Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 62 - Chapter 62 Sentuhan Lembut

Chapter 62 - Chapter 62 Sentuhan Lembut

Sementara di dalam, Leo melepas kacamatanya perlahan, pandangannya kini tertuju penuh pada wajah Caise. Mata Caise menatap ke atas, penuh dengan harapan dan kerinduan yang tak terselubung. Leo melihat setiap detail di wajah itu — cara bibirnya sedikit terbuka, sorot matanya yang berkilau dalam sorotan cahaya redup, menambah kesan sendu namun hangat di antara mereka. "Aku akan senang," suara Caise terdengar bergetar, dipenuhi kejujuran yang menyentuh. "Aku akan baik-baik saja... aku akan tenang, jika kamu mau menjagaku lagi, jika kamu mau bersamaku, jika kamu mau menghabiskan waktu denganku..."

Leo hanya terdiam sejenak, mendengar kalimat yang terucap itu seperti merasakan dentuman kecil di dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia meraih wajah Caise, mendekatkan bibirnya dan menutup celah di antara mereka dengan sebuah ciuman yang begitu lembut namun sarat emosi.

Mata Caise terbelalak terkejut, namun, tanpa ragu ia menerima ciuman itu, mengizinkan dirinya terhanyut dalam kehangatan yang tak terlupakan. Ciuman mereka seolah berbicara lebih dari kata-kata, membawa mereka dalam perasaan yang perlahan menghapus jarak di antara keduanya, membangun kembali jembatan yang telah lama hancur.

Ketika ciuman itu berakhir, Leo menatap wajah Caise yang kini tenang, matanya masih terpejam. Ia mengulurkan tangannya, membelai lembut helaian rambut Caise yang terjatuh di sisi wajahnya. Rambut itu terasa halus di antara jari-jarinya, seperti benang sutra yang rapuh, namun memiliki kekuatan untuk menghubungkannya dengan seseorang yang begitu dalam ia rindukan. Ia lalu menundukkan kepalanya dan mengecup kening Caise dengan penuh sayang, lalu berlanjut menyusuri wajahnya dengan bibirnya, meninggalkan jejak-jejak cinta yang terasa hangat.

Caise memegang pipi Leo, merasakan tekstur kulitnya yang sedikit kasar namun hangat. Tangannya bergetar saat ia mengusap di bawah mata Leo, area yang dulu dihiasi oleh tato matahari. Kini, wajah itu tampak polos, seakan menceritakan perjalanan panjang dan penderitaan yang telah ia lewati. "Kau pasti sangat menderita melewati semua ini..." bisik Caise dengan lirih, seolah memahami beban yang disimpan Leo selama ini.

Leo menatap dalam ke arah Caise, sorot matanya dalam dan penuh ketenangan yang jarang terlihat. "Aku tahu... kau juga," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, namun membawa bobot emosi yang dalam. Tatapan mereka bertemu lagi, lalu secara alami, mereka kembali terhanyut dalam ciuman yang penuh makna. Ciuman itu terasa dalam dan mendalam, seakan menjadi penyembuh luka di antara mereka, menghapuskan kepedihan yang telah terpendam.

Namun, di balik keintiman itu, ada ketegangan baru yang timbul ketika Leo menunduk mendekati Caise. Caise bisa merasakan hembusan napasnya yang semakin cepat dan tidak teratur, seolah hasrat yang terpendam dalam dirinya mulai muncul ke permukaan. Leo perlahan menekan tubuh Caise hingga jatuh lembut di atas sofa empuk di belakang mereka. Dengan wajah yang memerah, Caise menatap Leo yang kini berada di atasnya. Ada intensitas di mata Leo, sorot tajam yang memancarkan keinginan yang hampir mendominasi, gigi tajamnya terlihat mengintip di antara bibirnya, dan napasnya yang berat membuat suasana semakin memanas.

Tatapan Leo begitu dalam dan membara, seolah-olah ia adalah seekor harimau yang siap memangsa, namun tetap dengan perasaan hati-hati. Caise mulai menyadari perubahan ini, pikirannya melayang pada kemungkinan yang membuat hatinya berdegup lebih cepat. "(Apa dia... mengalami faktor sindrom buas?)" Ia terdiam sejenak, terhanyut dalam kekhawatiran dan hasrat yang bercampur aduk dalam dirinya.

