Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 10 - Chapter 10 Don't Be Shy

Chapter 10 - Chapter 10 Don't Be Shy

Esoknya di sekolah, Caise duduk di bangkunya dengan wajah yang tidak nyaman.

"Uh... Sakit..." Caise menekan perutnya saat duduk di meja.

"(Aku benar-benar kesakitan di sini... Kakiku tak bisa jalan, punggungku pegal, rasanya sangat sakit... Dan aku tahu, ini mulai terjadi tadi pagi. Untungnya tadi pagi, bukan sekarang... Kalau mendadak sekali, aku tak akan bisa menghadapinya,)" pikirnya dengan wajah agak pucat.

Lalu Naya datang. "Hey, Caise," dia menyapa dan langsung duduk di depan Caise.

"Ha... Halo..."

"Hm? Ada apa denganmu? Kau tampak tidak sehat." Dia duduk di depannya dan hanya dia yang peka kenapa Caise merasakan sakit.

"Aku sedang... datang bulan... Hng, sakit sekali," Caise mengeluh, dia terus saja menekan perut bawahnya.

"Apa sesakit itu? Kamu tidak makan obat penghilang nyeri?" Naya menatapnya.

"Aku berhenti menggunakannya, karena aku sudah membaca kandungannya. Jika dimakan terus, akan menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi area kewanitaan. Aku tidak mau memakainya."

"Tapi jika kau tidak memakan pilnya, rasanya akan sakit dan itu pasti akan deras sekali."

"Akh, sudahlah... Jangan buat aku tambah memikirkan itu. Aku juga akan ganti nanti... Entah kenapa tahun ini rasanya benar-benar sakit."

"Baiklah kalau begitu, apa masih sakit?"

"Ya jelaslah, ini akan selalu sakit selama 4-7 hari ke depan."

"Mau aku antar ke ruang UKS?" tawar Naya.

"Tidak perlu, nanti juga hilang sendiri."

"Jika kau tidak mau minum obatnya, minumlah air putih banyak-banyak..."

"Iya..."

"Oh, soal ini, apa pacarmu tahu? Jika dia tahu, dia pasti sedia pembalut untukmu, hehe..."

"Apaan sih kamu?!" Caise menatap kesal.

"(Wah, sepertinya dia juga lagi PMS,)" batin Naya.

"Ah, benar, kau sudah dengar gosip di publik belakangan ini, kah?" tanya Naya.

"Hm? Gosip apa?"

"Selama ini, ternyata banyak geng yang telah menghuni kota ini. Itu terlihat ketika sekumpulan orang geng tergeletak di jalanan pada malam hari, dan ditemukan esok harinya setelah mereka dikalahkan. Ini seperti mereka dikalahkan oleh seseorang, dan ada juga dari mereka yang mati di tempat."

"Apa orang yang mengalahkan mereka itu memiliki maksud baik untuk mengusir geng itu?"

"Aku tidak yakin, jika dia bermaksud baik tentunya tidak sampai membunuh, kan?" kata Naya.

"Benar juga."

Mereka tidak tahu bahwa yang melakukannya adalah Leo. Hanya gosip seperti itu yang tidak akurat, dan Leo benar-benar lolos dari buronan apapun itu.

"Eh... Ngomong-ngomong, apa kalian sudah kiss kiss atau apapun itu?" Naya menatap dengan tatapan bercanda.

"Um... Sudah..."

"Wah wah... Jadi bagaimana rasanya?"

"...Apa maksudmu?"

"Kalian melakukan ciuman bibir, kan?"

"Tapi tidak lama, bukan ciuman dalam, hanya ciuman yang sangat singkat dan diakhiri dengan kecupan di pipinya."

"Awwhh... So sweet banget deh... Tapi percuma saja kalau tidak melakukan deep kiss... Kau harus melakukan itu, ya," kata Naya.

"Kamu ini, menyuruhku begitu, memangnya kamu pernah?" Caise melirik.

"Oh, ya jelas, aku sudah gonta-ganti pacar dari SMP."

"Astaga... Suhu..." Caise menatap terkejut.

"Haha, tentu... Oh, boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa? Soal pacarku lagi pasti," Caise melirik.

"Hahaha iya, si pacarmu itu kerja apa?" tanya Naya.

"Dia masih kuliah katanya, dan temannya bilang dia bekerja. Entahlah, pekerjaannya seperti apa, aku masih bertanya-tanya. Setiap aku bertanya, dia menghindar seperti perkataan orang aneh, dan di sini, yang paling membuatku terkejut sekaligus tak percaya adalah, rupanya dia dari fakultas hukum internasional itu!!"

