"Ngomong-ngomong, Mas Leo... kenapa kau bisa terluka di gang itu?" tanya Caise dengan nada lembut, duduk di samping Leo yang mengemudikan mobil. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara lembut dari lagu yang diputar di radio yang mengisi keheningan. Caise menatap ke arah wajah Leo yang terlihat serius, bahkan saat mengemudi. Tatapannya penuh perhatian, dan sesekali ia menyisir rambutnya yang terjatuh menutupi matanya.
Leo tiba-tiba terdiam, kedua tangannya menggenggam kemudi dengan erat, membuat jari-jarinya tampak lebih tegang. Tatapannya berubah, seakan ada sesuatu yang tersimpan dalam pikirannya. Keheningan itu membuat Caise sedikit bingung, menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
"Apa maksudmu? Kapan aku terluka?" akhirnya Leo menatapnya, matanya memancarkan keheranan sekaligus sedikit kebingungan. Sorot mata itu, dalamnya seperti menyimpan misteri yang Caise ingin pahami.
"Itu... yang pertama kali kita bertemu... Bukankah itu adalah pertemuan yang deja vu? Karena dulu kita bertemu untuk pertama kali juga begitu..." ucap Caise perlahan, suaranya terdengar sedikit gemetar. Matanya menatap ke arah luar jendela, mencoba menutupi sedikit rona merah di wajahnya. Kenangan itu terasa begitu kuat, dan senyumnya yang samar mengisyaratkan bahwa ingatan tersebut sangat berarti baginya.
Leo terdiam lagi, dan kali ini keheningannya terasa seperti angin dingin yang menyusup di antara mereka. Dia menghela napas panjang, seolah menahan sesuatu di dalam dadanya. "Maafkan aku jika merepotkanmu, Caise...." Suaranya terdengar pelan namun tulus, seperti sebuah permohonan maaf yang terselip di antara kalimatnya.
"Eh, tidak, tidak... tidak sama sekali..." Caise tergagap, senyum kecil menghiasi wajahnya, meski ia tampak sedikit canggung. "Aku hanya bertanya alasanmu terluka... Aku tidak keberatan untuk menyembuhkanmu...." Tatapannya kembali bertemu dengan Leo, dan ada sedikit harapan di balik sorot matanya.
Leo terdiam lagi, bibirnya melengkung tipis seakan menyembunyikan sebuah rahasia. "Jadi, kau penasaran siapa yang membuatku seperti itu?"
Caise mengangguk cepat, wajahnya berubah penasaran, mata berbinar dan sorot wajahnya memperlihatkan rasa ingin tahu yang begitu mendalam.
Leo akhirnya tersenyum kecil, meskipun tatapannya masih terlihat berat. "Sebenarnya aku bertengkar dengan seseorang... Dia keras kepala dan malah menyerangku duluan," balas Leo, nada bicaranya terdengar datar, namun ada sedikit getaran dalam suaranya yang menandakan bahwa peristiwa itu bukan hal yang mudah baginya.
"Jangan bilang orang yang memaksamu bergabung dalam aliansinya?" tanya Caise, dengan nada suara yang lebih pelan dan hati-hati.
Leo hanya terdiam. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia menyimpan lebih dari sekadar penjelasan. "Aku tak bisa menjelaskannya padamu... Mungkin ada orang yang akan menjelaskannya padamu nantinya," jawabnya dengan suara rendah, seolah berusaha melindungi Caise dari sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia katakan.
"Uh... Mas Leo... kau membuatku penasaran," Caise menggembungkan pipi dengan kesal, raut wajahnya yang lucu membuat Leo tersenyum kecil, sejenak melupakan kekhawatiran yang ada dalam pikirannya.
"Haha... kau sangat imut... jangan khawatir, itu tidak akan membahayakan...." Leo menjawab sambil sesekali melirik Caise, senyumnya menenangkan namun tersirat sesuatu di baliknya yang Caise tak sepenuhnya mengerti.
"Tapi paling tidak beritahu aku.... Aku butuh sesuatu soal informasi ini, aku adalah bagianmu...." Caise menatapnya dengan ekspresi serius, nada suaranya penuh harap.
Leo yang tampak semakin tegang, menatap jalanan di depan mereka, ekspresi di wajahnya mencerminkan beban yang ia tanggung. Helaan napas panjangnya terdengar dalam keheningan. "Kenapa kau terus penasaran? Apa jangan-jangan ada yang mengutusmu?" Tatapannya melirik tajam, seolah mencari kebenaran di balik tatapan mata Caise.
Mendengar itu, Caise terkejut. Dia menyadari bahwa Leo mungkin berpikir dia diutus oleh Oliver atau rekan polisi untuk mencari informasi. Padahal Caise hanya merasa penasaran, ingin lebih mengenal pria di sampingnya, ingin tahu lebih dalam tentang kehidupannya.
