Leo sudah naik mobil dan ia kehilangan waktu untuk mengangkat panggilan ponsel Nona Walwes tadi sehingga Nona Walwes menghubungi dua kali. Kali ini, Leo menerima panggilan itu sambil mengemudi.
"Leo, kau itu?" tanya Nona Walwes.
"Kau meminta aku mengambilnya? Aku akan mengambilnya," kata Leo.
"Ya, berlian itu harus diambil, tapi... Tuan Mandara, dia bilang padaku dan meminta tolong agar kamu mengambil barangnya juga," kata Nona Walwes.
Leo menghela napas panjang. "Itu tidak ada untungnya bagiku."
"Kau akan dibayar dia kan?"
"Aku tak peduli dengan uang...."
"Lalu kau menginginkan apa, kau bisa bilang padanya," kata Nona Walwes.
"Aku tidak meminta apapun, sudahlah.... Aku tetap tidak mau," kata Leo, seketika ia menutup panggilan itu, membuat Nona Walwes terdiam dengan wajah bingung.
Lalu Leo melempar ponselnya di bangku sampingnya. "Ha...." Diiringi helaan napas panjang.
"(Ada saja masalahnya.... Aku harus menjadi budak direktur, aku harus bertarung dengan geng yang mencari gara-gara denganku, dan ujung-ujungnya, aku hanya akan menyembunyikan ini semua hanya karena seorang gadis yang aku sukai.... Aku berpikir bagaimana dia melihatku dengan posisi seperti ini kelak... Apalagi dia belum tahu aku dari keluarga mana... Kediaman pasti tidak menerimanya jika aku ingin bersama dengannya, karena Caise tidak ada hubungannya dengan darah bermarga....)" pikir Leo dengan banyak pikiran berkecambuk.
Sementara itu, Caise mengambil apron memasak dan ia mulai menyiapkan makanan sambil bersenandung dengan senang.
Namun, ia terkejut sendiri ketika mengingat tadi. "Akh.... Kenapa pikiran ini terus mengganggu... Aku benar-benar tak tahu harus menghilangkannya bagaimana," ia panik sendiri. Dia bahkan mengingat ketika memeluk Leo, mencium bibir, maupun tidur di ranjang yang sama.
"(Untungnya dia tadi malam tidak melakukan apapun, dan jika diingat, ketika dia mengelus punggungku..... Rasanya benar-benar sangat nyaman... Sangat nyaman... Aku ingin dia melakukannya lagi...)" Caise terdiam dengan wajah merah, tetapi ia menggeleng dan kembali fokus memasak.
"(Tidak baik memikirkan ini berlebihan.)" ia memilih fokus pada memasak nya.
Setelah selesai menyiapkan, Caise menutup pintu apartemennya dan menguncinya, lalu ia berangkat ke sekolah.
Namun, ketika turun dari tangga apartemen, ia terdiam kaku karena melihat mobil Leo ada di depan apartemen. Leo sendiri tampak merokok di bagian bagasi mobil, bersandar di sana, membuat Caise terdiam menatapnya.
"(Astaga... Bukankah tadi Mas Leo bilang dia pulang? Apa dia benar-benar pulang tadi? Tapi sudah jelas dia pulang karena bajunya berganti. Dia memakai kemeja hitam dan tampak sangat tampan... Ah, apa yang aku pikirkan? Aku tak boleh terlalu hilang kendali,)" pikir Caise sambil menggeleng. Tapi saat itu juga, Leo menoleh dan tersenyum kecil.
"Caise~" dia melambai pada Caise, yang terkejut karena Leo melihatnya.
Leo berjalan mendekat. Saat itu juga, ia menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya sambil terus berjalan mendekat. "Ayo, aku antar," katanya sambil menatap Caise.
"Tunggu, apa Mas Leo sudah dari tadi di sini?"
"...Tidak, aku kebetulan baru sampai."
"Pasti Mas Leo buru-buru, kan? Berganti baju dan buru-buru ke sini. Bagaimana dengan sarapan? Mas Leo sudah sarapan, kan?" Caise menatap Leo dengan khawatir.
"...Aku... Aku tidak pernah sarapan."
"Bagaimana bisa Mas Leo bertahan tanpa sarapan? Aku tidak meminta Mas Leo mengantarku, kan?" Caise semakin khawatir.
"Ini baik-baik saja. Aku memang sudah terbiasa tidak sarapan... Baiklah, ayo," kata Leo sambil membuka pintu mobil untuk Caise.
