Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 61 - Chapter 61 Membujuk

Chapter 61 - Chapter 61 Membujuk

"Kalau begitu, ikutlah denganku, Caise. Aku akan membawamu pada Leo," kata Noah dengan nada yang penuh keyakinan. "Aku ingin kau membuatnya tertarik lagi padamu, meskipun dari awal ia belum pernah melupakan perasaan itu. Tapi jangan buat dia ragu untuk mengembalikan hubungan kalian. Aku tahu dengan adanya kehadiranmu, dia pasti bisa kembali seperti dulu... tenang saat bersamamu, dan tidak lagi mudah emosian." Suara Noah terdengar lirih, namun sarat dengan maksud baik, menciptakan nuansa persahabatan yang mendalam di antara mereka. Noah menatap Caise sejenak, mencoba meyakinkannya bahwa kesempatan ini adalah jalan bagi mereka untuk memperbaiki yang pernah retak.

Caise yang mendengar kata-kata Noah hanya terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam berbagai pemikiran dan perasaan yang saling bertubrukan. Ia menelan ludah, merasakan campuran antara keraguan dan harapan yang tiba-tiba muncul di dadanya. Setelah sejenak berpikir, ia mengangguk serius, menandakan kesediaannya untuk mengikuti Noah. Bersama-sama, mereka berjalan menyusuri jalan yang hening menuju rumah Leo.

Rumah itu berdiri megah di depan mereka, bangunan besar dengan arsitektur yang tampak kokoh dan elegan. Caise berhenti sejenak, memandang bangunan yang dulu pernah ia kunjungi namun kini terlihat begitu berbeda. Bentuknya semakin luas, dengan banyak penambahan di sana-sini yang menunjukkan sentuhan modern. Bangunan itu bukan hanya sekadar rumah; lebih tepatnya, mansion mewah dengan taman hijau yang mengelilingi dan pilar-pilar tinggi yang tampak menambah kesan megah.

Mereka pun memasuki rumah itu. Langkah-langkah kaki mereka terpantul di lantai marmer yang berkilau, memberi kesan dingin namun anggun. Noah memanggil nama Leo dengan suara yang lembut namun jelas, "Leo... kau di mana?"

Suara yang tenang dan teratur menjawab dari dalam, "Biasa...!"

Begitu suara itu menyentuh telinganya, jantung Caise berdebar hebat. Rasanya sulit dipercaya bahwa ia akan segera bertemu dengan Leo. Kekhawatiran dan kerinduan yang telah lama ia simpan seolah mendesak keluar, membuat tubuhnya sedikit gemetar. Pikirannya melayang, tapi kini, keadaan telah berubah, dan kehadirannya di sini membawa perasaan yang lebih rumit.

"Ayo..." Noah berbisik pelan, sambil menyentuh bahu Caise, membimbingnya menuju sebuah ruangan besar di ujung koridor. Pintu kantor Leo sedikit terbuka, memperlihatkan Leo yang berdiri di dekat mejanya, tampak sibuk meneliti tumpukan kertas di tangannya. Cahaya lampu dari langit-langit jatuh tepat ke arahnya, menyorot wajah Leo yang penuh konsentrasi. Kacamata yang ia kenakan membuatnya terlihat dewasa dan tenang, seolah sosok yang pernah Caise kenal telah berubah menjadi seseorang yang lebih bijak dan berwibawa.

Caise dan Noah berdiri di luar, mengintip sedikit dari celah pintu. Noah menatap Caise dengan senyum penuh pengertian, kemudian berbisik, "Aku serahkan padamu..." Suara Noah terdengar pelan namun penuh dukungan, memberikan Caise keberanian yang ia butuhkan untuk menghadapi Leo.

Caise menghela napas panjang, merasakan kepanikan dan harapan yang bercampur aduk di dadanya. Dengan perlahan, ia meraih gagang pintu, menekan dengan lembut hingga pintu itu terbuka. Hembusan udara lembut masuk, membawa aroma khas kayu dan wangi buku yang memenuhi ruangan. Caise melangkah masuk, dan pandangan Leo segera tertuju padanya. Mereka saling memandang, diam dalam hening yang panjang, seolah-olah dunia berhenti berputar hanya untuk mereka berdua.

Di tengah ketegangan itu, Caise memperhatikan Leo dengan lebih teliti. Terdapat perubahan halus pada sosoknya—garis-garis wajah yang sedikit lebih tegas, kacamata yang menggantung di hidungnya, dan cara Leo berdiri yang tampak semakin mantap.