"(Jadi, Mas Leo berpikir begitu....)" Caise merasa hatinya sedikit terluka, kecewa dengan asumsi itu. Dia hanya bisa terdiam, menundukkan wajahnya, menyembunyikan ekspresi kecewanya. Namun, tiba-tiba, Leo menggenggam tangan Caise yang ada di pangkuannya, membuatnya terkejut.
Lalu terdengar suara lembut Leo yang penuh keyakinan, tanpa menoleh, ia berkata, "Aku tahu, Caise bukan gadis seperti itu." Ucapannya begitu tulus dan dalam, membuat Caise terdiam. Tatapannya lembut dan hangat, berbeda dari tatapan Leo biasanya yang dingin dan tegas. Hatinya bergetar, ia tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Lampu merah membuat Leo menghentikan mobilnya, dan dalam sekejap, Leo mendekatkan wajahnya pada Caise, lalu ia menempelkan bibirnya di kening Caise dengan lembut. Caise tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya memerah dan jantungnya berdegup kencang.
"Tak peduli Caise utusan siapa, tak peduli Caise ingin tahu seberapa besar. Aku tetap percaya padamu... Jangan khawatir...." Tatap Leo penuh ketenangan, dan sesaat, kehangatan itu membuat Caise tersenyum bahagia, wajahnya memerah semakin jelas.
Leo kembali melajukan mobilnya, namun kini atmosfer di dalam terasa berbeda, lebih nyaman dan tenang. Leo melanjutkan penjelasannya, "Dia Direktur Geun. Sebelum aku menemukan Lilian, Direktur Geun meminta beberapa kerja sama denganku. Dia meminta uang, juga menugaskanku untuk menyembunyikan bisnisnya dari hukum. Itu juga termasuk tugas yang bisa kulakukan, menyembunyikan setiap kejahatan. Selama aku dibayar, aku bisa melakukannya. Tapi sayangnya, aku tak mau melakukan itu. Terlalu berisiko untukku menjalin kerja sama dengan Direktur Geun. Hingga akhirnya tanpa aku ketahui apa pun, dia mengincarku di gang itu. Aku tak memiliki persiapan, tapi begitu dia menusukkan pisau di perutku, aku bisa membalasnya. Dia juga ikut terluka, tapi dia lebih memilih melarikan diri. Aku hanya menunggu kematianku... Sepertinya kasus ini hanya akan menjadi buruk. Jika aku mati di tangan Direktur Geun, dia bisa saja mengambil informasi yang aku pegang untuk menyembunyikan kejahatannya di depan hukum, uangku pun juga akan dicuri. Tapi rupanya seseorang datang menyelamatkanku... dengan kemampuan yang sangat hebat..." Leo menatap Caise, dan tatapannya membuat Caise semakin tersipu.
Caise mendengarkan dengan penuh perhatian, memahami bahwa kehidupan yang dijalani Leo begitu penuh tantangan dan bahaya. "(Kupikir itu adalah hal yang wajar jika ada konflik di setiap apa yang dia kerjakan....) Lalu, apakah Direktur Geun masih meminta sesuatu?" tanyanya pelan.
"Tidak juga. Dia tidak meminta apa pun sekarang. Mungkin dia baru ada di distrik paling barat... yang kumaksud kemarin," balas Leo, suaranya terdengar lebih tenang meskipun beban di wajahnya tak sepenuhnya hilang.
Caise menatapnya dengan penuh perhatian, dan dalam hatinya ia berpikir, "(Itu sungguh sangat berat, bahkan jika aku mendengarnya, aku juga tak akan bisa bertahan dengan hal itu....)" Tatapannya penuh kekhawatiran, menyadari bahwa Leo menghadapi ancaman yang tak main-main.
"Caise...." Mendadak Leo memanggil, membuat Caise menoleh dengan cepat. "Apa kau tidak ada hubungan lagi dengan pria itu?"
"Eh, siapa?" Caise menatap bingung.
"Oliver...."
Begitu nama Oliver disebutkan, Caise seketika terkejut, dan ia menggelengkan kepalanya cepat, ingin menunjukkan dengan tegas bahwa dirinya tidak memiliki keterikatan apa pun dengan pria itu lagi.
Leo tersenyum tipis, meskipun raut khawatir masih terlihat di wajahnya. "Begitu, ya. Tapi aku masih khawatir padamu, Caise," katanya, sorot matanya mencerminkan kekhawatiran yang dalam.
"Khawatir... padaku?"
Leo menatap Caise dengan ekspresi lembut, kemudian bertanya, "Apa kau masih gadis bersih?"
