"Aku... Takut..."
"Aku, tak mau berada di ruangan yang kosong."
"Gelap."
"Hampa..."
"Setiap hari seperti malam...."
"Tak ada cahaya sama sekali yang bisa kulihat."
"Hanya duduk di sudut dengan kedinginan di dalam kurungan."
"Suara hanya bergema dan masuk kembali ke telinga ku."
"Sangat menyakitkan... Kenapa aku bisa membuka mata di tempat seperti ini?"
"Yang aku ingat, hanya aku yang membuka mata di bawah lampu..."
"Dengan banyak orang mengikat ku...."
"Mereka menyuntikkan ku sesuatu..."
"Di tempat aku berbaring dengan kesakitan, suaraku tak mau keluar."
"Aku hanya ketakutan bahkan ketika mereka memegang sebuah pisau kecil."
"Aku takut...."
"Apa itu bola mataku? Kemana kalian akan membawanya pergi....?"
"Kenapa terus menyuntikkan ku banyak cairan berwarna aneh dan juga berbeda beda...."
"Kenapa perutku sakit, apa mereka mengirisnya?"
"Sangat sakit...."
"Dimana tangan ku, dimana kaki ku.... Aku tak bisa merasakan semuanya..."
"Aku mohon, berhentilah menyiksa ku..."
"Aku ingin keluar dari semua ini."
"Aku kesakitan... Aku takut, tolong aku.... Siapapun..."
Hanya perkataan dari hati seorang gadis percobaan yang telah lama kesepian dan sudah tak di inginkan.
---
--
Noah duduk di kursi pengemudi dengan tangannya mantap menggenggam setir, sedangkan Leo duduk di bangku tengah bersama Lilian. Lilian menempel pada Leo, merasa nyaman dalam dekapannya. Malam itu, suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya diisi dengan suara mesin yang menderu lembut dan jalanan yang sepi. Cahaya lampu jalan menyoroti wajah mereka dengan ritme yang monoton, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan di dalam mobil.
Noah melirik ke kaca spion, memperhatikan Lilian yang tampak asyik menatap ke luar jendela dengan tatapan polosnya. Tapi pandangannya segera beralih ke Leo, yang duduk dalam diam dengan tatapan dingin dan tak terbaca. Noah menarik napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan nada yang seolah acuh namun jelas berisi.
"Leo, kau yakin tidak ada yang tertinggal di bar tadi? Maksudku, soal... percobaan itu?" tanya Noah dengan nada setengah bercanda namun penuh arti. Dia mencoba menggali lebih dalam, berharap Leo memberikan jawaban lebih dari sekadar gumaman singkat.
Leo tidak langsung menjawab, ia menatap Lilian sebentar, memastikan gadis kecil itu tidak terlalu memperhatikan percakapan mereka. Lilian hanya mengayunkan kakinya pelan, masih asyik memandangi lampu-lampu kota yang berlalu di luar jendela. Setelah merasa cukup aman, Leo menatap lurus ke depan, ekspresinya tetap datar.
"Tidak ada yang tertinggal, Noah," jawab Leo, suaranya terdengar rendah dan berat. "Aku sudah menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan. Mereka tidak akan mencari masalah lagi... setidaknya untuk sekarang."
Noah menekan pedal gas sedikit lebih dalam, membuat mobil melaju sedikit lebih cepat di jalanan malam yang sepi. Ia menyipitkan matanya, merasakan ada banyak hal yang belum dikatakan Leo. "Benarkah? Lalu apa yang kau pikirkan tentang Lilian ini? Apa kau tahu benar siapa dia, Leo?"
Leo menghela napas panjang, tatapannya beralih pada Lilian yang kini mengamati jari-jarinya, bermain dengan bayangannya sendiri di bawah cahaya redup. "Aku tahu lebih dari cukup, Noah. Dia hanyalah seorang anak yang lahir dari eksperimen yang gagal. Dan sekarang, dia ada di sini, bersamaku."
Noah mengernyit mendengar jawaban Leo. "Eksperimen yang gagal, ya? Apa kau sungguh percaya itu? Bagaimana jika sebenarnya ada yang lebih dalam dari sekadar kegagalan, Leo? Anak ini... dia berbeda, dan aku tahu kau bisa merasakannya juga."
Leo terdiam, memalingkan wajahnya ke jendela, seolah enggan melanjutkan percakapan. Tapi Noah tidak menyerah. Ia tahu, jika tidak didesak sekarang, mungkin Leo tidak akan pernah terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau tahu, Leo... aku sudah lama mengenalmu. Kau bukan tipe orang yang mengambil tanggung jawab tanpa alasan yang jelas. Mengapa kau membawa Lilian bersamamu? Apakah karena kau merasa kasihan, atau ada sesuatu yang lain? Mungkin sesuatu yang bahkan kau sendiri belum pahami?" Noah memancing lebih jauh, nada suaranya menjadi lebih serius.
