"(Ini... Tidak mungkin, kan... Kenapa dia ada di sini... Apa yang harus kukatakan padanya nanti... Berpikir, Caise... Berpikir...)" Caise terdiam berdiri di depan wastafel dapur. Suara gemericik air dari keran terdengar jelas di keheningan malam yang menyelimuti ruangan. Udara terasa dingin, seakan mencerminkan kegelisahan yang merayap dalam hatinya. Cahaya lampu neon menerangi sudut-sudut dapur yang sempit, menciptakan bayangan yang tampak menekan di dinding.
"(Kenapa aku harus bertemu dengannya... Bukankah dia sudah kecewa dengan apa yang terjadi... Ini semua sudah menjadi kesalahanku...)" pikirannya berputar, seperti terperangkap dalam lingkaran tanpa akhir, sementara tangannya yang gemetar memegang keran wastafel semakin erat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat menghentikan pikirannya. Leo berjalan di belakangnya dengan masih telanjang dada, tubuhnya yang berotot dihiasi tato Yakuza yang menjalar di sepanjang punggungnya. Detail tato itu terlihat seperti naga yang melilit, seolah memerintah dan mengancam, mencerminkan sosok Leo yang tangguh dan penuh misteri. Ada perban yang melilit di sekitar perutnya, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya pulih dari luka-luka lamanya.
"Caise..." suaranya rendah, berat, namun terdengar seperti gemuruh badai yang mendekat. Suara yang dulu begitu dikenalnya, kini terasa seperti bayangan masa lalu yang kembali menghantui.
Caise menoleh dengan mendadak, tubuhnya sedikit melompat kaget. "Mas Leo... K... Kau mau air, aku akan ambilkan..." Tangannya yang masih gemetar mengambil gelas dari rak, namun kegugupan itu membuatnya ceroboh, dan gelas itu terlepas dari genggamannya. Pecahan kaca berhamburan di lantai, memantulkan cahaya neon yang mencolok, seakan melambangkan hati Caise yang juga hancur berkeping-keping.
"Caise..." Leo terkejut, suaranya berubah lebih keras. Dia melangkah mendekat, seolah hendak melindungi Caise dari kaca yang berserakan. Namun, tatapan tajamnya memancarkan ketegangan, ketidakpastian antara amarah dan keprihatinan.
"Aku baik-baik saja, maafkan aku... Aku akan membersihkannya... Ah... Aw," ucap Caise, namun suaranya pecah saat salah satu pecahan kaca menusuk jarinya. Darah merah mengalir dari luka kecil itu, membasahi lantai yang dingin.
"Caise, ini bahaya..." Leo bergerak cepat, menarik lengan Caise dengan satu tangan yang kuat, membuatnya berdiri. Dia menggenggam jari Caise yang berdarah, kulit mereka bersentuhan, dan sejenak waktu seakan berhenti.
"(Mas Leo... Sudah sangat tinggi... Aku bahkan tak bisa membayangkan dia 190 lebih,)" pikir Caise, napasnya tercekat oleh kedekatan ini. Namun, tanpa peringatan, Leo tiba-tiba memasukkan jari Caise ke dalam mulutnya, menjilat luka itu dengan cara yang sangat tak terduga, seolah mencoba menghentikan darah yang mengalir.
"Hei... Apa yang kau lakukan?!" Caise terkejut, wajahnya memucat, namun ada kilatan panas yang aneh di dalam dadanya.
Lalu Leo melepaskan jari itu dari mulutnya, menatap Caise dengan mata yang tajam namun dingin. "Ini akan sementara menghambat darahnya keluar," katanya dengan nada datar, tanpa ada sedikit pun emosi yang terlihat di wajahnya. Seolah yang baru saja terjadi hanyalah tindakan sederhana tanpa arti. Kemudian, dia meraih plester luka di meja dan dengan cekatan membalut luka Caise.
"Te... Terima kasih," ujar Caise pelan, suaranya nyaris berbisik, hatinya terasa campur aduk antara rasa syukur, bingung, dan ketidakpastian. Namun, tatapan Leo tetap datar, tanpa senyum, tanpa kehangatan, sebelum akhirnya dia berbalik hendak pergi.