Meskipun begitu, Caise mencoba menenangkan Leo, memegang lehernya dengan lembut, menarik Leo agar mendekat ke lehernya. "Ini... baik-baik saja... lakukanlah," katanya dengan suara bergetar, memberikan izin yang ditunggu-tunggu Leo. Seketika, Leo membuka mulutnya lebih lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang mulai menggigit leher Caise dengan perlahan. Rasa nyeri yang mendalam menyelinap di lehernya, namun Caise mencoba menahan rasa sakit itu, membiarkan Leo larut dalam hasratnya.

Tepat saat Leo melepas gigitan itu, ia berbisik dengan suara rendah, "Kau... sangat enak..." Matanya yang tajam kini berubah lembut, menatap bekas gigitan di leher Caise yang mulai membiru. Ia lalu menjilat lembut bekas luka itu, menghapus sisa rasa sakit yang tertinggal, membuat Caise merasakan sentuhan yang hangat namun intens hingga menyentaknya dengan perasaan aneh.

Namun, kebersamaan mereka terganggu oleh suara kecil dari luar pintu. "Papa!" Suara itu membuat Leo segera tersadar dan menoleh ke arah pintu. Tak lama, terdengar suara Noah dari luar, "Hei, apa yang aku katakan, jangan mengganggu mereka..." sepertinya tak sengaja membiarkan Lilian berdiri di depan pintu, menyebabkan Leo langsung menahan diri.

Leo menatap Caise, perasaan bersalah menggelayut di matanya saat melihat Caise yang kini bernapas terengah, berkeringat, dan masih merasa sakit di lehernya. Ia mengulurkan tangan, memegang leher Caise dengan hati-hati. "Maafkan aku..." katanya dengan lirih. Kemudian ia berdiri, berjalan menuju sebuah rak di sisi ruangan. Caise hanya bisa duduk, terdiam menunggu.

Tak lama kemudian, Leo kembali dengan sebuah kotak obat di tangannya. Ia duduk di samping Caise, membuka kotak itu, dan perlahan mulai mengobati leher Caise yang terluka. Gerakan tangannya begitu lembut, penuh perhatian, membuat Caise merasa tenang meskipun rasa sakit di lehernya masih terasa.

"(Sentuhannya memang lembut... sangat lembut, meskipun aku merasakan sakit di leherku... Layaknya seekor harimau yang baru saja menerkamku, meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tapi harimau yang satu ini berbeda... dengan akal sehatnya, ia merasa bersalah dan mengobatiku...)" pikir Caise, merasa hangat oleh perhatian tak terduga yang diberikan Leo padanya.

Setelah luka di leher Caise diobati dengan hati-hati, Caise mengangkat tangannya dan dengan lembut menyentuh pipi Leo. Sentuhannya penuh kehangatan, seolah ingin memastikan Leo baik-baik saja setelah kejadian sebelumnya. Di pipi itu, bekas tamparan yang tadinya berwarna kemerahan kini sudah memudar, menandakan waktu yang mengalir tenang di antara mereka. Leo, yang merasakan kelembutan dari tangan Caise, perlahan mengulurkan tangannya, menyentuhnya kembali dengan penuh rasa. Ia menatap Caise dengan dalam, lalu tanpa ragu, dia mengecup tangannya, membiarkan Caise menyentuh seluruh wajahnya, memberikan ruang untuk kedekatan yang perlahan pulih di antara mereka.

"Kita… benar-benar kembali, kan?" tanya Caise dengan tatapan yang dipenuhi keraguan sekaligus harapan. Matanya sedikit bergetar, mengungkapkan rasa takut yang tertahan. Leo, yang mendengar kata-katanya, merespons dengan tatapan penuh makna. Dengan lembut, dia meraih pipi Caise, menyelipkan helaian rambutnya yang sedikit kusut, memberikan sentuhan yang begitu hati-hati, seolah takut memecahkan momen berharga ini. Dia mengangguk pelan, tanpa kata-kata, tetapi cukup untuk membuat hati Caise meluap dengan kebahagiaan. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya, seakan dunia hanya milik mereka berdua.

Seketika, Caise memeluk Leo erat-erat, membiarkan perasaan yang telah lama terpendam mengalir bebas. Leo, yang terkejut, merangkulnya erat, membiarkan Caise bersandar di pangkuannya. Keintiman yang tercipta begitu hangat, membuat keduanya merasa aman. Caise bahkan mengelus kepala Leo, seakan ingin menunjukkan betapa ia peduli dan ingin selalu berada di sisinya.

