Sementara itu, Leo menguap sambil berjalan di jalanan yang tidak terlalu ramai. "(Aku benar-benar bosan... Setelah tidak jadi menjemput Caise, aku mengembalikan mobilku lagi ke rumah dan ingin jalan-jalan... Aku benar-benar bosan jika harus jalan-jalan sendiri.)" Dia terdiam berjalan dan menoleh ke langit yang sebentar lagi sore.
Tiba-tiba, ada seseorang yang berlari ke arahnya dengan tudung jaket, dan tak disangka-sangka, orang itu membawa pisau untuk menusuk Leo.
Namun, Leo benar-benar waspada. Dia menghindar dengan mundur ke samping dan langsung memegang tangan orang itu, kemudian membantingnya ke bawah dengan sangat keras.
"Cih... Kau mau apa?" Leo menatap, sambil meremas lengan orang itu hingga kesakitan, sepertinya lengannya patah.
"Cepat katakan padaku?" Leo terus menekan.
"Agh... Aaghhh.... Aku diminta orang!!"
"Siapa?"
"Orang yang kau ambil uangnya!!" kata orang itu. Leo terdiam dan tertawa. "Khahahaha.... Sialan... Masih berani membayar anjing murahan setelah aku polorotin. Kemarilah, aku tunjukkan padamu bagaimana cara memilih atasan yang berkualitas!" Leo menarik orang itu.
"Tidak, tunggu... Aku akan berteriak jika kau membawaku!! Lepaskan aku!!"
"Berteriaklah, aku tak peduli betapa banyak orang mendengarmu, kau tetap akan berakhir dalam kematianmu sendiri," kata Leo sambil menyeretnya. Orang itu tidak berdaya karena lengan yang patah tadi.
Hingga di sebuah gudang seperti biasanya, orang itu dilempar. "Akhh... Aku mohon lepaskan aku!!" Dia memohon pada Leo.
Tapi ia terkaku ketika melihat banyak darah di tempat itu, meskipun tak ada satu pun mayat di sana.
Lalu terdengar langkah kaki Leo mendekat bersama bunyi asahan belati yang ia bawa di kedua tangannya.
"Kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang seperti kamu? Mereka akan berakhir dimakan pisauku dan tubuh tak berdaya mereka hanya aku lempar ke jurang mayat yang aku buat sendiri..." kata Leo, mengarahkan belatinya sangat dekat ke wajah orang itu yang ketakutan hingga berteriak pada Leo.
"Dasar pembunuh!! Kau lebih kejam dari apa pun!!"
"Hahahaha.... Kenapa tidak sekalian sebut aku monster saja?! Khahahaha!!!" Leo tertawa dan pada saat itu dia mengayunkan pisaunya. Dari sini sudah diketahui akhir dari orang itu.
Tak lama kemudian, di malam hari itu, Leo menyeret tubuh mayat berlumuran darah. Dia pergi ke belakang gudang, yang merupakan lubang besar pembuangan sampah, tapi lebih tepatnya pembuangan mayat.
"Bisa-bisanya dia berani membayar orang suruhan tapi tidak mau membayar hutangnya padaku. Lihat saja... Aku akan datang ke rumahnya dan mengeksekusinya di gudang ini," Leo melempar orang itu dan kini tubuhnya benar-benar berlumur darah. Leo benar-benar sangat kejam, dia pantas disebut sebagai seorang pembunuh berdarah dingin.
Lalu ia menatap jam tangannya. "(Aku akan pulang, berganti baju, dan ke tempat Caise...)"
Malamnya, setelah Caise kembali dari kerja kelompok, "Huf... Sangat lelah... Aku akan mandi saja," ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tak lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi. Caise, yang baru selesai mandi, terkejut mendengar bel pintu ketika keluar dari kamar mandi, dan secara kebetulan saat itu dia hanya memakai handuk.
"(Ada tamu... Bagaimana ini, aku harus cepat!)" Dia panik dan segera memakai kaus dan celananya, lalu membuka pintu. Ternyata itu Leo.
"Mas Leo?! (Uh... Ini memalukan. Aku baru saja bilang aku suka dia kemarin, kenapa ini jadi canggung? Tapi aku memang berharap dia datang hari ini... Dan sekarang aku mencium aroma parfum yang begitu nyaman keluar dari tubuhnya. Aku tahu... Dia pasti bersiap-siap juga ketika datang ke sini,)" pikir Caise. Pemikirannya benar, tentu saja karena Leo baru saja melakukan sesuatu yang gelap.
"Aku hanya ingin masuk," kata Leo.
