Malam itu terasa begitu sunyi. Langit malam menyelimuti kota dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara angin yang menggesek ranting-ranting kering. Lampu-lampu jalan yang suram tampak berusaha melawan kegelapan, namun sinarnya tak cukup untuk menembus bayangan gelap di lorong-lorong sempit. Udara dingin menambah beban di pundak Caise yang baru saja pulang dari rumah sakit. Ia telah bekerja sepanjang hari hingga waktu menunjukkan lewat tengah malam. Mata lelahnya berusaha tetap terbuka, namun langkahnya terlihat berat, seperti menahan semua rasa penat dan kelelahan yang tak terkatakan.
"(Kenapa aku harus begini, bukankah aku harusnya menikmati masa-masa di mana dua burung saling bertemu satu sama lain dan menjalin cinta bersama. Tapi ini semua berbeda, aku harus menguatkan waktuku hanya untuk pekerjaanku, memangnya untuk apa aku mencapai cita-citaku, tak ada yang harus dipamerkan, siapa yang mau mendengarkanku...)" pikirnya di tengah malam yang sepi. Pandangannya menatap ke bawah, melewati jalanan basah yang memantulkan cahaya lampu kota. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, ada kesedihan yang menggumpal dan tertahan.
Dari sudut matanya, Caise melihat sosok yang tak asing baginya. Di kejauhan, di bawah cahaya neon dari sebuah bar yang tampak kontras dengan sekitar, berdirilah Leo. Pria itu tampak rapi, berpakaian hitam elegan, kontras dengan lingkungan sekitar yang kotor dan lusuh. Asap rokok mengepul dari mulutnya, menciptakan garis tipis yang seolah memudar bersama angin malam. Dengan gerakan santai, Leo menjatuhkan rokoknya ke trotoar, menginjaknya hingga padam.
Caise berhenti, bersembunyi di balik bayangan gedung, mencoba memastikan bahwa yang dilihatnya benar-benar Leo. Jantungnya berdetak lebih cepat. Sosok Leo adalah sesuatu yang mengingatkan Caise pada banyak hal yang telah berubah. Namun, sosok lain muncul di sudut pandangnya—Noah. Wajahnya tampak lebih dewasa dan keras dibandingkan dulu. Meski mengikuti Leo, Noah tidak masuk ke bar, ia tetap di depan pintu dan mengobrol dengan seseorang yang tak terlihat dari sudut pandang Caise. Leo, di sisi lain, melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, berada tak jauh dari tempat Noah berdiri.
"(Ah, itu Mas Leo... Haruskah aku... Menyapanya...? Dia tampak sangat sibuk...)" Caise merenung sejenak, ragu-ragu di bawah bayang-bayang gedung yang tinggi. Meski tubuhnya lelah, ada dorongan dalam dirinya untuk mendekati Leo, mungkin hanya untuk menyapa atau sekadar memastikan bahwa Leo benar-benar ada di sana. Dengan langkah tergesa, ia mulai mendekat, namun suaranya terhenti di tenggorokan ketika sebuah suara kecil melintasi udara malam, terdengar dari arah bar yang dilewati Noah.
"Papa, tunggu!" Suara itu adalah milik seorang gadis kecil, suaranya penuh harapan namun terdengar rapuh di tengah malam. Gadis itu berlari dengan langkah-langkah pendek, mendekati Leo yang kini menoleh ke arahnya. Rambutnya perak panjang berkilauan di bawah cahaya lampu, mata emasnya bersinar dalam kegelapan malam. Leo tampak datar, tetapi ada sekilas kelembutan saat ia membungkuk untuk menggendong gadis kecil itu, meski hanya sebentar.
Namun, Leo berhenti sejenak, mencium aroma yang berbeda di udara, aroma yang membuatnya waspada. Ia menoleh ke arah di mana Caise tadi berdiri, matanya menembus gelap, mencari sesuatu. Bagi Caise, detik-detik itu terasa begitu lama, seperti sedang bersembunyi dari sesuatu yang tak ia inginkan untuk dilihat.
Leo terdiam sejenak, tatapannya tajam ke arah bayangan di lorong. Gadis kecil itu menatapnya, bingung dengan perubahan ekspresi ayahnya. "Papa?" suara mungilnya terdengar, memanggil Leo dengan penuh rasa ingin tahu, meski tatapan gadis itu tetap polos dan lugu.
