Sesampainya di rumah sakit, Caise dihubungi oleh seseorang, yakni Naya, temannya.
"Aduh..." Ia berhenti berjalan.
"Caise, ada apa?" Leo menatap, dia sudah berjalan masuk ke dalam bersama Noah.
"Mas Leo, duluan saja, aku hanya sebentar," Caise menunjukkan ponselnya.
"Aku akan menemani," Leo mendekat, tapi siapa sangka, darahnya keluar begitu saja dan muncrat mengenai baju Caise. Sepertinya luka itu memang parah.
"Akh!" Caise terkejut melihat cipratan darah Leo mengenai baju bagian dadanya.
"Hah, maafkan aku," Leo terkejut.
"Leo, sudahlah," Noah menarik kerah Leo dan membawanya masuk ke dalam, sementara Leo masih menatap Caise dari jauh.
"Darah Mas Leo... mengenai bajuku... Kenapa darah ini benar-benar sangat gelap," Caise menatap dadanya, tapi ponselnya terus berbunyi membuatnya mengangkat panggilan.
"Halo Naya, ada apa?"
"Ah, Caise... Aku sebenarnya ingin meminta bantuanmu. Mari belajar bersama, aku agak kurang paham bab kedua dari pelajaran pertama. Kamu pasti paham, bisa ajarkan aku sekarang? Aku akan ke apartemenmu," kata Naya di telepon.
"Eh, tunggu Naya, jangan pergi dulu," Caise berteriak, membuat Naya terdiam bingung. "Um... Aku sedang tidak ada di apartemen sekarang, takutnya tidak bisa ke sana juga karena ada urusan penting."
"Ada apa? Oh... Aku tahu, pasti pacarmu ngajak jalan-jalan, kan... Wah, wah... Parah, besok masih sekolah aja pacaran," Naya bercanda.
"Haiz, apaan sih, aku itu ada di rumah sakit."
"Hah, di rumah sakit?! Kau kenapa?! Sakit?"
"Um, sebenarnya Mas Leo baru saja kecelakaan."
"Astaga... Aku mengerti. Lalu bagaimana kondisinya?"
"Ini agak aneh..." kata Caise, dia mendadak melihat sekitar seperti memastikan bahwa tak ada orang.
"Ada apa? Aneh kenapa?" Naya penasaran.
"Luka Mas Leo sangat parah, bahkan jika orang lain mengalaminya, pasti akan langsung tidak sadarkan diri, tapi dia benar-benar tenang dan tidak merasakan sakit sedikit pun..." kata Caise.
"Hm... Itu memang aneh sih, tapi siapa tahu dia kuat. Dia pasti tidak kesakitan karena kuat, atau karena dia tak ingin kamu mengkhawatirkan sakitnya."
"Hah, sampai segitunya? Hanya karena luka, dia menahan sakit di depanku? Tapi itu pasti tetap menyakitinya," Caise mulai khawatir.
"Semuanya begitu, Caise. Hantar dia saja, temani dia, dan maaf mengganggu. Sampai jumpa," kata Naya, lalu menutup panggilan, membuat Caise terdiam.
"(Aku tidak mengerti, kenapa ini aneh sekali... Mas Leo tidak mungkin menyembunyikan sakitnya, kan... Itu tidak baik untuknya,)" pikir Caise, semakin khawatir, lalu segera menyusul ke ruangan di mana Leo tadi berada. Kebetulan, ada Noah di depan salah satu pintu ruangan.
"(Untungnya ada Mas Noah, aku bisa bertanya padanya.) Mas Noah..." Caise memanggil dan mendekat.
"Caise, sudah selesai?"
"Ya, bagaimana dengan Mas Leo?"
"Dokter sedang mencoba mengobatinya, tapi setelah ini kau bisa dengar apa yang terjadi," kata Noah dengan tatapan datar dan tenang.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari dalam ruangan.
"Akh... Aku benci anestesi!" rupanya Leo yang berteriak di dalam.
"Hah, Mas Leo kesakitan, aku harus ke dalam," Caise langsung melewati Noah dan masuk ke dalam.
Saat itu juga dia melihat Leo yang duduk di atas ranjang rumah sakit, menghadap dokter yang duduk di kursi depannya.
Leo tidak telanjang dada, kemejanya hanya dikancing separuh dan diturunkan di lengan kirinya untuk membuat lukanya terlihat. Lukanya ada di bahu hingga lengan kirinya, dan saat itu juga tato-nya terlihat dari leher, melewati bahu ke belakang punggung.