"Apa?!" Naya terkejut tidak karuan. "Wah, wah... Ternyata dia lelaki hukum... Kalau sudah dapat kerja, gajinya pasti banyak banget... Apa itu dari orang tuanya?"

"Sepertinya tidak, itu usahanya sendiri karena dia bilang sendiri... Dia memang tidak menjelaskan secara detail soal orang tuanya, tapi aku yakin dia itu pria yang mandiri dari kecil..."

"Lalu, dilihat dari tubuhnya itu, apakah dia pandai bertarung? Soalnya tubuhnya juga besar untuk pria seumurannya. Dia pantas disebut sebagai pria dewasa hanya dilihat dari tubuhnya," tatap Naya.

"Yeah, itu memang benar, sangat aneh juga."

"Aneh?! Caise, dia itu ganteng. Lihat aja tampangnya, satu sekolah habis dibuat iri sama kamu karena punya cowok yang tubuhnya gede, tinggi, ganteng pula. Pakaiannya memang tidak formal seperti pekerja dewasa, tapi karena kau bilang dia masih kuliah ya wajar saja pakaiannya bebas."

"Apa aku perlu membuatnya menggunakan pakaian formal? Karena dia saat itu menggunakan pakaian formal dengan setelan jas hitam."

"Hah, serius? Aku pengen lihat wajahnya lah... Apa gaya rambutnya juga undercut seperti biasanya itu kalau pakai pakaian formal?"

"Sepertinya tidak. Jika aku tidak salah ingat, dia saat itu menggunakan krim rambut untuk membuat sebagian rambutnya ke belakang."

"Wah... Jadi pacarmu itu tidak suka rambut menutup kening, tapi ya tetap ganteng sih..."

"Heh... Ada apa denganmu... Kau juga iri ya dari tadi bilang ganteng ke Mas Leo?" lirik Caise.

"Ya tentu sajalah, bukankah aku bilang satu sekolah dibuat iri olehmu? Aku harap mereka tidak membencimu, sih."

"Hahah, semoga saja."

---

Sepulang sekolah, Caise keluar dan ada yang datang.

"Caise!!" Leo berteriak memanggil. Caise menoleh dan melihat Leo melambai padanya dengan wajah seperti biasanya, wajah yang tampan dan ceria.

Leo memakai baju informal seperti biasanya, hanya saja dia memakai jaket berwarna hitam saat ini dengan celana panjang seperti biasanya. Rambutnya juga berganti gaya, tapi masih memakai tindik yang banyak itu di lehernya.

"Mas Leo... Kau datang menjemputku? (Dia benar-benar bisa meluangkan waktunya hanya untuk menjemputku, benar-benar lelaki yang baik... Apa setelah kita menjalin sebuah hubungan, dia ingin bertemu denganku terus menerus?)"

"Yup, ayo pulang. Kau ingin jalan kaki atau naik mobil?"

"Um... Aku sedang tidak enak jalan kaki, dan aku juga agak tidak nyaman jika duduk," kata Caise dengan wajah sedikit merah. Lalu Leo terdiam berpikir.

"Apa kau sakit? Ada sesuatu yang tidak nyaman?" tatap Leo.

"Perutku sakit dan punggungku pegal, Mas Leo tahu lah apa yang terjadi padaku," kata Caise.

Tapi sepertinya Leo tidak tahu karena wajahnya menunjukkan kepolosannya.

"Haiz... Lupakan saja, rasanya malas," Caise menghela napas panjang sambil menggeleng.

"Begitu ya, karena kau bilang sakit, jadi kalau begitu aku akan menggendongmu," dia membuka tangan.

"Apa?!" Caise terkejut mendengar itu.

"Ayo, Caise... Aku akan menggendongmu," Leo mendekat.

"Akh, tidak!" Caise mendorongnya. Karena teriakan itu tadi, semua orang jadi melihat ke arahnya, dan dia malu sendiri.

"Ap... Apa tidak... Naik mobil saja, tidak perlu repot-repot menggendongku," Caise menolak dan berjalan duluan. Leo terdiam, tapi ia sedikit terkejut karena melihat ada darah merah di belakang Caise.

"(Itu... Apa dia baru datang bulan...? Tunggu, dia bocor... Semua orang bisa melihatnya,)" Leo panik.

Caise benar-benar bocor, apalagi rok SMA-nya pendek, membuat darahnya mengalir ke pahanya.

"Mas Leo... Ayo cepat," Caise menoleh, tapi terkejut saat melihat Leo melepas jaket hitam yang dipakainya. Sekarang, Leo telanjang dada di depan publik karena tidak mengenakan baju lain di bawah jaket.