Namun, keheningan itu segera terpecah oleh suara kecil, "Papa...." Seorang gadis kecil berlari kecil mendekati Leo, membuat Leo menoleh dengan sedikit terkejut. Gadis yang dipanggil Lilian itu berlari dengan polos, memandang Leo dengan mata berbinar, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanyalah Leo seorang. Leo pun menggendongnya dengan lembut, menahan gadis kecil itu di dadanya.

Caise hanya berdiri di tempatnya, menatap interaksi Leo dan Lilian dengan perasaan bercampur aduk. Ia ingin bicara, namun rasanya sulit menemukan kata yang tepat. Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya ia bersuara, "Mas Leo..." Panggilannya terdengar lembut, namun cukup untuk menarik perhatian Leo dan juga Lilian yang kini menatapnya dengan tatapan penasaran.

Leo terdiam sejenak, tampak berpikir dalam-dalam sebelum berkata, "Yang kau dengar tadi... itu bukan yang terjadi sebenarnya..." Nada suaranya penuh dengan kejujuran, seolah berusaha meyakinkan Caise bahwa Lilian hanya memanggilnya "Papa" tanpa ada arti yang lebih dalam. Ia ingin menjelaskan bahwa gadis kecil itu bukanlah putrinya, hanya seorang anak kecil yang kebetulan sangat dekat dengannya.

Leo berharap penjelasan itu cukup untuk membuat Caise mengerti, namun Caise hanya tersenyum kecil dan menjawab dengan tenang, "Aku tahu itu..."

Jawaban itu membuat Leo terkejut, dia memandang Caise dengan tatapan yang lebih lembut, seolah tak percaya bahwa gadis di hadapannya benar-benar bisa memahami dan menerima keadaannya tanpa ragu. Hening sejenak, dan akhirnya Caise melanjutkan, "Aku tahu semuanya, aku tahu. Jadi jangan berpikir aku kecewa dengan keadaanmu. Aku tahu kau tidak sengaja melakukannya...."

Leo mengepalkan tangannya pelan, tanda bahwa kata-kata Caise barusan menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Ia menatap ke arah lain, tampak ragu dan cemas, seolah ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. "Kenapa kau ada di sini kalau begitu?" tanyanya dengan nada yang lebih tajam, namun tatapannya tetap terarah ke sudut lain ruangan, menandakan bahwa emosi dalam dirinya bercampur aduk antara keraguan dan harapan.

Caise memandangnya dengan ragu, namun keberaniannya mulai muncul seiring ia menyusun kata-kata di dalam pikirannya. "Aku... Aku sangat ingin... kita kembali lagi... Tidak, kita memang belum berpisah, kan?" Tatapan Caise penuh harapan dan keyakinan, seperti seseorang yang takkan membiarkan apa pun menghalangi cinta yang masih ada.

Lilian yang melihat interaksi itu hanya bisa menatap mereka dengan polos, matanya penuh tanda tanya. Dengan suara lembut ia bertanya pada Leo, "Papa... siapa kakak cantik itu?" Pertanyaan sederhana itu membuat suasana sedikit lebih ringan, senyuman kecil muncul di bibir Caise sementara Leo terdiam, menatap Lilian dengan perasaan campur aduk.

Leo tidak menjawab pertanyaan itu, namun matanya tetap tertuju pada Caise. "Apa yang membuatmu berpikir hubungan kita akan kembali...?" Nada suaranya penuh keraguan, namun sorot matanya masih memancarkan rasa yang dulu pernah ada, seolah-olah ia mencoba mengatasi pertahanan terakhir dalam dirinya yang ragu untuk kembali mengulangi cerita yang sempat terhenti.

Caise yang mendengar itu menjadi kesal, alisnya bertaut tajam, dan ia menggertakkan giginya seolah berusaha menahan gejolak amarah yang semakin memuncak dalam hatinya. Tanpa banyak bicara, dia melangkah mendekat dengan cepat, tatapannya penuh ketegasan dan wajahnya menampilkan kemarahan yang nyata. Sementara itu, Noah yang memperhatikan situasi tersebut segera mengambil langkah cepat. Ia masuk ke dalam ruangan dengan langkah lembut namun pasti, mendekat ke arah Leo, yang terlihat mulai terguncang oleh kehadiran Caise. Noah mencoba mengalihkan perhatian dengan merangkul Lilian, sambil berbisik lembut, "Lilian, jangan mengganggu mereka, ya…" Ia menggendong gadis kecil itu, membuat Leo sedikit terkejut melihatnya. Leo terdiam, memperhatikan gerakan Noah dan Lilian, tetapi tatapannya segera kembali tertuju pada langkah Caise yang semakin mendekat kepadanya dengan penuh ketegangan.

