Nicholas berdiri kaku di depan semua guru yang memandangnya, Sashen melipat kedua tangan di depan dada, matanya menyorot tajam penampilan Nicholas yang berantakan akibat ulah Billy beserta komplotannya. "Kenapa pakaianmu tidak rapih, Nichol?" tanya Sashen, tetapi, Nicholas tetap bungkam, tidak ingin menjawab.
"Nicholas! Tolong jawab pertanyaan saya!" sentak Sashen, cowok itu membuang muka ke samping.
"Kamu bersekolah di sini itu untuk menimba ilmu, bukannya malah merundung temanmu, Billy!" ujar Sashen.
"Tolong, jangan membuat ulah lagi, saya sudah capek mengurus kamu. Sebagai Wali kelas, saya wajib membimbing murid-muridnya. Tapi, kamu? Kamu bahkan tidak bisa diperbaiki, Nicholas. Kamu tidak itu tidak pintar! Bagaimana bisa bersekolah di SMP favorite seperti sekolah kita? Ibu dan anak sama saja, merepotkan!" Sashen lalu memijat pelipisnya, pusing.
"Ibumu bersikeras membuktikan perundungan yang menimpa anaknya, tapi, lihat! Malah anaknya yang merundung orang lain, sungguh ironi," kata Sashen.
"Asal kamu tau, Ibumu sangat merepotkan kami. Dia selalu mengirim pesan padaku setiap hari, untuk mengetahui kabarmu di sekolah. Yah, jika dia tidak bisa mendidik anaknya dengan benar, maka dia harus mendaftarkanmu ke sebuah asrama." Nicholas refleks menatap gurunya yang sedang menggerutu itu dengan penuh kekesalan.
Rasa bencinya seakan meluap, terus diam di saat seperti ini malah membuatnya terus diinjak-injak oleh semua orang. Bukannya tidak pintar, Nicholas hanya tidak pernah belajar dengan baik. Dia selalu kesulitan, tidak pernah ada yang membantunya, sekalipun itu Jane. Merundung? Apa Nicholas punya keberanian sebesar itu untuk merundung Billy?
"Kenapa, anak seorang dokter dan perwira Angkatan Laut malah menjadi brutal dan nakal seperti ini? Katakan pada kami, apa yang sebenarnya kamu lakukan pada Billy? Dia itu anak berprestasi dan sopan," tanya Sashen, untuk yang ke sekian kalinya, Nicholas muak mendengar kata 'prestasi' dan mendengar nama si gemuk, Billy.
Cowok berumur lima belas tahun itu kemudian menatap Sashen dengan sarat kebencian. Sambil mengumpulkan tekad dan keberanian untuk membela dirinya sendiri, Nicholas kemudian mengedarkan pandangan.
"Sudah cukup dengan kata prestasi dan si gendut." ucap Nicholas tiba-tiba, membuat semuanya terkejut dan memelotot marah.
"Nicholas!" hardik Sashen.
"Seragamku tidak rapih? Itu karena ulah Billy! Dia menghajarku habis-habisan! Bahkan punggungku terasa sangat nyeri ketika aku menghantam deretan meja di kelas! Kalian tidak tau kan?! Ya, si gendut itu, dia algojo tak waras yang berkeliaran di sekolah ini!" papar Nicholas.
"Tidak sopan!" balas kepala sekolah angkat suara.
"Maaf, bu. Saya mengatakan fakta, bukan kebohongan. Billy bahkan menyiram saya dengan air busuk yang dia dapatkan dari selokan! Seragam saya kotor dan bau gara-gara Billy! Persetan dengan prestasinya, eh? Bukankah Billy juga sama bodohnya denganku? Hanya saja, dia anak kepala sekolah, makanya dia menjadi sangat pintar karena dapat bocoran materi dari Ibunya," ujar Nicholas tak tahan lagi.
Sashen spontan menampar pipi Nicholas cukup keras, cowok itu memelotot tidak percaya. Matanya memerah dan mengeluarkan sebutir air bening, hidungnya pun ikut memerah. Hatinya terasa sangat sakit, Sashen adalah orang pertama yang menggampar Nicholas sepanjang hidupnya.