"Wah... Tubuhnya bagus."

"Apa dia rutin olahraga?" semua orang mulai memperhatikannya. Tapi ada sebagian yang langsung pucat melihat punggung Leo. Mungkin karena tato miliknya, orang orang yang awalnya melirik suka menjadi membuang wajah takut.

Awalnya mereka hanya bilang, "ah, lihat... Bukankah dia seperti model?"

"Iya... Aku ingin berkenalan dengannya."

"Tubuhnya besar..." Semua orang masih memandangi Leo.

Tato di punggung Leo pun mulai menarik perhatian mereka, dan Leo melirik satu per satu orang yang melihatnya, membuat mereka tidak nyaman.

"Kenapa punya tato seseram itu?" mereka mulai bergosip.

"Mas Leo... Apa yang kau lakukan?!"

"Caise... Aku tak punya sesuatu untuk menutupinya, jadi pakailah ini," Leo mendekat dan mengikatkan jaketnya ke pinggang belakang Caise.

"Apa maksudmu?" Caise masih bingung, tapi segera menyadari apa yang terjadi pada dirinya.

"Apa maksudmu... Aku... Aku," dia mulai sadar. Tapi ia semakin tak nyaman pada orang orang yang melirik pada Leo, apalagi di punggung nya, mereka antara takut dan jadi benci. Mungkin karena mereka berpikir Leo seorang gangster.

"(Apa mereka melihat tato Mas Leo, benar-benar menjengkelkan. Aku saja belum pernah melihat tato Mas Leo dengan baik, itu karena aku tak tahu pasti bentuk yang terhambar...)" M... Mas Leo... Cepatlah masuk," Caise mendorong Leo masuk ke mobil dan duduk di kursi supir.

---

"Maaf soal bajumu, Mas Leo... Dan terima kasih untuk tadi. Aku akan segera mencucinya," kata Caise yang duduk di bangku samping supir, sementara Leo mengendarai mobilnya.

"Tak apa, Caise. Aku punya banyak baju. Ngomong-ngomong, apa kau tidak memperhatikan kondisimu? Harus berganti setiap 3 jam sekali jika memang deras," kata Leo.

Membahas hal itu tentu saja membuat wajah Caise memerah dan malu.

"Caise?"

"Ah... Tidak... Jangan bicara padaku... Aku sedang PMS!!!" Caise menyela dengan marah, membuat Leo terdiam.

"O... Oke... A... Aku akan... Diam."

"Bagus... Dan jangan bicara apa pun, aku sedang tidak mood," Caise membuang pandangannya.

Tapi Leo hanya tersenyum kecil. "(Caise imut saat marah.)"

Sesampainya di apartemen, Leo bersiap turun.

"Mas Leo... Mau ke mana?" tanya Caise yang masih di dalam mobil.

"Aku... Mau masuk, aku ingin mampir, Caise."

"Um... Tapi aku harus membeli sesuatu dulu."

"Katakan saja, aku akan membelikannya untukmu."

"Apa... Apa kau aneh? Kau telanjang dada, dan lagipula ini barang rahasia."

"Tak apa, Caise. Aku akan meminta Noah mengirimkan baju. Bagaimana kalau kau masuk duluan?"

"Um... Baiklah... (Mas Leo... Sangat baik.)" Caise berjalan masuk sementara Leo menunggu di mobil dengan masih telanjang dada, benar-benar pria yang tidak peduli pada dingin demi kekasihnya.

Tak lama kemudian, sebuah motor Kawasaki melaju cepat dan berhenti di samping mobil.

Seseorang yang mengenakan pakaian hitam dan helm turun, membawa kain hitam yang ternyata kaus hitam lengan pendek dan kemeja kotak-kotak biru tua lengan pendek. Dia mendekat ke mobil, dan Leo membuka pintu serta keluar.

"Ada apa denganmu? Bukankah aku sudah bilang jangan membunuh sampai mengotori bajumu? Aku tidak mau seperti ini terus, kau menumpuk pekerjaanku," kata orang itu sambil melepas helmnya, ternyata dia Noah.

"Aku membutuhkan ini untuk sesuatu. Caise juga memerlukan bajuku untuk sesuatu. Lebih baik kau pergi, aku harus membelikannya sesuatu," jawab Leo.

"Serius nih... Kau yang suka membabu, sekarang malah dibabu oleh gadis biasa?" kata Noah.

Seketika Leo terdiam dan menatap tajam dengan aura membunuh, membuat Noah terkejut.

"Ehem... Ah... Sudah malam, aku harus pergi," kata Noah, mencoba kabur dan melaju kencang meninggalkan Leo dengan suara motor yang mengganggu.