"(Sejak saat itu, aku kembali menjalin hubungan dengan seseorang yang benar-benar mencintaiku. Rasanya seperti menemukan kembali bagian yang hilang, meskipun aku tahu perjalanan ini tidak sepenuhnya mudah. Ada kerumitan yang datang bersama setiap interaksi, namun akhirnya kita bisa mengobrol seperti dulu, seolah tak pernah ada jarak di antara kita. Jika sebelumnya aku sudah tak mampu merawat kucing, Mas Leo dengan senang hati mengambil alih tanggung jawab itu. Dia menjemput kembali kucing-kucingku yang dulu berada di penampungan hewan, memindahkan mereka ke rumahnya yang hangat dan luas.
Aku masih ingat kucing yang pernah kami temukan bersama—seekor kucing kecil dengan bulu kusam yang saat itu tampak lemah. Sekarang, kucing itu tampak sangat sehat di rumah Mas Leo, bergerak lincah seolah merayakan kebebasannya di sana. Dan kucing-kucing lainnya... mereka berkeliaran dengan bebas di mansion besar yang terasa seperti sebuah kerajaan kecil bagi mereka. Aku merasakan kelegaan yang mendalam; Leo sungguh-sungguh merawat mereka, memberinya perhatian yang penuh kasih sayang. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat kucing-kucing itu hidup nyaman dan damai, diperlakukan seperti bagian dari keluarga.
Tak hanya itu, kami sering menghabiskan waktu bersama. Dia selalu memintaku menemaninya di kantor, dan di sana, aku bisa melihat dirinya dalam sisi yang jarang kulihat. Sebagai seorang profesional, serius dengan pekerjaannya. Rasanya ada aura ketenangan sekaligus tanggung jawab yang besar dalam setiap gerak-geriknya.)" Caise duduk di sofa yang sedikit berjauhan, tatapannya tertuju pada Leo. Ada kelembutan dalam matanya saat mengamati pria yang selalu serius bekerja, tenggelam di antara tumpukan kertas dan dokumen di meja kerjanya. Leo duduk tenang dengan sikap penuh wibawa, kacamatanya terpasang rapi, sementara jarinya sesekali bergerak lincah mencoret-coret berkas.
Setiap kali Leo menyadari tatapan Caise, dia menoleh sejenak. Senyum kecil mengembang di wajahnya, dan perlahan, dia melepas kacamatanya, menatap Caise dengan kelembutan yang mungkin hanya Caise yang pernah merasakannya. "Kenapa, Caise? Kamu ingin sesuatu?" tanyanya dengan nada yang lembut dan suara yang dalam, menyiratkan kehangatan sekaligus rasa perhatian yang tak pernah pudar.
Caise hanya tertawa kecil. "Tidak ada," jawabnya sambil tersenyum, "Aku hanya melihat wajahmu yang semakin dewasa... Sepertinya kamu benar-benar serius dengan pekerjaanmu. Apa itu urusan soal geng-geng lain? Mas Leo ingin bertarung dengan mereka?" tatapannya berubah penasaran, memperhatikan Leo lebih dalam.
Leo hanya diam sejenak, pandangannya menerawang ke kejauhan, lalu ia menarik napas panjang, terdengar seperti berat. "Aku sudah berhenti dari hobi itu..." jawabnya akhirnya dengan suara yang tenang, nyaris datar.
Caise terperanjat, keterkejutannya begitu jelas terlihat. "Eh, kenapa aku baru tahu?" tanyanya dengan nada penasaran, alisnya sedikit berkerut. Namun, kemudian ekspresinya berubah menjadi lebih tenang. "Kenapa begitu? Apa Mas Leo benar-benar sudah berada di jalan yang baik?" Kali ini, ada nada haru dalam suaranya.
Leo hanya tersenyum tipis, lalu ia menggeleng pelan. "...Tidak juga... Aku sangat sibuk sekarang. Ada begitu banyak kontrak yang harus kutandatangani, begitu banyak keputusan bisnis yang harus kupikirkan. Noah sudah tidak lagi membantuku, dia lebih memilih merawat Lilian, dan itu membuat pekerjaanku menjadi dua kali lipat lebih berat."