Leo mengepalkan tangannya di atas paha, rahangnya mengeras. "Kau terlalu banyak bicara, Noah. Ini bukan soal rasa kasihan. Ini..." suaranya terhenti sesaat, seolah berusaha menahan sesuatu yang enggan ia ungkapkan. "Ini adalah tentang memberi seseorang kesempatan untuk hidup. Sesuatu yang seharusnya tidak mereka rampas darinya."
Noah menatap Leo melalui kaca spion, mencoba membaca emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang dingin. "Kau tahu, Lilian bukan sekadar hasil percobaan mereka, Leo. Anak ini... dia lebih dari itu. Kau mungkin tidak tahu seberapa besar nilai yang mereka lihat dalam dirinya. Dan aku ingin tahu, apa rencanamu untuknya?"
Leo menghela napas berat, lalu menunduk menatap Lilian yang memeluk boneka kecilnya dengan erat. "aku tak peduli dia mau makan atau apa, dia mau tidur atau apa? Yang pasti aku membawanya hanya semata untuk membuat Direktur Geun kebingungan..."
Lilian mendongak mendengar namanya disebut, tapi tatapannya tetap polos dan tidak paham. "Papa..." katanya dengan suara lembut, menarik perhatian keduanya.
Noah melirik Lilian sekilas, lalu kembali fokus pada jalan.
Noah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Leo. Ada perasaan baru yang muncul dalam dirinya—campuran antara simpati dan kekaguman terhadap pria yang selalu dingin dan penuh rahasia ini. Leo, yang biasanya begitu tak tersentuh, kini menunjukkan sisi yang jauh lebih manusiawi.
Di sampingnya, Lilian mulai terlelap, kepala kecilnya bersandar di bahu Leo. Leo merasakan napas lembut gadis kecil itu di lengannya, mengingatkannya akan betapa rapuhnya makhluk ini di tengah dunia yang keras dan penuh rahasia. Tapi di balik kerapuhannya, ada harapan baru yang perlahan tumbuh, memberi mereka berdua alasan untuk terus melangkah di tengah malam yang sunyi.
Tapi beberapa jalan ditempuh, Lilian terbangun duduk. Noah melihatnya dari kaca tengah mobil. "Kau sudah bangun? Padahal kita belum sampai rumah," kata Noah. Lilian terdiam seperti biasanya mendengarnya.
"Ada apa, kau ingin sesuatu?" Leo menatap di samping nya tapi masih dengan nada yang datar.
Lilian hanya menggeleng.
Hal itu membuat Leo berpikir sesuatu. "(Umur nya mungkin sekitar 8 tahun, dia bahkan masih sangat kecil, bukankah ini merepotkan?)" pikir Leo.
Sementara Lilian bisa melihat langit malam yang dilewati oleh mobil itu. "Papa... malam," Lilian menunjuk langit malam dari dalam mobil.
"Oh... Itu langit malam... Apa yang terjadi, kau tidak pernah melihat itu sebelumnya?" tatap Noah yang ikut mengobrol meskipun dia mengemudi. Terlihat Lilian memasang wajah terkesan menatap bintang di langit.
Lalu Leo terpikirkan sesuatu dan kemudian menatap ke arah Noah. "(Sepertinya aku tahu harus ke mana, aku harus membawanya ke suatu tempat yang bagus...) Noah, pergilah ke bukit Bintang..." tatap Leo.
Noah yang bingung kemudian menurutinya. Mobil mereka pergi ke bukit bintang pada malam itu. Setelah memarkir, Leo turun dan membuka pintu mobil tengah. "Turunlah."
"Un..." Lilian menggeleng ketakutan.
"Ada apa... Apa yang kau pikirkan?" Leo menatap bingung.
"(Apa Papa... akan membuangku?)" Lilian tetap menggeleng lalu Noah juga ikut melihat di samping Leo.
"Kenapa tak mau keluar?" Noah menghela napas panjang dan mengulurkan tangannya, membuat Lilian terdiam.
"Kemarilah, kau suka langit malam bukan?" Noah menatap lembut tidak seperti Leo.
Lalu Lilian menerima perlahan ulurannya, dan mereka keluar. Lilian sudah bisa terkesan melihat banyaknya bintang yang menempel di langit, ia terlihat sangat senang.
"(I... Itu hebat... Sangat berkilau.)" pikirnya.