Leo menggeleng pelan, mengesampingkan kecurigaan di benaknya. Ia hanya kembali serius, lalu meraih pintu mobilnya dan membukanya. Dengan cekatan, ia masuk ke dalam mobil, diikuti Noah yang masih tampak asyik berbincang dengan orang yang tak jelas identitasnya. Ketiganya akhirnya menghilang, meninggalkan jalanan malam yang kembali sepi, hanya menyisakan suara mesin mobil yang berlalu dan angin yang berdesir pelan.
Di kejauhan, di lorong gelap yang hanya diterangi remang lampu jalan, Caise terduduk dengan tubuh gemetar. Kedua tangannya meremas baju putih yang masih terpakai dari operasinya, menekan keras ke dada yang terasa sesak. Air mata mengalir deras tanpa mampu ia tahan. Malam itu menjadi saksi bisu dari perasaan yang meledak dalam dirinya—sebuah rasa yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini muncul kembali dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.
"(Kenapa.... Kenapa.... Jadi, itu yang dia maksud.... Menyembunyikan semua ini hanya dengan alasan kondisinya memburuk.... Sudah jelas aku melihat semuanya, kenapa ini begitu menyakitkan....)" ia memegang dadanya dengan sangat gemetar tak percaya.
"(Dimana kata kata yang kau ucapkan itu?!)" Ia mengingat sesuatu soal kebersamaan Leo dari 3 tahun yang lalu. Mereka memang selalu membahas hal yang hangat masing masing.
--
"Caise... Aku sangat senang jika bertemu denganmu," kata Leo yang saat itu ada di dalam apartemen Caise, mungkin di saat itu Leo baru saja pergi jauh karena pekerjaan nya tapi ia menyempatkan waktunya di tempat Caise.
Caise menengadah menatap, lalu ia terharu dan mendorong Leo. "Mas Leo... Aku juga senang bertemu denganmu." Dia memeluk Leo, membuat Leo terdorong dan jatuh duduk.
"(Oh dia gadis yang kuat.)"
"Aku benar-benar merindukan kehangatanmu, aku ingin selalu merasakan hal ini," Caise masih memeluk Leo sambil duduk di pangkuan Leo.
"Aku sangat kecewa jika harus pergi jauh meninggalkan mu, bagaimanapun juga ini pekerjaan ku, aku juga tak akan membiarkan orang lain mengaku sebagai kekasihmu," tatap Leo yang memasang wajah khawatir. Caise menggeleng sambil tersenyum, memegang pipi Leo. "Tidak... Mas Leo yang kekasihku."
"Jadi, kau memang bisa membaca mimpi..." Leo menyilakkan rambut Caise yang jadi diam tapi dia kemudian mengangguk perlahan.
"Lalu kenapa kau tidak bilang kau memiliki kemampuan seperti itu, kenapa kau tidak langsung menangkapku saja dan mengadukannya pada dia?"
"Mas Leo... Itu jika aku tidak mengenalmu. Dari awal aku mengenalmu, Mas Leo, dari sifatmu yang membuatku sangat senang. Kau berhasil mengabulkan permintaanku dengan memeluk harimau sepertimu," kata Caise.
"Kau menganggapku harimau, apa aku akan memakanmu?"
"Tidak, bukan seperti itu. Kau sangat hangat... Jadi, Mas Leo... Maukah kau tetap bersamaku?" tatap Caise.
Leo tersenyum dan memeluk Caise. "Harusnya aku yang bertanya begitu."
--
"(Tidak.... Tidak.... Itu bukan janji yang sangat besar!! Dia hanya melupakan hal itu!! Kita bahkan berpisah dan tidak akan bersama lagi! Kau bukan kekasihku lagi! Tapi kenapa ini rasanya sakit! Aku tak tahu selama 3 tahun ini apa yang kau lakukan! Kau benar benar pria yang buruk!!)" Caise masih menangis di tempatnya, dia bahkan tak bergerak dari tempat ia sembunyi tadi.
"(Jadi memang benar aku telah kehilangan semuanya.... Ini juga karena kelalaian ku.... Aku tak pernah mempercayai sesuatu bahkan aku menbuat pria itu bersikap sangat berbeda.... Aku yang merubahnya begitu, aku salah.... Aku salah, tapi, aku tak mau ini berakhir sangat cepat.... Aku juga ingin kembali, hanya dia yang bisa aku harapkan untuk bisa menemaniku.... Tapi kenapa....!?)"
