Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 53 - Chapter 53 Beast Sindrom

Chapter 53 - Chapter 53 Beast Sindrom

Setelah itu, entah mengapa Leo melepaskan pelukan itu, membuat Caise terdiam. Ia merasakan kekosongan yang tiba-tiba, kehilangan kehangatan yang tadi mengalir melalui tubuhnya. Leo melangkah mundur, lalu menunduk untuk mengambil hoodie yang terjatuh di lantai. Suasana terasa berat, udara di ruangan itu seolah membeku. Leo, dengan langkah berat, berjalan menuju pintu apartemen Caise. Tangannya yang besar menggenggam erat gagang pintu, tubuhnya tampak sedikit gemetar, seolah ada sesuatu yang berat yang ingin dia katakan namun terhalang di tenggorokannya.

"Aku masih ada hal yang harus diurus..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan lelah, seperti orang yang membawa beban dunia di pundaknya. Rambutnya yang berantakan semakin kusut karena disapu oleh tangan yang gemetar. Hujan di luar jendela mulai turun, menciptakan irama yang ritmis namun menyayat hati, seolah mengiringi kepergiannya.

Namun, sebelum Leo sempat melangkah keluar, Caise mengepal tangannya dengan erat, menahan segala keraguan yang mencoba menghentikannya. Dengan tekad yang bulat, dia berlari mendekat, suara langkahnya bergema di lantai yang dingin. Tangannya yang mungil dan gemetar menangkap pergelangan tangan Leo, menahannya untuk tetap di tempat. Matanya penuh dengan air mata yang belum sepenuhnya jatuh, dan suara yang keluar darinya terdengar penuh luka.

"Kau bilang kau tidak akan lari lagi!" teriaknya, suaranya pecah di antara suara hujan di luar. Hujan mulai turun lebih deras, menciptakan suara yang memantul di dinding apartemen yang sepi. Leo terdiam, tubuhnya kaku saat menatap Caise. Matanya, yang dulu penuh dengan kekuatan dan kehidupan, kini tampak kosong dan lusuh, seperti seseorang yang telah kehilangan harapan. Tatapannya terlihat seperti lautan yang kelam, tanpa pantulan cahaya.

Leo memandang tangan Caise yang menggenggamnya erat, lalu perlahan dia meraih tangan itu, mengangkatnya ke bibirnya. Dengan lembut, dia mencium punggung tangan Caise, membuat gadis itu terkejut, tak mampu bergerak. Sentuhan itu terasa hangat namun juga menyedihkan, seolah merupakan salam perpisahan yang halus. Caise merasakan bibir Leo yang lembut namun dingin di kulitnya, dan hatinya mencelos.

Leo menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang membuat waktu seolah berhenti. "Kondisiku... semakin memburuk..." Suaranya berat, hampir tertelan oleh suara hujan yang semakin deras di luar. Caise merasakan jantungnya berdegup kencang, seakan suara itu menggema di seluruh tubuhnya. Dia mencoba memahami maksud dari kata-kata itu, namun hatinya menolak untuk percaya.

Leo menarik napas dalam-dalam, dan tatapannya menjadi semakin gelap. "Aku semakin buas, aku mengalami perubahan... Aku terkena Sindrom Buas, jadi untuk sementara... aku akan menjauh... Aku tak mau menyakitimu..." Matanya menatap Caise dengan campuran ketulusan dan keputusasaan. Dia kemudian meletakkan kembali tangan Caise dengan hati-hati, seolah melepaskan sesuatu yang sangat rapuh. Gerakannya lambat, tetapi penuh dengan penyesalan.

Hujan di luar semakin deras, menciptakan tirai air di jendela yang mengaburkan pandangan. Leo berbalik, menatap punggung Caise yang masih terpaku, tubuhnya yang mungil tampak rapuh di antara ruangan yang gelap. Langkah Leo terasa berat, seolah setiap langkah menjauh dari Caise adalah perjuangan untuk menahan dirinya agar tidak kembali ke dalam pelukan itu.

Namun, sebelum Leo benar-benar menghilang dari pandangan Caise, dia berhenti di ambang pintu, suaranya kembali terdengar, lembut namun penuh dengan kegetiran. "Jangan khawatir, ini bukan salahmu..." Hujan mengiringi ucapannya, suaranya seolah terbawa oleh angin dingin yang menerobos masuk dari pintu yang sedikit terbuka. Lalu dia melangkah keluar, dan bayangannya memudar dalam hujan malam yang semakin liar.

