"Hanya sedikit pemberitahuan. Leo itu orangnya sering sekali digoda orang lain, mulai dari penampilannya, keterampilannya, maupun uangnya. Tapi sayangnya, akhir-akhir ini dia sudah tidak pernah memainkan tubuh wanita hanya karena ingat pada seseorang. Mari kita lihat apakah dia masih tak mau digoda wanita setelah mendapatkanmu."
"(Mendapatkanku dalam artian apa?!)" Caise masih gemetar ketakutan.
"Jadi, kau mulai dekat dengan Leo atau dia yang dekat denganmu. Sebenarnya kau tidak tahu dia siapa, bukan? Dan sebaiknya kau hati-hati dengan Leo. Baru kali ini dia bertingkah idiot di depanmu."
"Eh... Mas Leo... Bertingkah lain? (Ini mungkin saat nya aku tahu,)" Caise menatap, dia belum tahu siapa Leo sebenarnya.
"Jadi kau memang belum tahu. Tak apa, kau akan tahu nanti. Jika kau juga suka padanya, katakan saja langsung sebelum dia menyesal telah mendekatimu," kata Noah, lalu berjalan pergi.
Caise terdiam memikirkan hal tadi. "(Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ini aneh sekali... Dia berbicara bahwa Mas Leo menggunakan sikap lainnya padaku. Jika sikap lembut itu diperlihatkan padaku, lalu sikap apa yang diperlihatkan pada dunia olehnya? Lalu apa maksudnya menyesal telah mendekatiku? Apa ini karena dia juga tak pernah bersama seseorang yang dia sukai? Kenapa ini membingungkan?!)" Caise menjadi panik, benar-benar bingung dan pusing memikirkan hal tadi.
Sementara itu, terlihat darah mengalir di mana-mana di sebuah tempat yang gelap. Sebuah mayat yang tergantung terbalik telah terpotong-potong bagian tubuhnya. Di samping mayat itu, Leo melempar pisau ke bawah, pisau yang berlumuran darah.
Dia berbalik, dan darah tampak di mana-mana di bajunya. Ia berjalan keluar dengan tubuh yang masih berlumuran darah, rupanya dia berada di gudang tua tempatnya membunuh mayat tadi.
Menyalakan rokok dan menghela napas, dia berkata, "Ini mulai memperlambatku..."
Tiba-tiba, datang seorang gadis yang berlari ke gudang tua. Leo menatap biasa, dan seketika gadis itu berlutut, terjatuh di depan Leo. "A... Apa yang kau lakukan... Monster!" tatap gadis itu sambil menangis.
"Kenapa kau tidak lihat sendiri mayat ayahmu di dalam?" kata Leo dengan senyum menyeringai.
"Kenapa kau membunuhnya? Dia sudah berusaha melunasi utangnya padamu!" teriak gadis itu.
Namun tiba-tiba, Leo menarik dan membanting gadis itu ke bawah. "Akh..." dia terkejut dan menangis kesakitan.
"Aku sudah bilang dari awal, tak ada yang namanya kesempatan kedua untuk melunasi hutang. Jangan khawatir, hutangnya akan digantikan olehmu. Mulai sekarang, carilah uang sendiri untuk menutupi hutang ayahmu padaku," kata Leo.
"Aku... Tidak mau... Kau benar-benar kejam!" Gadis itu kembali berteriak, dan tak disangka dia mengeluarkan pisau untuk menusuk Leo. Namun, Leo lebih dulu mencekik leher gadis itu dan mengangkatnya ke atas.
"Ukh..." Gadis itu tertekan dan menjatuhkan pisaunya.
"Kehidupan seseorang itu berbeda, jangan heran jika ada orang kejam di sini," kata Leo dengan cepat, lalu menjatuhkan gadis itu.
"Uhuk... Huk... Apa yang harus kulakukan... Kenapa kau terus meneror keluargaku? Sekarang aku tak punya siapa-siapa," dia menangis tak berdaya.
"Jadilah penghibur malam di bar ku. Bekerja, merayu orang, dan kau akan cepat melunasi hutang. Aku ingin lihat siapa lelaki pertama yang akan mengambil keperawananmu."
"Aku tidak mau! Dasar brengsek... Lebih baik aku mati!"
"Jika kau mati, kau masih punya saudara, tetangga, atau hewan peliharaan. Akan kucari mereka semua, siapa pun yang dekat denganmu, dan aku akan memaksa mereka melunasi hutangmu sementara kau mati menyaksikan mereka berada di bawahku," kata Leo.