Tapi Caise tidak bisa membiarkan semua ini berlalu begitu saja. Ada rasa bersalah yang membakar di dalam dirinya, seolah sebuah api yang terus membesar setiap kali ia mengingat kesalahan-kesalahan masa lalu. Dengan keberanian yang muncul tiba-tiba, ia menahan tangan Leo, jemarinya menggenggam lengan berotot itu dengan gemetar.
"Mas Leo... Apa kau mau menghindari aku?" tanya Caise, suaranya pecah, bergetar seperti daun yang tersapu angin kencang.
Leo berhenti, bahunya yang kokoh menegang. Dia tidak segera menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Suara detak jantung Caise terasa begitu keras di telinganya, sementara Leo menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan nada dingin. "Apa yang kau maksud?" balasnya, matanya masih enggan menatap Caise, seolah ada dinding yang tak terlihat di antara mereka.
Caise menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mengancam untuk jatuh. "Aku benar-benar minta maaf soal... 3 tahun yang lalu... Aku tahu kau benar-benar menyesal telah bersamaku. Aku tahu semuanya hancur karena aku... Tapi kau harus tahu... Oliver bukanlah pacarku... Dia adalah kakakku." Suaranya terdengar rapuh, seperti kaca yang akan pecah sewaktu-waktu. Kata-katanya menggantung di udara, membawa kenangan masa lalu yang pahit dan menyakitkan.
Leo terdiam, dan akhirnya menoleh, menatap Caise yang menunduk dengan tatapan penuh penyesalan. Ekspresi wajahnya masih tetap datar, namun ada sesuatu yang berkilat di dalam matanya, emosi yang tersimpan rapat selama bertahun-tahun. "Aku sudah tahu, Caise," katanya akhirnya, nada suaranya berubah lebih rendah, namun tetap terdengar tegas. Tatapannya yang tajam menusuk hati Caise, membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya terungkap di hadapan Leo.
"Noah memberitahuku bahwa dia bukanlah pacarmu, tapi tetap saja... Aku tak bisa menerima jika dia menyentuhmu begitu saja..." Leo melangkah lebih dekat, suaranya berubah menjadi lebih intens, seolah mencoba mengungkapkan amarah yang terpendam lama. "Dan lagi, aku benar-benar tidak menyesal. Awal mula aku tertarik mendekatimu adalah karena aku tahu kau gadis yang belum ditarik banyak lelaki, kau gadis yang bersih. Dan aku tahu... Kau belum menerima cinta apa pun."
Caise mundur selangkah, tubuhnya berguncang, rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya. "Jangan bicara seperti itu! Aku yang salah... Aku yang membuat kita berpisah! Aku terlalu takut untuk jujur padamu... Aku selalu menahan perasaanku... Aku yang menghancurkan semuanya!" suaranya berubah menjadi seruan putus asa, tangannya mengepal erat, seolah berusaha menahan perasaannya yang meledak-ledak.
Leo menatapnya dengan intens, matanya yang gelap seperti lautan dalam yang tak berujung. "Caise, kau tidak bisa terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri atas semua ini. Aku yang seharusnya lebih mengerti, aku yang seharusnya lebih sabar... Tapi aku juga salah karena membiarkan diriku terjebak dalam amarah dan kebodohan."
Caise menggeleng keras, air matanya mengalir deras, jatuh tanpa bisa dihentikan. "Kenapa kau bisa begitu tenang? Aku tidak mengerti...! Bukankah aku menghancurkan segalanya? Bukankah aku meninggalkan luka untukmu?" Ia menatap Leo dengan mata yang penuh luka, berharap melihat kemarahan atau kebencian, tapi yang ia lihat hanyalah kesedihan yang tersembunyi.
Leo mengulurkan tangannya, menangkup wajah Caise, merasakan dinginnya kulitnya yang dipenuhi air mata. "Karena aku sudah melewati semua itu, Caise. Aku sudah merelakan luka-luka itu, tapi kau masih terperangkap di masa lalu. Aku tidak marah padamu, tapi aku tidak bisa terus melihatmu menghancurkan dirimu sendiri seperti ini."