Caise tetap berdiri di tempatnya, seluruh tubuhnya terasa lemas, seperti seseorang yang kehilangan semua kekuatannya. Leo yang penuh kesedihan, suara seraknya yang mengucapkan kata-kata terakhir itu, semuanya terngiang di benaknya. Detik-detik berlalu, dan akhirnya, lututnya melemas. Dia jatuh berlutut di lantai, merasakan dinginnya permukaan di bawahnya. Tangannya menutupi mulutnya, berusaha menahan jeritan yang keluar bersama air mata yang mengalir deras.

"Mas Leo... (Kenapa aku tidak menyadari sesuatu seperti itu...)" pikirnya penuh penyesalan. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban besar yang menghimpit jantungnya, membuatnya sulit bernapas. Setiap tetes air mata yang jatuh dari matanya membawa rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Dia merasakan dunia seakan runtuh di sekitarnya, seolah semua dinding yang ia bangun selama ini runtuh begitu saja dengan kepergian Leo.

Hujan di luar terus turun tanpa ampun, membasahi jalanan dan membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Caise membiarkan dirinya terisak, air mata bercampur dengan isakan yang patah-patah. Rasa penyesalan membanjiri pikirannya, berputar-putar tanpa akhir, mengingatkan betapa dia telah mengabaikan tanda-tanda yang ada pada Leo. Bagaimana dia bisa tidak menyadari bahwa Leo sedang bertarung dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri?

Dia berlutut di sana, sendirian dalam kesunyian apartemen yang sepi, sementara suara hujan menjadi satu-satunya saksi kesedihannya. Bayangan punggung Leo yang menjauh terus terpatri dalam pikirannya, membuat hatinya terasa teriris. Di antara tangisannya yang pilu, dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir yang dulu mempertemukan mereka akan memberi kesempatan sekali lagi—bukan untuk menghapus luka, tapi untuk memahami satu sama lain.

Hingga hari-hari berikutnya berlalu di rumah sakit. Sejak kejadian itu, Caise kembali murung. Orang-orang di rumah sakit pun tampak heran dan bingung, padahal Caise dikenal sebagai seorang gadis yang ceria, tapi tidak untuk hari ini. Mereka tak berani mengobrol dengannya, hanya diam-diam mengobrol tentangnya pada orang lain dan menyebarkan keanehannya hari ini.

Sehingga ketika Caise selalu melewati mereka, mereka langsung saling berbisik, tapi Caise tidak mempedulikan itu karena pikiran kosongnya telah dipenuhi oleh rasa yang seharusnya dia rasakan bersama Leo.

Hingga ketika di ruangannya, dia hanya bisa duduk dan menghela napas panjang. "(Mengingat kembali soal... Sindrom Buas... Aku sebenarnya sudah mempelajarinya sangat lama...)" pikirnya.

Dia mengingat ketika dia pernah mempelajari soal beberapa sindrom yang sangat langka, bahkan sindrom yang dapat mempengaruhi kondisi yang mengalaminya.

Termasuk yang langka, yakni Sindrom Buas. Caise mengingat saat itu dia mencari buku di perpustakaan besar dan menemukan buku tebal yang berjudul *Beast Syndrome*.

Berpikir bahwa itu adalah suatu pelajaran untuk apa yang harus dia pelajari, jadi dia hanya asal mengambil dan tak disangka-sangka dia menemukan informasi baru di sana.

"Sindrom Buas, bukanlah sebuah penyakit, bukanlah sebuah virus. Tetapi di mana gangguan lingkungan membuat sindrom ini menggerogoti jiwa manusia dan menjadikannya sebagai wadah. Sindrom Buas bisa diturunkan oleh generasi dan hal ini ditunjukkan akan tanda-tanda di mana yang mengalaminya akan terlihat sangat mengerikan, layaknya hewan buas yang selalu ingin memangsa sasarannya. Dia tidak punya seseorang untuk menenangkannya, dan mereka selalu terkena gairah tinggi ketika mencium aroma yang mereka sukai..."