Alih-alih kapok, Nicholas malah semakin membuka mulut dan mengatakan hal yang dia simpan selama hidupnya. Sesuatu yang sangat ingin dia bagi dengan orang lain, yang kita sebut sebagai teman.
"Orang tuaku, mereka adalah orang yang paling berharga. Tapi, mereka seolah tidak pernah ada untuk merangkul dan memelukku saat aku merasa takut menghadapi dunia. Dunia semakin kejam ketika aku bungkam, kesepian menjadi sangat nyata. Sekarang, di sekolah, aku bahkan tidak pernah dianggap. Seakan aku tidak pernah ada di antara kalian. Guru yang katanya orang tua kedua pun memperlakukanku sama seperti mereka, aku tidak pernah berbuat kenakalan. Hanya kali ini saja, karena Billy yang memulainya duluan." Nicholas menitikkan air mata, namun dia langsung menghapus semua air matanya sebelum itu terjatuh, bahkan suaranya terdengar bergetar di akhir.
"Apa maksudmu?" tanya Sashen bingung, sementara, guru yang lain hanya diam, menyimak apa yang mau dikatakan Nicholas selanjutnya.
"Tidak ada, Bu. Aku menjadi korban disini, tapi, kalian memperlakukanku seperti akulah pelakunya. Wajar jika Ibuku merecoki kehidupanku di sekolah, karena dia tau, aku selalu sendirian di sini. Dia mengkhawatirkan anaknya, itu wajar. Ibu tau bagaimana perasaanku, meskipun dia tidak pernah memperlihatkannya secara terang-terangan. Menjadi seorang dokter bukanlah hal mudah, Ibu mengabdikan seluruh kehidupannya untuk kehidupan orang lain. Dia bahkan melupakan anaknya, sedangkan, Ayah. Dia adalah pahlawan sebenarnya, walaupun, jarang pulang. Ayah sering mengirimi aku sebual surel atau surat pos." ujar Nicholas gamang.
"Kenapa kau menceritakan kehidupanmu pada kami?" tanya guru yang berusia setengah abad itu.
"Karena aku tidak punya teman, aku tidak punya siapapun. Aku hanya ingin berbagi kisah hidupku disini, supaya kalian tau. Orang yang sering kalian remehkan itu memang sangat rendah se-rendah-rendahnya. Baiklah, apapun keputusan kalian, aku akan menghormatinya. Tapi, jika kalian menyuruhku untuk meminta maaf pada si gendut, aku menolak." Nicholas menunduk lagi untuk menyembunyikan sisi cengengnya, dia membersihkan semua air yang menghalangi pandangannya. Tetapi, entah kenapa, rasanya sulit sekali. Matanya selalu mengeluarkan air, lagi dan lagi.
Suasana menjadi hening seketika, kepala sekolah pun terlihat sedang menimbang-nimbang keputusan yang akan dia buat. Baru kali ini ada siswa yang berani mengungkapkan keluh kesahnya di ruang guru, Nicholas yang pendiam ternyata menjadi sangat berani.
"Nicholas Jean Haviland," panggil Camelie, kepala sekolahnya. Nicholas sontak menatap Camelie dengan kedua mata sendunya.
"Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman di sini, silakan beritau saya. Bahkan, jika Billy mengganggumu lagi, jangan sungkan untuk melaporkannya." ujar Camelie.
Nicholas lalu tersenyum, seolah ada secercah harapan yang menghampiri sisi gelap hidupnya. "Baik, bu."
Bocah itu lalu berpamitan pada semua guru, dia berjalan dengan perasaan yang sedikit lega. Setidaknya, tidak akan ada yang mengganggunya lagi.
"Ada apa ini, Bu Camelie?" tanya Sashen setelah Nicholas pergi, ia spontan mendekati meja Camelie.
"Biarkan dia, dia hanya anak kecil yang masih labil." jawab Camelie jutek, dia menatap ambang pintu dengan penuh kejengkelan.
Sashen seketika bungkam.