Caise menggeleng, suaranya semakin pecah oleh tangis. "Aku tak bisa... Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, Mas Leo... Aku benar-benar merindukanmu, tapi aku tahu aku tidak pantas untukmu... Tidak setelah semua yang terjadi...!"
Leo menghela napas panjang, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Caise. Ia menatap langsung ke mata Caise, seolah mencoba menyalurkan setiap kata dari hatinya. "Kalau aku bisa memaafkanmu, kenapa kau tidak bisa?" tanyanya, suaranya tetap tenang, namun ada rasa lelah yang terselip di sana.
"Karena aku tidak sekuat dirimu, Mas Leo... Aku lemah... Aku selalu takut! Aku takut kehilanganmu, aku takut menyakitimu lagi...!" Caise menjerit di antara isakannya, seolah melepaskan semua beban yang ia simpan selama ini.
Leo menarik napas dalam-dalam, seolah menahan segala emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia mendekap Caise erat, merasakan tubuhnya yang gemetar. "Aku tahu kau takut, Caise... Tapi aku di sini sekarang. Jika kau masih mau mencoba, kita bisa memperbaiki semuanya. Meski itu tidak mudah, meski mungkin kita harus terluka lagi... Aku siap, kalau kau juga siap."
Caise mendongak, menatap Leo dengan mata yang basah, namun ada seberkas harapan yang mulai menyala di sana. "Mas Leo... kau masih... ingin mencoba?"
Leo mengangguk perlahan, kali ini ada sedikit senyum tipis yang menghiasi wajahnya, senyum yang tidak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu. "Ya, Caise... Aku masih ingin mencoba. Jika kau juga mau."
Caise tak mampu berkata-kata lagi, hanya air matanya yang mengalir tanpa henti. Ia merangkul Leo erat-erat, seolah takut kehilangan kesempatan kedua ini. Leo membalas pelukan itu dengan lembut, merasakan setiap isakan dan guncangan di tubuh Caise yang masih diliputi penyesalan. Mereka berdiri dalam keheningan, di antara pecahan kaca yang terserak dan cahaya lampu neon yang menyinari mereka—dua jiwa yang terluka, namun mungkin bisa menemukan jalan untuk menyembuhkan satu sama lain.
"(Aku tak pernah mau berharap bertemu dengan Mas Leo lagi, tapi kenapa ini semua terjadi begitu cepat? Aku tak sadar bahwa takdir memang menemukan hal ini... Dan juga, harus kuakui, ini memanglah sebuah takdir yang hebat. Tapi tetap saja, bukankah ini adalah keinginan yang buruk? Aku bertemu sosok yang berubah drastis; dia tampak lebih mengerikan di mata orang lain. Ketika orang lain melihatnya begitu, rasanya sungguh sangat sakit... Aku tak bisa menahan bagaimana dia tidak bisa merasakan apa yang orang lain pandang tentang dirinya,)" pikir Caise, menggigit bibirnya.
Saat dia kembali memeluk Leo, tubuhnya terasa hangat dan kokoh, tetapi di dalam dirinya berkecamuk rasa campur aduk. Merasakan pelukan itu, dia membayangkan masa-masa indah ketika mereka masih bersama—waktu-waktu penuh tawa, tanpa beban, ketika mereka adalah dua anak muda yang penuh mimpi dan harapan. Namun, sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang samar, tersapu oleh kepahitan perpisahan yang menyakitkan.
"(Seharusnya aku tidak berharap... Seharusnya aku tidak ingin bertemu dengannya lagi,)" pikir hatinya, tetapi saat itu, dia menyadari bahwa harapan itu tetap ada. Seolah magnet yang tak bisa diabaikan, harapan untuk kembali kepada Leo membuatnya merasa seolah terjebak di antara dua dunia—yang lama dan yang baru.
"Caise..." tiba-tiba Leo memanggil membuat Caise menatapnya masih dengan air mata yang mengalir. Dengan jari-jari kasarnya, dia mengusap pipi Caise dengan kedua ibu jarinya sambil menyingkirkan rambut Caise yang berantakan menutup wajahnya.
Lalu dia meletakkan kening nya perlahan di kening Caise juga yang menutup matanya sambil masih mengalirkan air mata.
"Maafkan aku...." suara Leo tampak menyesal.