Tak terduga, dalam sekejap Caise mengangkat tangannya dan menampar Leo dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, seolah menjadi manifestasi dari segala perasaan yang selama ini terpendam. Leo yang terkejut spontan memalingkan wajahnya ke samping, merasakan panas yang menyebar di pipinya yang memerah akibat tamparan tersebut. Meski rasa sakit menyelinap ke dalam tubuhnya, ia tetap diam, menahan segala emosi yang menggelegak dalam dadanya. Caise, di sisi lain, merasakan sakit di tangannya namun tetap berusaha menahan diri, memaksa tatapan tajamnya tetap tertuju pada Leo, penuh dengan kekesalan yang mendalam. "Sampai kapan kau akan bertahan! Dan sampai kapan kau berpikir aku juga bisa bertahan... Kenapa kau terus bersikap seolah-olah kau juga kuat menghadapi hal ini…?" Caise menatapnya dengan penuh keputusasaan, matanya berkilat, dan suara yang keluar terdengar serak, namun penuh ketegasan. "Asal kau tahu, aku tak bisa hidup dengan baik sejak kau pergi meninggalkanku..."

Kata-kata itu menghujam Leo, yang tampak terpaku, tak sanggup berkata-kata. Tetapi sesuatu dalam diri Caise berubah ketika ia melihat kilatan berbeda di mata Leo. Ia tertegun saat melihat tetesan air yang jatuh perlahan di pipi pria itu, tampak jelas meskipun Leo berusaha mengalihkan wajahnya. Siapa sangka, pria yang selama ini terlihat begitu tangguh dan teguh, kini menangis di depannya. Leo tak lagi berusaha menahan air matanya; ia segera meraih Caise, memeluknya dengan erat, seolah takut jika ia mengendurkan pelukannya sedikit saja, maka semua yang ada akan hilang. Caise terkejut merasakan kekuatan pelukan itu, dan perlahan-lahan, bahunya terasa basah oleh air mata Leo yang terus mengalir tanpa henti, menumpahkan segala beban yang mungkin telah ia pendam selama ini.

"Mas Leo...?" bisik Caise dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Tatapan Caise terdiam, terpaku pada pria di depannya, seakan tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Rasa takut menyelinap dalam hatinya, bertanya-tanya apakah tamparannya tadi terlalu keras bagi Leo. Namun, ia segera mengingat bahwa Leo bukan orang yang akan mudah menyerah pada rasa sakit fisik. Tampaknya, alasan tangis Leo jauh lebih dalam dari sekadar tamparan.

Dengan suara yang bergetar, Leo berbisik pada Caise, nyaris tak terdengar, namun penuh dengan kesedihan. "Kau juga bicara seolah-olah semua terasa mudah setelah aku melewati masa sakit dan kondisi yang buruk. Sejak aku meninggalkanmu, kondisiku juga sangat buruk. Aku tak bisa melupakanmu... maafkan aku, Caise..." Ia memohon dengan lirih, suaranya terdengar rapuh, jauh dari kesan kuat yang biasanya ia tampilkan, seolah-olah semua tameng yang biasa ia kenakan kini runtuh di depan wanita yang pernah – dan mungkin masih – ia cintai. Permohonan itu membuat wajah Caise perlahan berubah menjadi lebih tenang, seakan semua kemarahan yang tadi memuncak mulai mereda dengan perlahan.

"Ini, baik-baik saja... aku tahu itu..." bisik Caise sambil mengulurkan tangannya, mengelus perlahan punggung Leo dengan penuh kelembutan, mencoba menenangkan pria yang saat ini terlihat begitu rapuh dalam pelukannya.

Noah yang membawa Lilian keluar dari ruangan itu berusaha mundur perlahan, menjaga suasana agar tidak mengganggu keintiman yang terbentuk di antara mereka. "Noah... kenapa?" tanya Lilian dengan suara polos, memandang Noah dengan tatapan penasaran.

Noah tersenyum tipis, menatap Lilian dengan sabar dan menjawab, "Apa kamu tahu, itu adalah Nona Caise… mereka memang patut menjalin hubungan…" Nada suaranya lembut dan penuh perhatian, berusaha menjelaskan sesuatu yang mungkin terlalu rumit untuk dipahami gadis kecil itu. Lilian hanya terdiam, memikirkan kata-kata Noah sambil terus menatap kosong ke arah ruangan tempat Caise dan Leo berada.