardo, "Apa?" tanya Ricardo lembut.

"Morgan Vasquez," bisik April, Ricardo mengerutkan dahi sambil memperhatikan Morgan. Pria itu lalu berjalan menghampiri Morgan.

Tetapi, langkah Ricardo terhenti kala protofon miliknya berkerisik disusul oleh suara anak buahnya yang berteriak panik. "Ricardo! Jawab jika anda menerima sinyalku!"

"Apa yang terjadi?!" Ricardo menjawab tegang. April spontan berlari mendekati Ricardo dan berdiri di samping pria itu.

"MARKAS TIDAK AMAN! ZONA MERAH! ZONA MERAH!" orang itu berteriak dan suara tembakan terdengar sangat rusuh di ujung sana.

"Pione! Pione! Kau dengar?!" Ricardo berteriak membuat semua orang menoleh padanya.

"Sialan, mereka semakin banyak! Katakan pada keluargaku kalau aku sangat mencintai mereka," Dia berteriak dan sinyal pun terputus dalam sekejap, Ricardo lalu memandang nanar protofonnya. Ada rasa kesal yang tiba-tiba membuncah dalam dadanya,

"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya April khawatir.

"Kita harus cepat mencari tempat aman," Ricardo berjalan mendahului, April yang peka pun seketika menyuruh semua untuk mencari tempat perlindungan.

"Maaf, menganggu, tapi kita harus cepat pergi dari sini," kata April kemudian melangkah mengikuti jejak Ricardo.

"Siapa mereka? Kenapa mereka suka menyuruh-nyuruh," gumaman Jane terdengar oleh Morgan dan Nicholas.

"Ibu, mereka adalah anggota tentara yang di kirim pemerintah," jawab Nicholas.

"Nyonya, berhenti mencurigai orang-orang, ayo ikuti mereka supaya kita aman," sahut Morgan.

๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

Ricardo menendang pintu sebuah rumah, pria itu langsung menodongkan sniper rifles ke depan, sedangkan April menodongkan MG-42 nya ke kanan dan kiri. "Aman," kata mereka bersamaan.

Jane senantiasa menggenggam tangan Nicholas untuk memastikan bahwa anaknya baik-baik saja. Ricardo lantas mengedarkan pandangan, "April, cari tombol lampu," titahnya.

"Siap," jawab April.

Lalu, tak lama kemudian, lampu pun menyala. Mereka dibuat melongo dengan keadaan rumah yang persis seperti kapal pecah, bercak darah di beberapa tempat dan beberapa furnitur yang pecah berserakan. "Seperti medan perang," ceplos April.

Morgan menutup pintu rapat-rapat, dia berdiri di belakang Jane sambil mengawasi keadaan. "Bu, aku ingin ke toilet sebentar," ujar Nicholas, Jane pun mengangguk dan membiarkan Nicholas pergi ke kamar mandi.

Sementara itu, Ricardo dan April lanjut memeriksa semua ruangan yang ada di rumah ini. April sebagai backing Ricardo selalu berjalan di belakang sambil menjaga sisi kanan dan belakang, sedangkan, Ricardo menjaga sisi depan juga sisi kiri.

Ricardo menoleh ke April lalu memberi israyat ke perempuan itu untuk berjalan lebih dulu, April mengangguk dan mendahului Ricardo.

April mengarahkan senternya ke sebuah ruangan yang gelap gulita, dia tak sengaja menyorot genangan darah yang berasal dari mayat seseorang, April memelotot saat berhasil menemukan dua mayat di dekat mesin cuci, perut mereka kopong, dan beberapa ulat pun terlihat sedang menggerogoti daging mereka. "Jangan dilihat terlalu lama," ujar Ricardo sambil meremas bahu kecil perempuan itu, dia sukses mengejutkan April.

"Apa mereka akan hidup?" tanya April ke Ricardo, dia merasa cemas kalau-kalau mayat itu hidup dan menggigitnya dari belakang jika ia berbalik badan.

"Kita lihat nanti," jawab Ricardo.

April melamun sesaat, kemudian ketika tersadar, Ricardo sudah menghilang entah kemana. Cewek itu sontak kembali berjalan mencari keberadaan Ricardo. Rumah ini, entah mengapa terasa sangat angker bagi April. Dan, hanya beberapa lampu yang menyala, sisanya mati.

Oleh karena itu, ada beberapa ruangan yang sangat gelap karna tidak ada pencahayaan. April mengarahkan senternya lurus ke depan, bulu kuduknya meremang seketika. "Tempat ini mengerikan," gumamnya.

Dalam sunyi, tiba-tiba sesosok zombi melompat dari arah depan dan mengejutkan April. Makhluk itu memekik serak.

April terdorong dan jatuh ke lantai, dia berteriak meminta tolong. Kedua tangannya menahan kedua bahu zombi itu agar tidak menggigitnya, "APRIL! TAHAN!" teriak Ricardo, lalu dia menembak zombi itu tepat di kepalanya.

Ricardo berjongkok dan memandang wajah April, "Kamu harus melawan fobia gelapmu, April," Ricardo menghapus noda darah yang ada di pipi April.

"Astaga! Ada apa ini?" tanya Jane was-was karna mendengar suara tembakan. Sedangkan Morgan, pria itu kini tampak merebahkan tubuhnya di sofa empuk dan mengabaikan sekitar.

"Berapa banyak penghuni rumah ini? Apa mereka semua berubah?" tanya Ricardo bermonolog, dia bangkit dan mengedarkan pandangan. Rumah ini termasuk luas dan memiliki dua lantai.

"Bu Sashen?" Jane menyipitkan matanya ketika memandang zombi yang sudah mati ditangan Ricardo.

April nampak masih syok, jantungnya serasa akan melompat keluar. Melawan zombi termasuk perkara yang mudah, namun melawan fobia gelap? Oh, ayolah. April lebih baik mati di medan perang daripada harus berhadapan dengan fobianya.