Dokter, perawat, dan Leo yang ada di sana menatap Caise dengan diam.
"Caise," Leo langsung tersenyum senang.
Dokter segera akan memberikan cairan obat pada luka Leo, tapi siapa sangka. "Ahk... Sialan... Itu sakit!!" dia langsung menatap tajam, padahal dokter belum menyentuhnya.
"Er..." Dokternya menjadi ragu.
Caise yang melihat itu menghela napas panjang dan berjalan mendekat ke Leo, lalu memegang kedua pipi Leo agar Leo menghadapnya. "(Rupanya dia tidak sepenuhnya menyembunyikan rasa sakitnya, dia malah seperti anak kecil yang takut sekarang.) Tatap aku..." Caise menatapnya, membuat Leo terdiam juga menatap wajahnya.
Dokter menatap Caise, seolah berkata, "Tolong, alihkan perhatiannya... Mentang-mentang punya otot keras, tapi teriakannya seperti kesakitan..."
"(Haiz... Ini juga bukan salahku Mas Leo bertingkah begini ketika melihat anestesi... Bagaimanapun juga aku harus mengalihkan perhatiannya.) Mas Leo... Apa makanan kesukaanmu?" Caise menatapnya, lalu melirik dokter, dan dokter mengangguk, mengerti maksud Caise. Ia mencoba mengalihkan perhatian Leo.
Dokter perlahan memberikan cairan tadi di luka bahu Leo.
"Makanan kesukaanku... E... A... Sakit!! Sialan!!" Leo malah menoleh ke dokter itu, tapi Caise menjadi kesal dan kembali menarik pipi Leo.
"Apa Mas Leo suka masakan yang aku buat?" Caise menatapnya.
"Ah, iya... Aku suka makanan yang kau buat, sayang!! Akhh!!" Leo berteriak di antara rasa sakitnya.
Tiba-tiba, Caise menutup bibirnya dengan tangannya, membuat Leo terdiam.
"Hiz... Kau bisa melindungi kucing tadi tanpa kesakitan saat kecelakaan tadi, kenapa saat diobati malah sakit, hah?! Bukannya kamu itu lelaki, luka sebegitu kecil saja kesakitan?! Apa kamu perlu dibius?" Caise menatap tajam, membuat Leo terdiam.
"Kenapa diam?!" Caise menatap marah.
"Nona, sebenarnya, kami harus membuat 24 jahitan di sini," kata dokter, seketika Caise terkejut dan menutup bibirnya sendiri.
"(Astaga, rupanya memang separah itu, aku tidak boleh heran dengan sakitnya...) Tapi tetap saja, kenapa harus berteriak tidak suka anestesi?"
"I... Itu, maksudku... Alkohol semacam anestesi sangat sakit jika bersentuhan dengan luka..." Leo menatapnya.
"Ha..." Caise menghela napas panjang, lalu menatap serius Leo. "Kamu terlalu kaku, istirahatlah selagi bisa... Kalau tidak, kamu akan jatuh terkapar sebelum menghadapi pertempuran yang sesungguhnya."
"Pertempuran yang sesungguhnya? Apakah ada hal itu?"
"Tidak, aku hanya bicara soal kehidupan," kata Caise, membuat Leo terdiam dan membuka mata lebar.
"Hidup dengan bahagia dan jujur, selagi melakukan yang terbaik berdasarkan keyakinanmu. Tapi kamu juga terkadang mengikuti arus dan menyembunyikan yang sebenarnya, bahkan di depanku sekalipun. Meski begitu, kamu tetap harus memberitahuku yang sesungguhnya," kata Caise.
Leo masih terdiam, dia lalu menunduk. "Maafkan aku... Aku benar-benar pria yang buruk untuk gadis baik sepertimu."
"Siapa yang bilang Mas Leo buruk?" tatap Caise. Sementara Dokter bisa fokus mengelap darah Leo agar lukanya bersih dan bisa dijahit nanti.
"Aku tidak menganggap Mas Leo buruk, bahkan aku menganggap Mas Leo sangatlah baik. Begitu baik sehingga aku benar-benar hampir terluka olehmu. Kamu bahkan berhasil mendekati kucing itu, hanya saja ada masalah, itu saja," kata Caise dengan senyum manisnya.
Leo masih terdiam menatapnya, lalu Caise memegang pipi Leo di bagian tato matahari itu, tepatnya di bawah mata kirinya.
"Aku selalu ingin tahu soal Mas Leo... Tak peduli apapun itu..." tambah Caise.
Lalu dokter meletakkan alatnya. "Baiklah Tuan, Anda akan melakukan jahitan setelah ini."