Caise diam mendengar pengakuannya, ada rasa kasihan yang membayang di hatinya. "(Mas Leo... Kenapa semua ini harus menjadi beban untukmu? Kamu terlihat lelah, meski selalu berusaha menyembunyikannya...)" pikirnya dalam hati.
Leo tampak tersenyum tipis lagi, seolah berusaha untuk menguatkan dirinya. "Tapi semua ini baik-baik saja, selama kamu ada di sini... Aku jadi lebih semangat melakukan apa pun." Suaranya mengalir lembut, mencoba menenangkan hati Caise yang tampak masih khawatir.
Namun, kekhawatiran di wajah Caise belum sepenuhnya hilang. Dia menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan perasaan takut yang mulai menyusup di hatinya. "Mas Leo... Apa kau tidak khawatir jika mereka yang dulu selalu bertarung denganmu, suatu hari kembali mencarimu? Mereka pasti tidak akan tinggal diam, apalagi jika mereka mengincar orang-orang yang dekat denganmu, termasuk Lilian... Gadis kecil itu masih polos dan butuh lingkungan yang baik untuk bertumbuh. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya... aku tak tahu apa yang bisa kulakukan." Suaranya melembut, ada kecemasan yang begitu nyata di matanya.
Leo mengangguk pelan, pandangannya menjadi serius, seolah tengah merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi. "Caise... Aku sudah berusaha untuk menutupinya, untuk menjaga Lilian dari semua ini. Setelah aku berhasil menyembunyikan keberadaannya, aku berencana mencari informasi di tempat orang-orang yang terlibat berada... Aku hanya perlu mengumpulkan cukup bukti dan riset, agar saat aku pergi nanti, semuanya bisa berjalan dengan baik tanpa kendala."
"Apa maksudmu pergi? Mas Leo akan ke mana?" Caise bertanya penuh kekhawatiran, matanya memandang Leo tanpa berkedip.
Tanpa banyak kata, Leo mengambil sebuah peta dan meletakkannya di meja depan Caise, lalu berlutut untuk membuka peta itu dan menunjukkan bagian yang dimaksudnya. Tatapan Leo penuh konsentrasi, seolah memindai setiap garis dan titik di peta dengan hati-hati.
"Ini adalah wilayah terdekat dengan kota yang kita tempati sekarang. Tapi di sini..." Leo menunjuk bagian paling ujung peta, wajahnya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, sementara Caise menunggu penjelasannya dengan jantung berdegup kencang.
"Ini adalah distrik barat, tempat paling dekat dengan laboratorium yang terletak di tengah hutan tersembunyi. Distrik ini adalah tempat yang paling ilegal, karena banyak imigran liar tinggal di sana. Senjata dan obat-obatan beredar bebas, diperjualbelikan tanpa batasan hukum. Orang-orang yang tinggal di sana kebanyakan adalah kaum ilegal yang bertahan hidup di antara kesulitan dan bahaya. Ada pula sebagian kecil orang biasa, mereka yang hidup terpaksa di sana, terjebak dalam kerasnya kehidupan distrik yang gelap dan tak manusiawi. Setiap hari, mayat harus dibersihkan dari jalanan, bangunan-bangunan tua dan roboh berdiri seperti kuburan hidup." Leo berkata dengan nada serius, setiap kata yang diucapkannya terdengar seperti kenyataan pahit yang tak terhindarkan.
Caise mendengarkan dengan saksama, setiap kata dari Leo terasa seperti membuka lembaran baru yang tak pernah ia ketahui. Leo tahu betul tentang tempat ini, dan bahkan, ia seperti bagian dari kehidupan keras di distrik itu.
"Aku harus pergi ke sini, bagaimanapun juga Lilian yang tahu jalannya, jadi dia ikut denganku…" Leo menambahkan, suaranya terdengar tenang tapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Tatapannya tajam, seolah memandang jauh ke dalam sesuatu yang sulit dijangkau, seperti rahasia kelam yang lama ia sembunyikan.
Caise terperanjat, matanya melebar dengan kecemasan yang semakin tak terbendung. "Jadi… Kau akan bertarung dengan banyak orang ilegal itu! Mereka punya senjata. Apa kau berpikir kau bisa melawan mereka?" Suaranya penuh kepanikan, bergetar halus seiring dengan napasnya yang berat.
