Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 51 - Chapter 51 Meet Again

Chapter 51 - Chapter 51 Meet Again

Tiga tahun sudah sangat lama berlalu. Caise kini menjadi bagian dari rumah sakit ternama sebagai dokter tetap. Setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan, dia menghela napas dalam-dalam di ruangannya yang kecil namun rapi. Tempat itu selalu menjadi pelariannya di antara hiruk-pikuk pasien yang tak pernah berhenti datang.

Dia juga sudah terlalu banyak berubah sejak di tinggalkan oleh orang yang sudah dia harapkan untuk bersama. Wajahnya tampak cantik dan sangat begitu dewasa, kulit tangan nya yang manis benar benar bekerja keras dalam usahanya selama ini. Rambut terurai hitam sangat lembut menambah kesan dia juga merawat kondisi tubuhnya dengan baik.

"(Setelah menempuh lamanya pendidikan, akhirnya aku bisa menjadi yang kuharapkan. Meskipun aku dulu ingin menjadi dokter hewan, mungkin dokter untuk orang juga sangat bagus. Aku akan bekerja sebaik mungkin mulai di sini.)" Ia menatap sertifikat di dinding, kenangannya seolah mengalir kembali saat melewati masa-masa kuliah dan ujian yang berat.

Caise membuka laci mejanya, mengambil segelas kopi yang masih hangat, dan menyesapnya perlahan. Di luar, hujan gerimis mulai turun, menambah suasana melankolis di tengah kelelahan yang ia rasakan. Hanya suara detak jarum jam dan deru mesin AC yang menemani kesendiriannya di ruang itu.

Sejenak, Caise melamun, mengingat masa lalu yang ingin ia lupakan. "(Aku sudah melupakan apa yang terjadi sebelumnya. Aku berhenti mengikuti Kakak Oliver karena inilah kehidupanku yang sebenarnya. Dari awal, memang aku mau menjadi gadis pembaca mimpi lagi... Sekarang sudah tidak. Aku bisa mencari tutorial, mencari cara untuk tidur nyenyak tanpa mengingat mimpi apa pun. Meskipun mimpi itu masih sering muncul, aku tetap akan berusaha melupakannya... Ini semua juga kesalahan terbesarku, tak pernah menghargai apa itu waktu milik orang lain. Seberapa banyak mereka memikirkan aku, sekarang aku tak peduli. Biarkan aku menunjukkan sikap kebiasaanku mulai hari ini.)"

Matanya terasa berat, dan ia hampir tertidur di kursinya, tapi suara pintu yang diketuk membangunkannya. Seorang perawat yang cantik masuk. "Caise... Apakah aku mengganggu?" tatapnya.

"Ah tidak, ada apa?"

"Aku hanya ingin melaporkan bahwa ada pasien darurat yang baru saja stabil setelah melalui operasi sulit," tatapnya.

Caise yang mendengar itu menjadi mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan mengingatkan perawat itu untuk terus memantau kondisi pasien sebelum akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak lagi.

Satu jam kemudian, setelah memastikan bahwa semua pasien dalam pengawasan stabil, Caise memutuskan untuk pulang. Ia mengenakan jaketnya dan mengambil tas kecil yang berisi dokumen-dokumen medis. Melangkah melewati lorong rumah sakit yang mulai sepi, ia menyempatkan diri melirik ke arah ruang ICU, di mana beberapa pasien kritis masih berjuang antara hidup dan mati. Pandangan Caise sedikit melunak saat ia berdoa dalam hati agar mereka bisa melewati malam itu.

Ia keluar dari pintu depan rumah sakit, menghirup udara malam yang dingin dan segar. Hujan gerimis yang tadi mengguyur kini menyisakan jalanan basah yang memantulkan cahaya lampu jalan. Dengan langkah tenang, ia menyusuri trotoar yang sepi, menikmati ketenangan kota yang sesekali dipecahkan oleh suara mobil yang melintas.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Ketika melewati sebuah gang yang sempit dan gelap, ia mendengar suara gemuruh seperti sesuatu yang jatuh. Langkahnya terhenti, pandangannya tertuju pada lorong itu. Rasa penasarannya membara, meski naluri dokternya berbisik agar ia tidak mendekat.