Seketika, suasana dalam mobil berubah, dan Caise terdiam sejenak. "Apa maksudmu... Kau menganggapku bekerja di bar malam itu?" dia menjadi kesal
"Ya... Kalau begitu, biarkan aku mengeceknya," balas Leo sambil menghentikan mobilnya tepat di depan rumah sakit besar tempat Caise akan bekerja. Suara mesin mobil yang dimatikan memberi tanda akhir dari perjalanan mereka, tetapi suasana di dalam mobil justru terasa semakin intens.
"A... apa maksudmu?" tanya Caise, terdiam bingung, matanya menatap Leo dengan penuh tanya. Seketika, tanpa peringatan, Leo mendekat dan melepas sabuk pengaman Caise. Gerakan tangannya cepat namun lembut, hingga sebelum Caise sempat menyadari apa yang terjadi, Leo menariknya perlahan, membuatnya terangkat dan berpindah ke pangkuannya.
"Ah... Apa yang kau lakukan... Mas Leo..." Caise tersentak, suara hatinya bergemuruh. Untungnya mobil itu cukup luas, sehingga mereka tidak merasa terlalu sempit. Kejadian ini membuat jantung Caise berdetak kencang, wajahnya memerah dan pandangannya tak bisa lepas dari Leo yang berada begitu dekat.
Leo hanya tersenyum kecil, matanya menatap Caise dengan lembut namun penuh arti. "Aku rasanya ingin terus mengingatkanmu bahwa kau mengalami perubahan, Caise. Wajahmu semakin cantik," ujarnya dengan suara rendah, nadanya hampir seperti bisikan. Jarinya perlahan mengusap pipi Caise, menyentuh kulit halusnya yang terasa dingin karena gugup. "Kulitmu juga semakin putih, seperti porselen," lanjutnya, sembari perlahan mendekatkan wajahnya ke sisi telinga Caise, hingga ia bisa mendengar napasnya yang mulai tidak teratur.
Dan tiba-tiba, Leo menjilat lembut telinga Caise, membuat gadis itu semakin terkejut. "Ah... Aku... sangat sensitif," bisik Caise, berusaha menahan diri agar tidak mengeluarkan suara yang lebih besar. Wajahnya memerah semakin dalam, merasakan kehangatan Leo yang begitu dekat hingga menyusup ke setiap detak jantungnya.
"(Mas Leo... sungguh akan melakukannya padaku...) Um...." Caise berusaha mengendalikan pikirannya, tapi ia tak bisa menahan tatapannya pada Leo. Pria itu terlihat begitu menawan dari jarak sedekat ini; wajahnya tampak lebih dewasa dengan sorot mata yang tenang, tubuhnya yang tampak bugar semakin terlihat dari dekat. "Wajahmu terlihat lebih dewasa... dan tubuhmu terlihat sangat bugar... Aku beruntung jika kau yang menjadi pertama untukku," Caise menatap Leo dengan lembut, kata-katanya menggantung di udara dengan penuh harapan.
Leo yang mendengar itu hanya tersenyum kecil, namun tatapan di matanya semakin dalam. "Kau sungguh gadis yang ditakdirkan untukku, Caise," bisiknya, sebelum ia mendekatkan bibirnya pada bibir Caise. Sentuhan itu lembut namun penuh perasaan, membuat Caise terbuai seakan dunia di sekelilingnya menghilang, hanya ada dirinya dan Leo dalam momen ini.
Namun, keheningan yang indah itu tiba-tiba pecah ketika alarm ponsel Caise berbunyi nyaring. Suara itu seakan menariknya kembali ke dunia nyata. "Oh astaga, aku akan terlambat!!" serunya dengan panik, dan seketika ia menarik diri dari Leo. Dia langsung keluar dari mobil dengan terburu-buru, wajahnya masih sedikit memerah.
Leo hanya bisa menghela napas dan membuka jendela mobilnya dengan ekspresi kesal. Tatapannya mengikuti langkah Caise yang berjalan cepat menuju pintu rumah sakit. Melihat wajah Leo yang kesal, Caise malah tersenyum kecil, sedikit merasa geli. "Hehe... em... aku akan pulang nanti malam... jadi jangan khawatir...." Tatapnya yang gugup memperlihatkan bahwa ia tahu Leo agak kecewa.
Melihat Leo yang masih terdiam, Caise dengan spontan mencari cara untuk mengembalikan suasana hati Leo. Ia mendekat, dan dengan cepat mencium bibir Leo, sebuah ciuman singkat namun penuh arti. Mata Leo seketika melebar, tak menyangka Caise akan melakukan itu, dan tatapan bingungnya perlahan berubah menjadi senyuman.
Caise tersenyum malu sambil melangkah mundur. "Jadi, sampai jumpa...." ucapnya dengan suara lembut, sebelum berbalik dan berlari menuju pintu rumah sakit, meninggalkan Leo yang masih terdiam di tempatnya, merenungi ciuman singkat yang tak diduganya itu.