". . . Mas Leo, apa kamu akan baik-baik saja?" tatap Caise dengan khawatir di wajahnya.
Lalu Leo memegang kepala Caise dan mendorongnya mendekat, lalu mencium kening Caise, membuat Caise terkejut dan memerah.
"Ini tidak seperti aku operasi melawan kematian, ini hanya salah satu luka biasa saja," kata Leo. Lalu Caise tersenyum senang menatap wajah Leo yang juga lembut.
Setelah itu, tampak Caise menunggu di kursi tunggu lorong rumah sakit dengan tenang dan rapi. Ia juga menatap ponselnya.
Di saat itu, Noah datang. "Caise," dia menatap, membuat Caise menengadah.
"Bisa aku duduk?" tatapnya.
"Ya, silakan duduk," Caise mengizinkannya, lalu Noah duduk di sampingnya dengan jarak agak jauh.
"Kau sudah melihat tato Leo?" tanya Noah, membuat Caise terdiam sebentar.
". . . Kenapa bertanya sekarang? Aku sudah dari awal melihatnya."
"Kupikir kau belum melihatnya... Sekarang aku yakin kau sudah melihatnya," kata Noah.
". . . Yeah... Aku sudah melihatnya."
"Bisa kau gambarkan bentuk dari tato itu?" Noah menatap.
Lalu Caise terdiam sebentar untuk berpikir. "Di punggungnya... Itu adalah hal yang tidak bisa aku katakan. Gambarnya tidak begitu jelas karena tato memiliki seni tidak beraturan, dekoratif yang berbeda, dan menutupi objek tertentu. Aku tak pernah paham dengan seni tato, jadi... aku hanya bisa melihat harimau," kata Caise.
". . ." Noah terdiam. Dia lalu mengeluarkan rokok. "Kau baik-baik saja?"
"Ini baik-baik saja, lakukan saja," balas Caise.
Lalu Noah menyalakan rokoknya, tapi ketika waktunya membuang asap, dia mengarahkan ke arah lain agar Caise tidak menghirup rokoknya.
Padahal di sana sudah tertulis dilarang merokok.
"Mas Noah... Itu..." Caise baru sadar ada tanda dilarang merokok.
"Itu baik-baik saja. Jika diberitahu orang, aku juga berhenti. Aku hanya sedang ingin merokok," balas Noah.
Lalu suasana kembali diam, dan Noah mengeluarkan asapnya sebelum bicara. ". . . Tato itu memang seekor harimau. Harimau itu ada di punggungnya, dan sesuatu yang menjalar ke lehernya itu adalah ekor harimau yang begitu tajam.
Di bibir harimau itu ada... kucing mati yang dia gigit di taringnya. Tetesan darah menjadi motif yang menutupi harimau itu. Warna merah berada di gradasi punggungnya, dan warna api terang ada di tubuh harimau dan kucing itu. Sebenarnya itu bukan kucing, itu harimau lebih kecil...." kata Noah.
". . . Apa maksud itu...." Caise menatap dengan wajah tak percaya.
"Tato itu memiliki makna tertentu, dan orang yang membuatnya... Mungkin kamu bisa tanya sendiri, itupun jika dia tidak akan terganggu dengan pertanyaanmu."
"Kenapa aku harus tanya Mas Leo jika Mas Noah ingin memberitahuku?" Caise menatap.
". . . (Pemikiran gadis ini lebih bagus dari kecerdasan buatan....) Itu pacar Leo sebelumnya. Sikap mereka tidak lebih berbeda. Mereka berpisah karena sesuatu. Sudah, itu saja. Aku tak bisa lebih dalam memberitahumu," kata Noah.
Caise terdiam. Dia agak kecewa. ". . . Aku ingin tahu pacarnya itu apa."
". . . Dia seniman tato dan dia disebut sebagai gadis bulan, karena dulu Leo memiliki julukannya di depannya, yakni matahari," kata Noah sekali lagi, membuat Caise benar-benar terdiam.
"(Aku ingin tahu siapa gadis itu.... Kupikir selama ini aku yang pertama menjadi kekasih Mas Leo....)"
Setelah penjahitan selesai, Leo tampak telanjang dada di atas ranjang rumah sakit.
Jahitan itu terlihat mulai dari bahu Leo hingga lipatan siku. Itu sayatan yang begitu besar. Jahitan itu tidak terlihat karena tertutup penutup luka agar darahnya tidak keluar.
"(Jahitan sebanyak ini sudah beberapa kali pernah aku dapatkan,)" pikirnya.