Sejak saat itu, Caise tahu kebenarannya. "(Mas Leo, sudah menikah, dia memiliki gadis kecil yang usianya terlihat tidak ada 5 tahun... Tapi selama 3 tahun ini, siapa yang dia miliki, kita baru berpisah 3 tahun... Mungkin, aku menjadi selingkuhannya saat itu...)" Dia mulai berasumsi sendiri, pikirannya bergelut dengan berbagai kemungkinan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semakin lama, kepedihan itu mencengkeram erat hatinya hingga ia tak lagi mampu berpikir jernih. Setiap malam terasa lebih dingin, dan setiap pagi seakan tidak pernah membawa harapan baru.
Caise berubah menjadi sosok yang berbeda—senyumnya yang dulu cerah kini pudar, matanya yang dulu berbinar kini hanya menyiratkan kesedihan. Hari-hari berlalu tanpa ada yang benar-benar ia rasakan, hanya kekosongan yang seakan menyelimuti dirinya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah waktu hanya menjadi beban yang harus ia pikul. Rutinitas harian yang dulu sederhana kini berubah menjadi sesuatu yang melelahkan, seperti menyeret dirinya melalui lautan keputusasaan yang tak berujung.
Hingga ia sadar akan sesuatu saat berjalan di kota luas, matanya menelusuri keramaian yang terasa asing baginya. Dia terus melihat banyak pasangan yang berjalan di sana, saling menggenggam tangan dan bertukar tawa yang terdengar jauh di telinganya. Mulai dari orang pacaran, orang yang sudah punya keluarga, bahkan mereka yang terlihat bahagia meskipun hanya berdua. Semuanya tampak memiliki tujuan, sesuatu yang ingin mereka capai bersama.
"(Mereka berdua bahagia, sedangkan aku, sudah sendirian, tidak bahagia sama sekali... Aku tak mau berharap apa pun, aku seperti tidak memiliki sesuatu untuk dituju, aku tak bisa banyak bicara pada orang lain karena mereka bukan orang yang terdekat...)" pikirnya, tatapannya menembus keramaian dengan mata yang sendu. Pandangannya kabur oleh air mata yang ditahannya, hingga akhirnya tertuju pada mobil yang berlalu-lalang dengan cepat di jalanan. Suara klakson, mesin yang meraung, semuanya terdengar samar di telinganya, seakan dunia tidak lagi mempedulikannya.
Dia berpikir ingin menandakan diri pada mobil-mobil yang tengah berlalu-lalang, mau bagaimana lagi dia terlalu banyak pikiran. "(Itu benar, aku akhiri saja...)" Dengan pandangan kosong dia berjalan ke sana, hatinya semakin berat, tubuhnya terasa ringan, seakan dunia ini siap menghapus keberadaannya. Tapi sebelum melangkah melewati banyak orang yang tak tahu, dan dia akan berjalan ke jalanan kendaraan, tiba-tiba saja ada yang menariknya sangat cepat membuat Caise jatuh ke belakang.
"Akh!"
Beserta teriakan seseorang. "Caise!" suara yang familiar, seperti gema dari masa lalu yang lama tak ia dengar. Itu adalah Naya, teman waktu SMA-nya dulu. Naya menatapnya dengan tatapan panik, wajahnya yang dulu selalu ceria kini berubah menjadi khawatir.
Caise menatap menengadah melihat Naya yang panik. "Caise! Apa yang kau lakukan baru saja! Kau mau menabrakkan diri! Apa yang kau pikirkan sebenarnya! Kau tak mau hidup!?" Suara Naya bergetar, mencerminkan ketakutan dan kekhawatirannya yang tulus. Ia memegangi bahu Caise dengan erat, seolah takut kehilangan dirinya lagi.
Lalu Caise berdiri dan mendadak saja mengalirkan air mata, butiran-butiran bening itu jatuh tanpa bisa ia tahan lagi, membuat Naya terdiam kaku. "Caise, apa aku terlalu kasar? Punggungmu sakit?" tanya Naya dengan suara yang kini lebih lembut, sedikit gemetar.
Tapi Caise memeluknya tiba-tiba dan berbisik dengan terisak, tangisnya memecah kebisuan di antara mereka. "Hiks, kau benar... Aku tak ingin hidup... Hiks..." katanya, suaranya tenggelam di antara tangis yang tak bisa ia tahan lagi.
"Caise..." Naya tampak memasang wajah mengerti bahwa temannya mengalami sesuatu yang membuatnya menangis. Hatinya terasa nyeri melihat sahabatnya yang dulu selalu kuat, kini begitu rapuh di pelukannya. "(Ada apa dengannya? Setelah sekian lama berpisah, kami dipertemukan dengan dia yang kecewa pada hidupnya?)" pikir Naya, sambil mengusap punggung Caise yang terisak di pelukannya, berusaha memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya hati yang terluka.