"Bukankah kau tadi lebih suka jika melakukannya lebih keras? Rata-rata orang yang datang itu begitu. Jika kau sekali saja melakukan kesalahan... Aku tidak akan segan-segan membunuhmu dengan harga dirimu yang rendah," kata Leo.
Dia membuat wanita itu merinding mendengarnya. "(Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa dia begitu menakutkan? Dari kata-katanya saja sudah membuatku tertusuk dan ketakutan. Apa ini benar-benar tawarannya? Itu agak terlalu berat untukku jika harus bergabung di barnya karena syaratnya itu, tapi aku juga ingin bertemu dengannya setiap hari...) Um... baiklah, Tuan. Aku mau melakukannya... apa pun untukmu," tatapnya.
"Hahaha... Ini adalah uji cobanya... di sini," Leo menepuk pintu khusus eksekutif tadi.
"(Wah, wah... Hanya aku dan dia melakukannya di dalam... Aku harus merayunya dengan baik. Haha...) Apa kau mau melakukannya sekarang? Aku sudah bawa sesuatu," dia mendekat dan mendekap lengan Leo, lalu pelan-pelan menunjukkan satu kondom yang dia bawa.
"Oh... benarkah? Kalau begitu, turuti itu dengan masuk ke mari," kata Leo, seketika menarik rambut wanita itu dan mendorongnya ke dalam pintu besar.
"Ah...!!" Wanita itu terkejut kesakitan ketika Leo memperlakukannya seperti itu, lalu ia dijatuhkan di lantai. "(Kenapa?! Kenapa dia melakukan itu?!)" Rupanya di ruangan itu ada seorang pria yang duduk di kursi.
Ia menoleh dan terkejut melihat wanita yang masuk, dan ternyata itu adalah Tuan Mandara. Tuan Mandara memang berada di bagian direktur dan salah satu direktur yang paling berpengaruh di kota.
Ia berdiri, dan saat itu Leo masuk dengan berjalan santai.
"Leo?" Tuan Mandara menatap tak percaya ketika melihat Leo masuk begitu saja.
Leo menoleh padanya dengan wajah serius, lalu ia tersenyum kecil. Tapi saat itu juga, amarah mulai terlihat di urat leher dan pipinya.
Ini seperti dia ingin sekali marah pada Tuan Mandara, tapi menahannya dengan rasa kesal dan menyembunyikannya dengan senyum kecil seringainya.
"... Aku membawa hadiah untukmu, kau bisa bermain bersama kupu-kupu ini," kata Leo. Dia menatap wanita tadi yang masih di bawah. Leo menarik lengan wanita itu dengan kencang, membuatnya berdiri.
"Akh!!" Wanita itu kesakitan dan menangis.
"Siapa dia? Apa salah satu dari bar milikmu?" tanya Tuan Mandara.
"Tidak... Dia tadi ingin melakukan hubungan brutal dengan laki-laki."
"(Apa... Apa yang sebenarnya terjadi??! Bukankah ini miliknya? Kenapa jadi orang lain?!)" Wanita itu gemetar.
"Oh, begitu ya. Aku bisa melakukannya hari ini... Terima kasih untuk ini, kawan. Aku sedang butuh sesuatu," kata Tuan Mandara.
"Baiklah... Aku akan pergi."
"Tunggu... Apa maksudmu kau bilang kau yang akan melakukannya!!?" Wanita itu menahan kaki Leo.
Leo pun menoleh dengan tatapan tajam. "Kau harus belajar sesuatu. Rayulah sesukamu saat ada lelaki sendirian... Aku punya gadis lain, jadi jangan berharap sesuatu soal tubuh dariku."
Mendengar itu, wanita itu terdiam kaku.
"Yeah, kau juga harus melihat sampulnya dulu," kata Tuan Mandara pada wanita itu, yang menoleh padanya setelah Leo keluar dari ruangan.
"Terima kasih sudah datang menghiburku. Aku akan menyiksamu sampai puas. Hahaha," kata Tuan Mandara. Seketika wanita itu gemetar kaku, tak bisa melakukan apa pun.
---
Leo berjalan keluar sambil menyalakan rokoknya. Dia lalu menatap mobilnya yang tadi terparkir. Saat akan membuka pintu, ponselnya berbunyi, membuatnya berwajah kesal karena harus melihat dari siapa.
Rupanya dari Noah. Ia menghela napas panjang dengan kesal lalu mengangkatnya.