Dia benar-benar tak kehabisan kata untuk memojokkan gadis tak berdaya itu.
Sekarang gadis itu terkaku dan gemetar. Tubuh kecilnya tak mampu melakukan apa-apa.
Leo membuang rokoknya, masuk ke mobil, dan meninggalkan gadis yang tak berdaya itu.
Itulah salah satu kekejaman Leo, benar-benar kejam dan tak memandang usia atau jenis manusia. Selama dia bisa tertawa memperlihatkan gigi bergeriginya, dunia akan takut padanya.
---
Di sekolah, Caise tampak duduk di bangkunya dengan melamun. "(Ha... Kenapa aku masih sakit?)" Ia memegang dadanya.
Tiba-tiba, ada yang datang langsung menyapa. "Caise..." Seorang perempuan langsung duduk di bangku hadapannya, membuat Caise menatapnya.
Dia memiliki teman dekat bernama Naya, yang sekarang mengobrol dengannya saat jam istirahat.
"Caise, bukankah kau izin untuk hari ini karena dadamu masih sakit?" tanyanya.
"Tak apa, ini sudah lebih baik."
"Aku benar-benar penasaran, bagaimana kau bisa terlahir dengan kemampuan unik itu, apa keturunan?"
"Ini bukan keturunan. Ibuku sama sekali tak memilikinya, tapi entah kenapa sekarang sudah tidak ada... Seharusnya mimpi itu berhenti menghantuiku sejak umurku lima belas tahun hingga sekarang, tapi sekarang, dia memaksa untuk muncul.
"Kalau begitu, mungkin kau sudah terbebas dari hal itu. Aku lebih suka menyebutnya kutukan."
"Hah... Apa maksudmu?" Caise menjadi terkejut.
Caise memiliki kemampuan unik sejak kecil. Jika takdir adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat atau diramal secara akurat, Caise bisa meramalkannya dengan akurat hanya melalui mimpi. Mimpi itu selalu benar, hingga ia memiliki masa lalu yang tak mau diulanginya atau diakui lagi di usia kecilnya.
"(Yah, itu memang benar... Jika besok aku mendapatkan kabar baik seperti nilai ujian yang baik atau yang lainnya, hal itu akan langsung tersampaikan dalam mimpiku. Tapi, mimpi itu sudah berhenti sejak satu tahun terakhir, dan sekarang malah muncul lagi... Muncul takdir mimpi lagi, yakni aku dipertemukan dengan Mas Leo.)"
---
Di jalan keluar sekolah, Caise terdiam merasakan sesuatu. Ia perlahan berjalan pelan ke dinding jalan.
Ia bernapas berat sambil menekan dadanya. "(Aku mohon jangan sekarang...)" ia menutup mata dengan rasa sakit yang dirasakannya.
Tak lama kemudian, ia menurunkan tubuhnya. Dengan tas ransel yang masih ada di punggungnya, ia berkata, "(Ha... Ha... Kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak nanti saja?)" ia seperti menahan rasa sakit dengan menekan dadanya.
Tiba-tiba, seseorang datang dan berdiri di sampingnya. Caise menoleh, dan ia menjadi terkejut karena orang itu membawa buket mawar. Caise berdiri dan melihat bahwa itu Leo.
"Caise, keluarlah bersamaku~" dia menatap manis.
Semua orang yang ada di sana menjadi terkejut, apalagi teman-teman Caise yang lewat.
"Siapa dia?"
"Apa pacar Caise? Dia tampan dan tinggi."
"Benar-benar tipeku." Mereka menatap.
"M... Mas Leo (I... Ini memalukan, dia seperti menembakku di depan orang-orang... Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menolak?)" Caise memerah. Ia melihat pakaian Leo. Dia tidak memakai setelan jas hitam, tapi mengenakan pakaian yang biasa dipakai lelaki muda umumnya: celana hitam panjang, kaus putih, dan kemeja kotak-kotak merah yang tak dikancing. Sekarang, dia malah terlihat seperti yang dibayangkan orang-orang yang melihatnya.
"Apa dia lelaki kuliahan?"
"Tidak, dia lebih terlihat seperti model pria."
"Model yang turun ke jalan hanya untuk menjemput pacarnya."
"Benar-benar romantis sekali. Aku harap bisa dapat pacar seperti itu."
"Bunga yang dia bawa juga cantik. Caise harus menerimanya karena dia gadis paling manis di sini..."