Leo melihatnya dari jauh sambil berpikir dan mengeluarkan rokoknya, dia hanya melihat Lilian dan Noah yang dekat. "(Apa dia tak pernah melihat langit seperti ini, tapi kemungkinan saja saat di laboratorium dia tak pernah keluar menikmati ini. Jika itu memang benar, maka dia gadis yang akan menjadi kesepian...)"
"Papa!" panggil Lilian dengan senyumnya menoleh ke Leo. Lalu Leo berjalan mendekat pada mereka. "Kau suka itu?"
"Iya..." Lilian mengangguk.
Lalu Leo menatap Noah yang juga tersenyum senang. "Kau Leo kan? Kenapa bersikap baik sekali?" tatapnya memvuat Leo seketika memasang wajah suram.
Mereka mengerti satu sama lain di bawah malam berbintang. Tapi mendadak, ketika Lilian menatap ke arah langit malam yang sebagian kosong tak ada bintang, dia menjadi terkejut seperti teringatkan sesuatu. Seperti ruangan hampa di mana dia terus tersiksa.
"Tidak kah ini bagus?" Noah menatap ke bawah, tapi Noah terkejut melihat Lilian yang berlutut memegang dadanya. Dia bernapas cepat. "Lilian!" Noah langsung berlutut menatap. Dia langsung memegang tubuh Lilian yang terus bernapas cepat.
"Lilian!! Lilian!!" Noah terus memanggil, tapi pandangan Lilian menjadi gelap dan semuanya menjadi tak terlihat.
"(Sejak kecil aku tak pernah percaya ada pahlawan karena sampai sekarang tak ada yang menyelamatkanku. Tapi siapa mereka... Mereka menolongku, aku masih tidak yakin dia bisa menjadi pahlawan untukku, tapi dia begitu hangat mengisi hatiku dengan senyuman tulus miliknya. Dia papa... Aku ingin bersama dengannya.)"
-
--
---
"Di saat itu juga, aku kembali mengingat semuanya..."
"Hanya akan membuatku sakit kepala."
"Aku sudah banyak ketakutan."
"Tak ada apa pun yang bisa kulakukan..."
"Aku tak mengerti dunia sudah seperti apa."
"Aku seharusnya tidak dilahirkan di bawah penderitaan."
"Yang terus menginjakku beberapa kali..."
"Aku takut... Jika harus mengingat itu lagi."
"Setiap hari hanya dilempar ke dalam ruangan gelap, kemudian diambil lagi dan kembali berakhir di ranjang dengan penuh orang-orang menyiksaku."
"Mereka mulai melukai seluruh tubuhku, sangat sakit...."
"Mengiris, membuka, dan menarik sesuatu dari dalam tubuhku."
"Berbagai organ keluar dan tangan mereka menunjukkannya ke pandanganku."
"Aku bisa melihat salah satu dari organ yang berdetak dengan banyaknya darah di sana."
"Apa itu jantungku?"
"Tidak kah kalian merasakan sakitnya, kenapa kalian begitu keji..."
--
-
"Lilian... Lilian..." panggil Leo dan perlahan pandangan Lilian menjadi terbuka dan melihat Leo yang rupanya menggendongnya di dada.
"Papa..." suaranya lemas.
"Lilian, kau baik-baik saja? Kau pingsan tadi?" tatap Leo dengan serius tapi Lilian masih tampak lemas.
Tapi mendadak Lilian menangis, membuat Leo berwajah tak percaya. Apalagi Noah yang ada di samping nya.
"Papa... Papa..." Dia terus memanggil dengan nada yang sangat tertekan juga ada sedikit butiran trauma. "Aku takut... sangat takut..."
Leo yang mendengar itu menjadi mengerti. "(Aku mengerti... Dia mungkin tak bisa melepaskan traumanya...)" pikirnya, lalu memilih memeluk erat Lilian, membuat Lilian terdiam merasakan itu. Dia juga mendengar suara Leo.
"Kau akan aman... Aku janji, aku sudah memutuskan akan menjagamu... Karena, ketika pertama kali bertemu... Saat menatap mata milikmu, takdir seperti menghubungkan kita... Mungkin kita hampir sama... Penderitaanmu sama seperti saat aku kecil, kau akan tahu banyak sebanyak kau mencari tahu... Sekarang, hanya perlu tenang," kata Leo dengan suara lembut, membuat Lilian merasa tenang dan terlindungi. Dia perlahan menutup mata.
"(Aku tahu ini... Setiap kali aku dibawa olehnya... Aku bisa merasakan sesuatu yang hangat, aroma parfum yang khas, juga aku merasa sesuatu yang sangat aman ketika dia menyentuhku.)"
Noah juga tersenyum senang melihat itu. "(Dia seperti menganggap Lilian seperti Caise....)"