"Yo, Leo..." Noah menyapa duluan. Saat itu, dia sedang duduk di bangku di tempat gym, dan Inei ada di sampingnya, mendekap lengannya. Sepertinya mereka pasangan mesra.
"Apa?" Leo membalas dengan wajah dingin.
"Haha, man... Aku sudah jadian sama wanitanya..." kata Noah. Inei yang mendengar itu tertawa kecil sendiri. "Itu aku..." tambahnya. Lalu mereka berdua tertawa bersama, tapi siapa sangka, Leo langsung mematikan panggilan itu.
"(Bangsat... Siapa yang mau mendengarmu, aku tak peduli kau bersama siapa dan dimana, dasar,)" Leo kesal. Dia hampir meremas ponselnya, tapi ia terdiam dan menggeleng, lalu menghela napas panjang.
Namun, ia teringat sesuatu, yakni Caise. "(Oh benar, Caise...)" Ia langsung senang dan bersemangat, segera masuk ke mobil dan akan menjemput Caise.
Sementara itu, Caise terdiam khawatir di bangkunya. "(Um... Bagaimana ini? Kenapa aku terus memikirkan hal ini? Bahkan takdir mimpi itu kembali memberitahuku tadi pagi... Aku bermimpi bahwa Mas Leo membunuh seseorang dengan sebuah belati hitam... Dia berdiri, dan mayat itu ada di bawahnya. Lalu dia menoleh padaku dengan senyum yang sangat mengerikan dengan gigi-giginya yang tajam... Dia memanggil namaku sambil menjatuhkan belati itu, berjalan mendekat dan memegang pipiku dengan tangan penuh darah. Lalu aku terbangun... Aku tak tahu apa yang terjadi... Tapi mimpi itu benar-benar memberitahuku bahwa Mas Leo memang pernah membunuh orang... Aku benar-benar ragu...)" Caise terdiam khawatir.
Lalu temannya, Naya, datang. "Hai, Caise, ayo pulang bareng..." Ia menatap.
"Oh, ah, baik," Caise tersadar dari lamunannya tadi dan segera berkemas.
Lalu mereka keluar dari gerbang bersama. Tapi mereka terdiam ketika melihat Leo berdiri di depan gerbang. "Oh, Caise," Leo melambai menyapa Caise.
"M... M... Mas Leo... (Aku tidak memintanya menjemputku kan...)" Wajahnya memerah. Apalagi semua orang memandang Leo dengan tatapan kagum.
"Wih... Siapa nih yang dijemput pacarnya, peduli sekali deh... Iri rasanya," lirik Naya. Caise hanya terdiam dengan wajah yang masih sangat merah.
"Um... Mas Leo, bagaimana Mas Leo tahu kalau hari ini aku pulang jam segini?" Caise menatap dengan wajah masih merah.
"Aku sudah tahu jam belajar gadis SMA sepertimu... (Sebenarnya aku meminta Noah mencari identitas Caise yang baru, termasuk jam belajar di sekolahnya.)"
"Um... Kalau begitu ayo kita segera pulang saja... (Sebelum ada banyak orang yang melihat dan gosip semakin merajalela,)" Caise memegang lengan Leo.
"Ya, baiklah. Aku akan mengantarmu dengan mobil," kata Leo.
"Ya, um... Naya, aku pergi dulu... Besok bertemu lagi," Caise melambai pada Naya yang masih terdiam.
Setelah itu, mereka ada di mobil. Caise tampak terdiam canggung dan Leo fokus mengemudikan mobilnya.
"(Aku ingin sekali bertanya apapun soal Mas Leo, apalagi soal pembunuhan... Tapi apa ini baik?)" Caise terdiam.
Hingga Leo memanggilnya. "Caise."
"Ah, ya?" membuat Caise terkejut dan menoleh padanya.
"Apa kau ingin sesuatu? Cemilan atau makanan lainnya?" Leo menatap.
"Eh, tidak... Aku sedang tidak membutuhkan apapun."
"Apa kau yakin? Bagaimana dengan kucing-kucingmu? Dan oh, kau bilang kau bekerja di kafe kucing, bagaimana perkembangannya? Aku tidak pernah melihatmu ke kafe kucing."
"Ah soal itu, haha... Aku mulai bekerja dua hari lagi, ada perubahan jadwal, jadi mungkin dua hari lagi aku akan pertama kali bekerja di sana," kata Caise.