Namun, dia tiba-tiba terdiam ketika melihat dada Caise, di mana tali bra-nya terlepas, dan sepertinya Caise sama sekali tidak menyadari atau merasakan hal itu.
"... D...." Leo terdiam kaku.
"Ada apa, Mas Leo?" Caise menatap bingung.
"Er... itu... e... Aku akan membantu..." Leo menunjuk dada Caise.
Caise menatap ke dadanya sendiri, seketika dia terkejut dan baru menyadari. "Ah... Tidak!!" Dia segera menutup dadanya dengan kedua tangannya.
"(Apa ini karena dada ku terlalu besar sehingga aku tak sadar kalau talinya lepas... Astaga, ini memalukan?!!!)"
"Aku akan memasangkannya untukmu," kata Leo.
"Me... memasangkan apa?" Caise menatap panik. Ini masih dalam situasi yang sama ketika Leo datang, dan tali bra Caise malah lepas di depannya tanpa Caise sadari.
"Tali dadamu," tatap Leo.
"Ap... apa?! Apa kau bercanda?!" Caise menjadi kesal dan berwajah merah, tapi Leo memasang wajah memohon, membuat Caise terluluh.
"(Astaga... astaga... kenapa dia ingin melakukan itu? Ini benar-benar memalukan. Aku seharusnya menolaknya, tapi wajah yang dia buat itu... um...) E... baiklah, Mas Leo, aku mohon," Caise mengangguk dan menyetujuinya, lalu ia membelakangi Leo.
"Baiklah, terima kasih," Leo menjadi senang lalu memasukkan tangannya ke bawah baju kaus Caise.
"Ah!!" Caise terkejut. "(Ini... ini agak aneh, tangan Mas Leo benar-benar hangat. Tidak, lebih tepatnya panas...)"
"Apa aku menyakitimu?" Leo berhenti memasukkan tangannya.
"Ti... tidak, aku mohon pasang saja cepat," kata Caise, lalu Leo mulai memasang tali bra Caise.
"(Apa selembut ini kulit perempuan yang masih perawan?)" Leo menatap leher Caise dari dekat, lalu ia mendekatkan wajahnya perlahan ke leher Caise.
"(Sekarang tangannya menjadi sangat panas di punggungku... uhmm... Mas Leo, apa kau sudah selesai?)" kata Caise.
Leo mengeluarkan tangannya, dan Caise bisa menghela napas lega, tetapi tiba-tiba Leo memeluk Caise dari belakang, membuat Caise terkaku. Dia memeluk perut Caise dengan erat dan mendekatkan wajahnya ke leher Caise.
"(Uhmm... Apa yang dia lakukan? Astaga, napas Mas Leo... menyentuh leherku,)" Caise merasakan napas hangat Leo.
Leo terdiam, menatap leher Caise. Leher yang sangat lembut dan begitu menggoda.
"(Kenapa leher wanita-wanita penghibur itu berbeda? Milik Caise lebih lembut...)" ia menjilat bibirnya sendiri seperti tergoda hanya dengan menatap leher Caise.
"(Um... ini agak mengganggu, tapi entah kenapa ini sangat hangat... Hangat sekali dipeluk olehnya... Punggungku benar-benar hangat karena bersentuhan dengan tubuhnya. Tangannya juga yang memeluk perutku, benar-benar nyaman...)" Caise menutup mata merasakan itu.
Namun tiba-tiba, Leo menggigit leher Caise.
"Akh..." Caise terkejut berteriak kesakitan.
"Hah..." Leo tersadar, ia menggigit leher Caise hingga berbekas.
"Maafkan aku..."
"Mas Leo... apa yang kau lakukan?" Caise menatap dengan hampir menangis.
"Maafkan aku, Caise, aku benar-benar tidak sadar," Leo menatapnya. Lalu Caise terdiam. "(Apa dia menginginkan aku lebih peka padanya?)" Caise teringat kata-kata dari Noah.
Caise berpikir bahwa Leo ingin sesuatu darinya, dan itu harus ditunjukkan melalui sebuah cinta.
"Apa itu berbekas? Aku akan mengobatinya untukmu," kata Leo.
Namun tak disangka-sangka, Caise menarik kerah baju Leo, membuat Leo menurunkan badan, dan saat itu juga Caise mencium bibirnya.
"(Caise...)" Leo terdiam. Lalu Caise melepasnya dan segera menutupi bibirnya. "I... itu... kau puas?" tatap Caise.
Tapi Leo masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Itu tadi... Ciuman pertamamu?"