"(Apa yang terjadi? Aku seperti mendengar suara,)" Caise menelan ludah, hatinya berdebar kencang. Ia melangkah masuk ke dalam gang yang gelap gulita itu, hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan di seberang yang menyorot ke dalam lorong tersebut. Ia terkejut ketika melihat bekas darah yang masih segar di tanah.

"(Ah... Aku hampir menginjaknya,)" Caise bergidik, mundur selangkah, matanya terpaku pada ceceran darah yang mengarah ke ujung lorong. Suara bergerak terdengar lagi, lebih dekat kali ini, dan ia menyadari bahwa darah itu menuju ke sumber suara tersebut.

"(Sebaiknya aku lapor polisi,)" Dengan tangan yang gemetar, ia mengeluarkan ponsel sambil berjalan mendekat. Begitu sampai di ujung lorong, Caise terhenyak melihat seorang pria duduk bersandar di dinding, darah mengalir dari luka di perutnya.

Pria itu memakai hoodie hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya, serta masker gelap yang menutupi mulut dan hidungnya. Wajahnya tertutup bayangan, rambutnya juga tak terlihat karena tudung hoodie yang dipakainya. Tangan pria itu memegang perutnya yang terluka, berusaha menahan darah yang mengalir deras. Meski wajahnya tersembunyi, matanya menatap Caise tajam, membuatnya merinding seketika.

"Astaga... Kau baik-baik saja?!" serunya dengan nada panik. Dia berlutut mendekat, melihat pria itu yang mulai kehilangan kesadaran.

"Aku akan menelepon ambulans," lanjutnya cepat, tangan mulai menekan layar ponselnya. Namun, tiba-tiba tangan pria itu yang penuh darah mencengkeram tangannya dengan kuat.

"Jika kau menghubungi orang, aku akan membunuhmu," desis pria itu dengan suara serak dan berat sambil mengarahkan pistol yang bergetar ke kepala Caise. Pandangannya tajam, membuat Caise terdiam, tak berani bergerak.

"B... Baik... Lalu... Aku harus apa?" tanyanya, suaranya bergetar. Ia mencoba menjaga ketenangannya, meskipun jantungnya berdegup kencang di dalam dada.

Pria itu tetap diam, hanya menatap Caise dengan mata dingin, tanpa sedikit pun melonggarkan genggaman pada pistol di tangannya. Keheningan yang mencekam membuat Caise semakin gugup, tapi ia berusaha keras untuk menahan rasa takutnya. Ia melirik luka pria itu yang terlihat parah, darah masih mengucur deras dari perutnya.

"(Apa aku membawa dia ke rumah saja ya... Mungkin....) Tuan... Aku tak bisa meninggalkanmu di sini.... Ikutlah denganku," Caise mencoba merayu, menatap pria itu dengan serius, berusaha menunjukkan sikap bertanggung jawabnya.

Pria itu tetap tidak menjawab, hanya menggerakkan matanya ke arah luka di perutnya, seolah memberi isyarat tanpa sepatah kata. Ekspresinya tetap datar, dingin, dan tanpa emosi, membuat Caise merasa semakin tidak nyaman. Namun, melihat kondisi pria itu yang semakin memburuk, ia tahu tidak ada waktu untuk ragu.

"Ayo, aku akan membantumu, aku tahu kamu sedang terluka..." dia mengulurkan kedua tangan dengan wajah serius.

Pria itu hanya diam, tapi siapa yang menyangka, dia berdiri sendiri tanpa ada rasa sakit meskipun sambil memegang perutnya yang hampir terbelah. Hal itu membuat Caise terkejut tak percaya. "(Ba, bagaimana dia bisa berdiri sendiri?! Bukankah dia terluka?!)"

Tapi mendadak pria itu menodongkan senjata itu pada Caise tepat di kening Caise membuat Caise terkejut tak percaya, dia hanya bisa gemetar.

Lalu terdengar suara pria itu yang kesakitan tapi mencoba untuk kuat. "Cepat, tunjukan aku tempat mu," tatapnya.