Leo hanya diam, tatapannya jatuh pada lantai di depannya sejenak sebelum ia menghela napas panjang, seolah menimbang-nimbang jawaban yang akan ia berikan. "Sebenarnya, aku lahir di sana..." ucapnya pelan namun mantap, sorot matanya beralih ke arah Caise yang kini mematung, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kau... Apa?" Caise nyaris berbisik, suaranya bergetar, jelas menandakan keterkejutannya. Wajahnya memucat, seolah belum mampu menerima kenyataan baru ini.
"Aku lahir dan dibuang di sana! Setelah hampir mati, aku dirawat oleh orang-orang yang menuntutku menyesuaikan diri dengan lingkungan itu." Leo berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan cerita yang pahit itu. "Kemudian, setelah keluargaku tahu aku bisa bertahan hidup sampai tubuhku sehat, mereka ingin membujukku kembali… Tentu saja aku tidak mau…" Nadanya terdengar pahit, tapi ada juga kegetiran yang terpendam dalam kata-katanya. Ia menatap tangan Caise yang gemetar dan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Caise dengan lembut namun mantap, seperti ingin meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.
Dalam genggaman Leo, Caise merasa ada sesuatu yang kuat, bahkan mungkin terlalu kuat untuk sosok pria yang selama ini ia kenal. Caise terdiam, sorot matanya menyapu wajah Leo yang begitu tenang, meski cerita di balik ketenangan itu sungguh memilukan. Seolah menyadari betapa banyak luka tersembunyi yang dibawa Leo, ia mencoba untuk tidak menunjukkan keterkejutannya lebih jauh, tapi matanya yang berkaca-kaca sulit disembunyikan.
"Mas Leo... Sepertinya, aku belum mengetahui semuanya tentangmu, bahkan hampir semuanya..." Caise bergumam pelan, seolah setiap kata keluar dari hatinya yang diliputi rasa iba. "Aku tak tahu bagaimana kau menderita, dan aku tak tahu bagaimana kau bisa menerima dirimu sendiri... Layaknya kau ditinggalkan indukmu, lalu hanya bisa memakan tanah dan meminum air hujan... Kau benar-benar pria yang kuat..." Dengan penuh perasaan, Caise membelai pelan pipi Leo, menatap pria di hadapannya dengan kelembutan yang penuh kasih, seolah belaian itu bisa menghapus luka yang tersembunyi di dalam hati Leo. Tatapannya begitu dalam, seakan ingin memastikan bahwa Leo tahu betapa ia peduli dan mengerti akan beratnya kehidupan yang pernah Leo lalui.
Leo menutup mata sejenak, merasakan kelembutan tangan Caise menyentuh pipinya, lalu membuka matanya kembali, menatap Caise dengan tatapan penuh syukur yang jarang terlihat. Perlahan, ia mendekat dan mencium pipi Caise dengan kelembutan yang dalam, seolah ingin menyampaikan bahwa meski hidupnya penuh kesulitan, ia merasa beruntung memiliki Caise di sisinya.
"Kau juga kuat, Caise…" suaranya mengalun lembut, menatap Caise dengan kehangatan yang begitu tulus. Di dalam sorot mata Leo, Caise melihat bayangan seseorang yang telah lama menyimpan luka, namun berhasil melaluinya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Caise tersenyum lembut, meski dalam hatinya masih tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu bahwa rencana Leo mungkin berbahaya, namun ia tak ingin menambah beban pikiran pria yang ia sayangi. Perlahan, ia melingkarkan kedua lengannya, memeluk Leo dengan erat, merasakan detak jantungnya yang stabil, seolah menjadi pengingat bahwa meski dunia mereka begitu keras, mereka masih memiliki satu sama lain.
"Kalau begitu, aku akan pergi bekerja…" bisik Caise perlahan, memandang Leo dengan tatapan yang mencoba tegar.
"Aku akan mengantar..." tanpa ragu Leo langsung menyarankan, membuat Caise tersenyum kecil. Meski ia tahu Leo khawatir, ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Caise mengangguk, merasa bahwa setiap detik bersama Leo adalah kehangatan yang mampu meringankan segala kecemasan di hatinya.