"... Uh..." Caise menangguk imut dengan wajah masih serius. Tatapannya sangat imut di mata Leo.
Lalu Leo tersenyum senang dan memeluk Caise. Seketika, Caise kembali terkejut. Leo memeluk dari depan, membuat buah dada Caise tertekan pada tubuhnya. "(Ack... sesak...)"
Tapi tiba-tiba ponsel Leo berbunyi dari sakunya, membuatnya mengangkat kepala dari pelukan itu. Leo mengambilnya dan mengangkatnya, dengan satu tangan masih memeluk Caise yang kebingungan.
"Ada apa?" kata Leo yang bicara di telepon.
"Kemarilah sebentar... seseorang ingin bertemu denganmu," kata orang yang menghubunginya, rupanya Noah yang menghubunginya. Lalu Leo menutup ponselnya dan kembali melihat Caise yang masih berwajah merah.
"Um... Mas Leo..." Caise menatap polos.
Lalu Leo kembali tersenyum dan memeluk Caise. "Oh, entah kenapa hanya dengan sebuah pelukan, aku bisa merasakan rasa nyaman yang tidak pernah aku terima sebelumnya," kata Leo.
Dari sana Caise berpikir sesuatu. "(Kenapa Mas Leo mengatakan itu? Apa dia mengatakan hal itu karena dia memang belum pernah melakukan pelukan seperti ini dengan orang lain... tapi bukankah aku bukan orang yang pertama untuknya... kenapa ini benar-benar aneh... tunggu, bisa jadi dia ingin menunjukkan sesuatu... tidak, dia ingin sesuatu...)" Caise terdiam, dan saat itu juga Leo merasakan sesuatu yang membuatnya agak terkejut.
Rupanya tangan Caise memeluk punggung Leo. Dia melingkarkan tangannya ke tubuh Leo, memberikan pelukan yang mendalam dan bermakna.
Leo tersenyum semakin lebar, lalu menghirup aroma rambut Caise. "(Ini benar-benar sangat wangi... Sampo yang sama seperti sampo jeruk...)" Leo berpikir begitu, sementara Caise berpikir lain. "(Aroma Mas Leo benar-benar nyaman, aku suka aroma parfum ini... parfum yang tidak terlalu menyengat, hanya saja ada sedikit aroma rokok, tapi aku suka ini... ini aroma yang hangat.)"
"Caise... bisa kau beri aku ciuman itu lagi?" tatap Leo.
"Apa... tidak."
"Ha? Kenapa?"
"... Eh maksudku... kau bisa mendapatkannya besok."
"Kalau begitu, kecup aku," kata Leo. Caise terdiam semakin merah. "Kalau begitu, bisa Mas Leo menundukkan badan?" Caise menatap.
Lalu Leo menundukkan badan, dan saat itu juga Caise mendekat ke wajah Leo dan mencium pipinya, tepat di bagian tato matahari itu. "(Aku sengaja meletakkan ciumanku di sana karena aku penasaran dengan tato itu... bagaimana bisa warnanya jingga?)" Caise menatap tato Leo itu.
"Itu sempurna... Terima kasih. Aku akan kembali lagi, manisku..." Leo mengecup kening Caise dan berjalan pergi.
Caise terkaku dan menjatuhkan dirinya di sofa. "(Akh... aku bodoh...)" Dia berguling-guling hingga jatuh ke lantai. "(Dia mengecup keningku dan mengatakan 'manisku'... astaga, ini benar-benar sangat memalukan!)"
Semua kucingnya tampak menghampirinya. Mereka satu per satu mendekat ke Caise yang masih salah tingkah, bahkan Leo sudah pergi sekalipun.
"Aku... benar-benar aneh... ini benar-benar aneh... uhk..." Dia masih tetap berguling dengan jantung yang berdegup kencang.
"Huf... sabar, Caise... jantungmu nanti malah sakit lagi," Caise memegang dadanya, tapi ia baru sadar pada kondisi buah dadanya.
"Rupanya buah dadaku memang besar... seharusnya Mas Leo beruntung, tapi dia tidak tertarik menyentuhnya dan malah memelukku... dia pikir tidak sesak karena dadaku terhimpit tubuhnya yang keras..." gumamnya dengan kesal. Tapi tiba-tiba perutnya berbunyi. "Oh... aku harus makan, besok juga masih sekolah..." Caise berdiri, lalu memasak. Rupanya gadis yang tinggal sendirian itu bisa memasak bahkan untuk dirinya sendiri.
Lalu dia tak sengaja memegang lehernya. "Untungnya ini tidak berbekas. Jika sampai berbekas... haiz... bisa gawat."