Langit malam yang gelap dan dingin terasa semakin sunyi ketika Caise dan pria itu perlahan melangkah keluar dari lorong yang sempit itu. Caise berjalan perlahan di depan membiarkan pria itu mengikuti langkahnya, langkah kaki mereka menimbulkan bunyi gemericik saat melewati genangan air di trotoar. Caise sesekali mencuri pandang ke pria itu yang tetap dingin berjalan di belakang nya, namun setiap kali ia mencoba mengajaknya bicara, pria itu hanya menatapnya tajam tanpa sepatah kata, seolah tak ingin mengungkapkan lebih dari yang terlihat.

"(Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Siapa orang ini?)" pikir Caise sambil berusaha mengawasi tubuh pria yang semakin berat itu. Mereka berdua berjalan dalam kesunyian yang penuh ketegangan, seperti dua orang asing yang tiba-tiba terhubung oleh rahasia kelam yang belum terungkap.

Ketika sudah sampai di apartemen Caise, pria itu juga ikut masuk dengan tubuh kotornya.

"Tolong, nyamankan dirimu, aku akan mengambil obat sebentar..." tatap Caise yang meninggalkan nya. Dia mengambil kotak besar peralatan medis dan kembali berjalan ke ruang tamu. Tapi ia terkejut karena pria itu duduk di bawah lantai dekat dengan pintu.

"Tuan, jangan di sini, mari ke ranjang, di sana lebih hangat..." dia mendekat.

Tapi pria itu hanya terdiam, dia lalu mengangkat bajunya memperlihatkan luka di perutnya. "Cepat obati,"

"Tapi, ini terluka sangat parah, aku harus menjahitnya juga, biarkan aku memberikan mu bius lokal agar kau tidak kesakitan..." Caise menatap panik.

Tapi pria itu mendadak kembali menodongkan pistolnya membuat Caise benar benar gemetar dan hanya bisa mendengar suara beratnya. "Cepat, lakukan..." untung nya pria itu tidak berteriak kasar, dia hanya sengaja berbicara pelan tapi dengan suara lambat, meskipun begitu, Caise berpikir itu adalah ancaman jadi dia segera mengambil alatnya.

Terlihat Caise membalut perut pria itu yang masih duduk bersandar di pintu apartemen Caise. "(Aku benar-benar tak berani menatap wajah orang ini... Kenapa dia bisa terluka di tengah gang itu?)... Baiklah... Sudah selesai..." Dia menghela napas lalu mengemasi alatnya.

"(Kenapa dia belum menatapku sama sekali....) Kau sangat terampil dalam hal ini," kata pria itu. Dia akhirnya bicara normal dan lebih baik. Siapa yang menyangka dia juga membuka masker dan hoodie nya memperlihatkan wajah nya yang terlihat familiar sedikit.

"Ah, terima kasih," Caise menoleh, tapi ia terkejut menjatuhkan kotak alatnya karena melihat pria itu sedikit tersenyum. Tak hanya itu... Wajahnya benar-benar dikenalnya... Dia adalah Leo.

"(Di... Dia... Kenapa aku bisa tidak sadar?)" Caise gemetar tak percaya layaknya dia sungguh tidak tahu apa yang baru saja terjadi.

Dia seharusnya mengenali Leo dari tadi dengan suaranya, tapi Leo juga banyak berubah, dia terlihat lebih besar dan terlihat lebih dewasa tapi di mata Caise, dia tetap terlihat tampan, meskipun begitu, Caise masih tak bisa menerima pertemuan yang begitu tidak menyangka.

Leo tersenyum sedikit lalu menundukkan pandangan. "Sepertinya kau bisa meraih cita-citamu sendiri."

"M.... Mas Leo... Ini.... Kau... (Tidak... Aku tidak bisa... Setelah semuanya.... Aku sudah berusaha melupakan hal itu, tidak, aku tidak akan melakukan nya....)" Caise membuang wajah lalu berjalan pergi membuat Leo terdiam di tempat. Tapi dia hanya bisa menundukan pandangan, sambil memegang lukanya dan menghela napas panjang. "(Aku sudah berusaha... Berusaha membuat kita tidak bertemu... Tapi kenapa.... Aku tak mau menyakitinya lagi....)"