"Sayangnya, sindrom semacam ini hanyalah mitos yang tersembunyi, tak seorang pun tahu dan bisa mencerna setiap penjelasannya. Hanya saja masih ada saja yang mengklaim bahwa orang dengan keterbelakangan mental kemungkinan memiliki sindrom ini. Sindrom ini juga bisa disebabkan karena gigitan hewan rabies... Tapi tak ada yang bisa berakhir sampai kematian siksaan virus rabies..."

Hanya itu yang dia ketahui, dan apa yang dia baca tidaklah dapat menjelaskan apa hubungannya dengan semua ini. Dia hanya bisa berpikir dan menciptakan teorinya sendiri.

"Mas Leo... Dari pertama kali bertemu, dari beberapa kali menjalin hubungan dengannya, dia menunjukkan tanda-tanda seperti hewan buas. Mau bagaimana lagi, dia adalah sosok yang keras, seorang pembunuh yang kejam. Dia tak punya rasa sakit... Layaknya rasa sakit hanya bagian yang tidak akan pernah dia takutkan, bahkan kematian sekalipun. Dia juga selalu menggigit leherku, dia selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia bisa melakukan kemampuan aneh milik hewan buas. Seperti selalu mencium aroma tubuhku, dia tahu di mana aku berada hanya dengan aroma tubuh, mata miliknya, selalu mengatakan bahwa dia ingin sekali suatu saat memakanku..."

Pikirnya dengan tatapan kosong. Dia tak mungkin berpikir terlalu banyak jika soal hal itu. Bisa jadi itu hanyalah kebiasaan milik Leo saja; Sindrom Buas tak pernah ada baginya.

"Meskipun memang itu dinamakan Sindrom Buas... Tapi aku tak akan berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang buruk. Aku suka Mas Leo yang memiliki sikap begitu, karena dia jiwa melindungiku di manapun. Tapi mau bagaimana lagi..."

Dia kembali membuka lembaran bukunya dan membaca dengan tatapan kosong. "Seseorang yang mengalami ini, akan terus memburuk kondisinya. Dia tidak akan bisa mengendalikan kebuasan dirinya... Layaknya pisau di gigi taringnya yang selalu harus diasah, layaknya pukulan tangannya seperti cakaran jarum yang tak akan bisa berhenti melukai... Kondisinya semakin buruk karena dia tak punya sosok yang tahu, tak punya sosok yang harus merawatnya dengan baik... Oh Mas Leo, kau terlalu buruk jika harus mencari seseorang yang baik... Kau juga tak pernah mendapatkan cinta yang baik."

Dia berhenti sejenak membaca lalu menatap ke arah lain. "Padahal kau sudah menemukan aku yang rela menerimamu, aku rela menerima cinta yang kau berikan. Tapi kau terus berpikir bahwa kau tak pantas untukku, kau tak mau aku tersakiti oleh sikapmu, tapi kau membuat seolah ini semua adalah salahku. Bagaimana hubungan kita berakhir, kau membuat semua ini seolah adalah salahku, tapi kita saling menyalahkan diri sendiri... Aku juga ingin dia tegas dalam hal cinta jika padaku, karena dia terlihat sangat lemah jika menghadapi cinta... Dia memang Mas Leo..."

Tapi kemudian ada yang mengganggunya, ada yang membuka pintu. "Caise..." seorang Lelaki dengan pakaian dokter. Dia berjalan masuk mendekat ke meja Caise dan menunjukan papan dokumen padanya. "Bisa kamu membantuku operasi malam ini, aku butuh bantuan mu..." tatapnya.

Caise menatap dokumen itu yang harus melakukan operasi di jam 7 malam. "(Aku ingin pulang cepat.... Tapi aku sadar aku seorang dokter...) Tentu...." balasnya lalu lelaki dokter itu berjalan pergi tapi Caise masih tampak murung.

"(Semenjak aku menjadi dokter... Aku melakukan banyak kesalahan besar.... Aku selalu mengabaikan kondisi rumah ku, termasuk kucing kucing kecilku.... Mereka semua, sudah aku larikan ke tempat penampungan hewan... Karena, aku terlalu sibuk selama beberapa bulan ini sehingga aku telah kehilangan beberapa kucing yang tak terawat.... Aku merasa gagal menjaga seorang kucing... Bahkan seperti sosok Mas Leo... Aku kehilangan semuanya hanya karena aku menginginkan menjadi sekarang...)" pikirnya dan dia mulai mengerti satu persatu membuatnya hanya bisa menghilangkan kesedihan nya dengan menangis sendiri.