"Um... Haiz... Baiklah," Caise akhirnya menyetujui dan duduk di dalam mobil.
Setelah itu, mobil Leo berhenti di depan gerbang sekolah Caise.
"Baiklah, aku turun," kata Caise.
"Ya, kau harus semangat belajarnya," balas Leo dengan senyum ramah.
Caise menghela napas panjang. Sebelum membuka pintu, dia mengambil sesuatu dan menyerahkannya pada Leo, yang terdiam bingung.
Itu adalah kotak bekal makan siang.
"Caise?"
"Aku membuat ini untuk Mas Leo."
"Kau bohong, itu untukmu, kan?" Leo menatap tajam.
"Eh... Ini benar-benar untuk Mas Leo. Aku membuatkannya untukmu."
"Lalu kau nanti makan apa?"
"Aku bisa membeli di kantin. Jangan khawatir... Ini untuk Mas Leo, lagipula Mas Leo belum sarapan, kan? Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantarku. Setelah mencicipinya, tolong katakan padaku apa yang kurang dari masakanku," kata Caise dengan senyum manis, membuat Leo terpukau melihatnya.
Tak lama kemudian, Caise melambai dari luar jendela mobil dan berbalik menuju gerbang sekolah.
Leo terdiam menatap bekal makan di tangannya, lalu ia meletakkannya di bangku samping. "Yeah... Aku juga belum pernah merasakan masakannya," gumamnya. Lalu, saat menatap jam, matanya melebar terkejut, dan ia segera menginjak gas mobilnya.
Mobilnya melaju cepat hingga ia sampai di Universitas Hukum. Setelah memarkir mobil, ia menghela napas. "Ini hampir membuatku terlambat," katanya sambil menatap jam tangan.
Kemudian, ada yang mengetuk jendela mobilnya, membuat Leo menoleh. Ternyata itu Noah.
"Leo... Cepat keluar!" seru Noah.
Leo membuka pintu dan keluar. "Aku sudah menunggumu setengah jam. Apa kau sengaja terlambat atau bagaimana?" Noah menatapnya tajam.
"Aku mendapatkan ini," Leo menunjukkan bekal makan siang dengan senyum sombong pada Noah yang tampak bingung.
"Hahaha... Akhirnya aku mendapatkan bekal makan siang yang dibuat oleh kekasihku sendiri... Beruntung sekali punya dia yang bisa memasak," kata Leo sambil berjalan melewati Noah yang masih bingung.
"(Aduh... Sikapnya berubah...)" pikir Noah.
Di kampus, saat Leo berjalan melewati para mahasiswa lain, mereka menyapanya dengan ramah. "Leo! Pagi!"
"Leo!"
"Ya ampun, Leo..."
Namun, Leo hanya menatap lurus ke depan, diikuti oleh Noah. "(Kenapa? Heran? Dia mungkin punya sikap buruk, tapi itu tak masalah bagi mereka. Di mata mereka, dia ini adalah model pria paling dominan... Ck... Ini juga mengganggu,)" pikir Noah.
Ketika jam istirahat tiba, Leo bersandar di bangkunya. "Membosankan," katanya, sambil menutup bukunya. Tak lama, Noah datang bersama yang lain.
"He, Leo... Mau ikut ke kantin?" tanya salah satu dari mereka.
"Ah, maaf teman-teman," Noah langsung menyela. "Dia sudah punya pacar, dan, oh ya, beri tahu yang lain... Dia sudah di kasih bekal manis dari pacarnya."
Leo mendengar itu dan terkejut. "Sialan kau, Noah!"
"Wo... Wo... Kami tahu, kawan. Kau punya banyak pacar. Banyak yang mengaku sebagai pacarmu, itupun resmi darimu sendiri," mereka malah bercanda.
"Sialan... Ini bukan berarti aku harus mengakui mereka satu per satu..."
"Ya, kawan. Ngomong-ngomong, mau ikut minum atau mabuk setelah kampus?" tawar mereka lagi.
"Ajak saja dia, aku tidak mau ikut," Leo menunjuk Noah.
"Wah, beneran nih? Jangan berikan tumpukan tugas padaku jika kau mengizinkanku ikut mereka," balas Noah.
"Yeah, terserah. Aku bisa menggarap semuanya tanpa bantuanmu," jawab Leo sombong.
Setelah mereka pergi, kelas menjadi kosong. Leo membuka kotak makan siang Caise dengan sumpit di tangannya.
Ketika dibuka, makanan di dalamnya terlihat sangat cantik dan menggoda. "Ini tampak seperti makanan rumahan. Selama ini aku tak pernah memakan makanan rumahan," gumamnya, lalu mulai memakannya.