"Lalu bagaimana kau dapat uang untuk kebutuhan sehari-hari sebelum kau bekerja sambilan?" Leo menatap.
"... Sebelum meninggal, orang tuaku memberikan uang tabungan padaku yang cukup hingga aku dewasa nanti, tapi aku mungkin harus mulai bekerja sambilan dan lebih memilih tidak memboroskan uang di tabungan itu."
"Apa jumlahnya masih banyak?"
"Ya begitulah, aku juga kesulitan karena soal kucing-kucingku. Mereka harus aku beri makan dan yang lainnya... Itu juga tidak sedikit."
"Kalau begitu kita beli makanan dan perlengkapan kucing yang lain," kata Leo.
"Eh, apa?!"
"Aku lihat, kucingmu itu ada lebih dari 10, bukan?"
"Um... Ya... Tapi aku mulai memelihara kucing ketika umurku 15 tahun, jadi ketika masih ada orang tuaku, aku belum sama sekali memelihara kucing."
"Kenapa? Apa orang tuamu tidak mengizinkanmu?"
"Ya, mereka bilang kucing itu kotor dan hanya merepotkan pemiliknya saja... Nanti rumah menjadi kotor dan tidak terurus."
"Haha, siapa bilang begitu... Justru saat aku masuk ke rumahmu, aromanya hanyalah sampo kucing saja. Benar-benar harum dan sama sekali tidak ada bau tidak menyenangkan," kata Leo.
"Um, terima kasih... Setiap pulang sekolah, aku membersihkan kucing-kucingku. Mengurus mereka benar-benar melelahkan."
"Pantas saja... Kau kadang beraroma sampo kucing... Apa kau suka memandikan mereka?" Leo menatap.
"Yup, bagian yang paling aku suka adalah memandikan kucing."
"Tapi yang aku dengar, para pemilik kebanyakan takut memandikan kucing, karena mereka memberontak."
"Jika dari kecil diajarkan menyentuh air, kucing akan terbiasa dan hanya akan diam jika dimandikan. Rata-rata kucingku itu sudah kenal air dari kecil, dan pastinya aku mencari sampo dengan aroma paling wangi," kata Caise.
"Kau benar-benar pandai merawat mereka..."
"Yah begitulah, tapi akhir-akhir ini produktivitas merawat kucing menjadi berkurang karena kebutuhan kucing juga berkurang..." Caise memasang wajah lelah.
"Apa itu impianmu, memiliki kucing sebanyak itu?" Leo menatap.
"Yeah, begitulah... Tempatku juga benar-benar ekstrem untuk mereka karena bisa saja mereka keluar dari apartemenku. Terkadang mereka ada di jendela, aku takut mereka akan melompat... Jadi aku benar-benar erat dalam mengunci pintu maupun jendela. Jika jalan-jalan, aku terkadang membawa mereka secara bergantian, tapi sekarang... Sudah sangat berkurang... Aku lelah menjaga mereka," kata Caise.
"Caise... Kita semua tahu bahwa merawat kucing itu tidak mudah, tapi sudah jelas mereka menyukaimu. Kucing-kucingmu sudah menganggapmu sebagai ibunya... Karena kau merawat mereka dengan lembut," kata Leo.
Hal itu membuat Caise terdiam menatap.
"Dari tatapan mereka, aku sudah tahu. Mereka benar-benar menyukaimu, dan jika pun mereka melihat pintu terbuka sementara kau ada di dalam apartemen, mereka juga tak akan meninggalkanmu," kata Leo.
"Ba... Bagaimana Mas Leo tahu?" tatap Caise.
"Mereka saja nyaman, apalagi aku," Leo langsung membalas membuat Caise berwajah sangat merah.
"(Kenapa dia mengatakan hal itu, itu benar benar membuat ku merasa sangat sangat malu sekali... Kenapa...)" Caise gemeteran dan dia benar benar sangat malu.
"Caise..." hingga Leo memanggil membuat Caise terkejut dan langsung menatap. "Ya?!"
Leo awalnya hening tapi dia mengatakan sesuatu. "Aku ingin kau memperlakukan ku seperti kucing kucing mu, aku sangat ingin... Apa kau mau?" tatapnya.
Seketika Caise tambah diam, tapi ia dengan wajah merah nya membalas. "Bo... Boleh... (Aku tahu, meskipun dia terlihat begitu menyeramkan, tapi aku tahu bahwa dia memiliki sikap yang baik jika pada orang yang sangat ia sukai...)"