Namun, suasana itu mendadak terusik. Terdengar bunyi pintu terbuka pelan, dan Lilian muncul dengan wajah yang penuh kepolosan. "Papa…" panggilnya dengan suara kecil namun menggemaskan.

Caise terkejut, dan seketika itu pula dia menjauh dari Leo. Rasa malunya begitu jelas tergambar di wajahnya yang mulai memerah. Ia cepat-cepat beranjak dari Leo dan duduk di sofa lain, mencoba mengalihkan pandangan, tetapi canggung yang ia rasakan tak bisa disembunyikan. Sementara itu, Leo memalingkan wajahnya ke arah Lilian, menatapnya dengan tajam. Ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit rasa kesal, seakan kehadiran Lilian cukup mengganggu momen indah yang baru saja mereka rasakan.

Tak lama kemudian, Noah datang dengan langkah tergesa, tampak panik dan canggung. "Ah... hahaha... maaf ya, dia memang sangat sulit diatur. Ayo, Lilian, jangan mengganggu mereka..." katanya dengan senyum kikuk, sambil mencoba mengarahkan Lilian untuk keluar dari ruangan.

Namun, Lilian tetap berdiri di sana, menatap ayahnya dengan wajah penasaran. Tanpa rasa takut atau sungkan, dia mendekati Leo, seakan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Noah terdiam, tampak tak berdaya dengan situasi yang dihadapinya. Leo hanya menghela napas panjang, lalu dengan suara lembut berkata, "Biarkan saja..."

Perintah itu membuat Noah akhirnya mundur perlahan, memberikan ruang kepada mereka bertiga. Noah terlihat sedikit ragu saat menutup pintu, tetapi akhirnya memilih untuk membiarkan Lilian tetap berada di ruangan itu.

Lilian yang berdiri di samping Leo, menatap Caise yang kini terlihat canggung dengan ekspresi penuh tanya di wajahnya. "Papa… siapa kakak cantik itu?" tanyanya dengan suara polos, tanpa menyadari situasi canggung yang ada.

Senyum kecil kembali muncul di wajah Caise. Tingkah Lilian yang polos itu membuatnya merasa terhibur, bahkan dalam situasi yang agak janggal ini. Leo menatap Lilian, lalu dengan hati-hati menjawab, "Dia…" dengan nada ragu, seolah mempertimbangkan kata-katanya agar tidak mengecewakan atau membuat Caise salah paham.

Namun, Lilian, dengan rasa ingin tahunya yang besar, bertanya lagi. "Noah bilang dia adalah pasangan Papa... jadi, apakah aku harus memanggilnya Mama?" tanyanya dengan polos, seolah itu hal yang biasa.

Seketika wajah Caise memerah, begitu juga Leo yang terlihat terkejut. Namun, Leo hanya mengalihkan pandangannya sedikit, menahan rasa canggung dan mencoba mengendalikan diri. "Bicara apa kau?" katanya sambil menatap Lilian dengan sedikit kesal, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Namun, Caise tiba-tiba menahan tangan Leo, menatapnya dengan tatapan lembut. Ekspresi wajahnya yang malu-malu membuat Leo terdiam. Kemudian, dengan suara pelan dan ragu, Caise berkata, "Ini… tidak apa-apa. Karena kita memang menjalin hubungan, jadi tidak masalah…" ucapnya dengan penuh ketulusan, membuat Leo terdiam dalam kebingungan.

Leo akhirnya menghela napas panjang, memalingkan wajahnya kembali ke Lilian, lalu berkata, "Baiklah, dia sekarang Mamamu. Sayangi dia…" dengan suara lembut, namun jelas.

Namun, Caise kembali terkejut, mengangkat tangannya dengan panik. "Tunggu, apa? Aku tak bilang dia harus menganggapku begitu. Aku hanya membiarkannya memanggilku begitu saja…" ucapnya sambil menahan rasa gugup yang makin membuncah.

Namun, Lilian sudah tersenyum lebar. "Mama!!" panggilnya dengan penuh semangat, membuat hati Caise bergetar. Panggilan itu membangkitkan perasaan dalam diri Caise, membuatnya sadar bahwa mungkin kini adalah saatnya ia menerima peran baru yang lebih dewasa dan penuh tanggung jawab.

"(Dan begitulah masalahku terselesaikan, kisah hubungan kami dimulai dari awal lagi.)"