Pada suapan pertama, matanya melebar tak percaya. Ia menggenggam sumpit lebih erat dan mengunyah lalu menelannya, menghela napas panjang.
"Ini benar-benar enak..." ia terpukau.
Namun, tiba-tiba ada seseorang yang masuk, dan wajah Leo langsung berubah dingin.
Ternyata seorang wanita. "Oh, Leo... Kupikir tidak ada orang," katanya sambil mendekat.
Wanita itu mulai berjalan dengan langkah menggoda, lalu berdiri di belakang Leo. Dia menyentuh bahunya dan mengusap dadanya. "Leo... Aku tertarik padamu. Tak ada yang lain... Ayo menjalin hubungan. Aku akan memberikan apa pun padamu, termasuk tubuhku," bisiknya. Namun, saat ia melihat bekal makan siang yang imut itu, ia menyeringai.
"Oh, itu favoritmu? Aku bisa membuat yang lebih baik dari itu. Aku bisa menambahkan daging yang lebih enak, kecuali kau memberiku uangnya... Haha..." katanya lagi.
Saat itu juga, sumpit yang ada di tangan Leo menjadi bengkok, padahal itu sumpit besi yang kuat, membuat wanita itu terkejut melihatnya.
Tuk!!
Leo meletakkan sumpit bengkok tadi di mejanya dan langsung berdiri, membuat wanita itu menengadah menatapnya.
Leo berjalan mendekat dengan senyum tajam dan tertawa. "Hahaha, benarkah? Kau ingin membuatkan aku makanan yang sama? Hahaha... Kau ingin bersama aku, huh?" dia mendekat.
"Ya... ya... Aku sangat ingin bersamamu, Leo..." Wanita itu masih menggoda meskipun dia benar-benar takut melihat aura Leo.
"Begitu, huh... Tapi sayangnya, aku mencintai seseorang yang bisa melihat sifatku yang lain," kata Leo.
"Apa? Jangan-jangan yang membuatkanmu bekal itu? Apa ini karena dia?! Aku bisa membuat lebih baik lagi... Lihat ini!" Wanita itu mengambil bekal makan siang itu, membuat Leo menggertakkan giginya menahan amarahnya.
Wanita itu malah berjalan ke tempat sampah dan membuang makanan itu beserta tempat makannya, membuat Leo menatap tak percaya.
"Lihat, sekarang ayo ikut aku, aku akan menunjukkan makanan terbaik," wanita itu bersikap sok akrab pada Leo.
"Kau..." Leo mengepalkan tangan. "Sialan!!! Apa yang telah kau lakukan pada makananku?!!" teriak Leo.
Wanita itu terkejut mendengar teriakan Leo. Teriakan keras dan sangat temperamental itu terdengar di banyak lorong, dan kebetulan Noah ada di lorong menuju kelas.
Ia yang mendengar teriakan itu berlari masuk ke kelas Leo dan wanita tadi, tapi siapa sangka, darah mengalir dari bawah pintu. Karena kelas itu memiliki meja seperti kursi panggung—semakin ke belakang semakin tinggi seperti tangga—darah itu mengalir dari banyak pijakan tinggi dan turun seperti air mengalir dengan lancar.
Noah tak percaya melihat itu. Ia lalu berlari mengikuti aliran darah dan mendapati wanita tergeletak tak bernyawa di sana.
"Sialan kau, Leo...!!" Noah menatap mayat itu dengan pupil mata bergerak ke mana-mana karena wanita itu mati dengan mengenaskan—luka pisau di lehernya dan juga tusukan sumpit besi yang bengkok tadi ada di lehernya.
"(Bisa-bisanya kau membunuh orang di kelas terbuka saat ini... Sialan... Aku harus segera membersihkan ini,)" Noah berpikir panik. Dia mengeluarkan plastik sampah. Untungnya kelas dan lorong itu sepi, tak ada siapapun.
"(Sebenarnya, ini sudah kesekian kali dia melakukan nya. Orang orang di kampus ini mengetahui sikap Leo yang begitu, tetapi mereka tidak takut karena Leo hanya diam, termasuk alasan lain, mereka masuk ke kampus ini karena mereka memiliki hubungan erat dengann pekerjaan mafia. Mulai dari orang tua, kerabat dan yang lain nya. Kampus ini memang terlihat normal, tapi mereka menggunakan uang darah manusia.... Tak ada yang berbeda di sini...)"