"(Aduh... Mereka benar-benar bergosip... Apalagi dengan buketnya...)" Caise menatap buket bunga itu yang berwarna hitam dengan mawar merah cantik yang tersusun rapi. Buketnya tidak terlalu besar, jadi dia tidak tambah malu.
Leo hanya menatap sambil tersenyum dengan nyaman. "(Oh ya ampun, berhentilah memojokkanku, Mas Leo. Kamu bilang kamu hanya akan menjadi pengawal, kenapa sampai begini?)" Caise gemetar, tak tahu harus berbuat apa hingga ia ingat perkataan Noah.
"Jadi kau memang belum tahu, tak apa. Kau akan tahu nanti. Jika kau juga suka padanya, katakan saja langsung sebelum dia menyesal telah mendekatimu."
"(Ini benar-benar aneh dan pastinya aku bingung... Apa yang harus aku lakukan? Mereka melihatku... Dan Mas Leo pasti menungguku untuk menerimanya... Huff... Tak apa, Caise, ini hanyalah jalan-jalan yang diajak oleh Mas Leo... Aku hanya perlu menerimanya,)" Caise menghela napas panjang dan mengangguk.
"Baiklah, ayo," Caise menerima buket itu. Seketika hati Leo menjadi senang.
Semua orang yang tadinya diam-diam melihat pun ikut merasa senang dan menyaksikan pemandangan paling romantis di sana.
"Baiklah, ayo naik mobilku," Leo menunjuk mobil mewah di samping mereka.
"(Hah... Jadi mobil mewah itu milik Mas Leo...)" Caise terkejut dalam hatinya. Lalu ia menggeleng, membuat Leo terdiam bingung.
"Mas Leo... Di sini dekat dengan tempat jalan-jalan. Aku tidak mau mencolok nantinya, jadi bisa kita berjalan saja?" tatap Caise.
Namun, Leo terdiam serius, hal itu membuat Caise terkejut dengan apa yang baru saja dikatakannya.
"(Ap... Apa aku baru saja menolaknya? Gawat, ekspresinya pasti berubah kecewa. Aku tak mau membuatnya kecewa,)" dia menjadi panik.
Tapi Leo kembali tersenyum. "Yah... Baiklah, ayo pergi."
"Eh... Benarkah?" Caise menjadi tak percaya. Lalu Leo mengangguk.
"Ayo... Ingin menggandeng tangan atau lengan?" Leo mengulurkan tangan.
"Um... Ba... Baiklah..." Caise menerima uluran tangan Leo, dan mereka berjalan sambil bergandengan tangan.
Caise menghirup aroma bunga yang wangi, dengan wajah merah ia melirik ke tangannya yang digandeng Leo.
"Caise... Kau ingin sesuatu?" Leo menatap dengan wajah yang sangat nyaman dan ramah.
"Um... Aku ingin berjalan-jalan dulu saja," jawab Caise.
"Oh, biarkan aku membawa tasmu. Itu pasti berat," Leo menatap.
"Eh, ini baik-baik saja... Um..."
"Tak apa... Aku tak mau kau membawa apapun selain bunga itu," kata Leo.
"B... Baiklah... (Perhatian sekali...)"
Setelah itu, mereka kembali melanjutkan berjalan.
"(Kenapa aku merasa situasi ini benar-benar sangat canggung? Apa ini karena aku tak tahu topik apa yang mau kita bahas... Um... Apa yang harus aku lakukan? Ini harus diisi dengan apa... Ah, benar, aku sebenarnya ingin bertanya soal Mas Leo... Aku mungkin tanya satu per satu saja.) Anu, Mas Leo?" panggil Caise, membuat Leo menoleh padanya.
"Um... Bisa aku bertanya sesuatu?"
"Ajukan saja," jawab Leo langsung.
"(Ajukan saja? Itu berarti dia tak peduli pertanyaannya seperti apa... Semoga ini tidak mengganggu.) Um... Apa Mas Leo baru saja pulang dari kampus atau bagaimana tadi?" tanya Caise.
"Yeah, aku baru pulang dari kampus tadi."
"Lalu, di mana kampus Mas Leo?" Caise menatap.
"Kau ingin melihatnya? Jaraknya sebentar lagi," kata Leo.
"Benarkah? Aku boleh melihatnya?" Caise menatap tak sabar.
"Ya, selagi kita masih terhubung," Leo mengangkat tangan yang mereka gandeng, membuat wajah Caise sangat merah.
"(Kenapa jantungku benar-benar berdegup sangat kencang? Apa ini karena aku ada di samping seorang pria yang sangat baik...)"