Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 4 - Chapter 4 Caise Dream

Chapter 4 - Chapter 4 Caise Dream

POV Caise {Sudut Pandang yang Terlupakan}

"(Kenapa... Aku hanya bertemu seseorang yang sama di mimpiku, dia berdiri dengan rokok di bibirnya, memasukkan kedua tangannya di kantong celananya. Ketika melihat ke arahku, dia tersenyum seringai dengan taringnya yang terlihat, tapi di sisi lain... Kenapa aku melihatnya bercahaya? Sebenarnya dia harimau atau malah matahari...)"

"(Aku tak pernah membayangkan bahwa ketika kita benar benar bertemu... Aku melihat wajah yang mencoba untuk tetap kuat menahan sakitnya, layaknya dia sudah terbiasa melakukan nya. Aku tak pernah merasa bahwa pertemuan kita adalah sebuah takdir, aku hanya berpikir bahwa wajah yang aku lihat ketika kita bertemu, adalah wajah yang di bicarakan mimpi ku selama ini... Leo...)"

"(Aku membawanya ke apartemen ku, karena berpikir bahwa dia adaah pria yang selama ini selalu mengganggu mimpi ku. Sebenarnya aku sudah tahu bahwa ini adalah pertemuan takdir kita, tapi aku hanya ingin melihat lebih dalam seperti apa sosok seseorang yang di sebutkan mimpi ku... Leo...)"

"(Meskipun aku tak tahu, tapi dia sudah berusaha mengerti, dia juga tahu bahwa kita berdua adalah benang merah... Dan dia mencoba bersikap baik di depan ku hanya untuk memastikan, bahwa aku memang takdir nya...)"

"(Tapi, siapa yang tahu, tak ada satupun di antara kita yang memandang sebuah kebenaran yang pasti...)"

"(Dia pasti akan terus mengganggu pikiran ku, bahkan dia akan berusaha untuk mendekati ku, aku senang jika orang sepertinya mau berada di dekatku, hanya saja, aku tidak pernah bisa memikirkan dampak yang akan terjadi...)"

"(Untuk kedepan nya, aku tak tahu lagi....)"

Hari selanjutnya, Caise terbangun dari ranjang. Dia membuka matanya dengan cepat. "(Lagi-lagi... Mimpi itu lagi... Takdir yang selalu membacakan untukku di mimpi... Dan sekarang aku benar-benar bermimpi tentang pria itu... Jika tidak salah namanya... Leo.)"

"(Aku punya kemampuan unik yang tidak akan aku jelaskan secara baik. Aku bisa meramal, melihat masa masa yang akan terjadi jika aku mau berurusan dengan masalah itu, maka mimpi ku akan memberitahu ku, termasuk bagaimana aku selalu melihat wajah milik nya yang muncul setiap saat di mimpi ku.

Aku tahu, ini adalah takdir dari sudut pandang yang terlupakan...)"

Dia bangun dan duduk. Ada banyak kucingnya yang berjalan menuju ranjang.

"Hoam... Halo..." ia menyapa mereka satu per satu, lalu berjalan ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Tampak dia menatap dirinya di kaca, sudah memakai pakaian SMA, yakni seragam **eri**, pakaian SMA khusus siswi di Jepang.

"(Aku adalah seorang siswi SMA biasa yang selalu semangat dalam hal ini, meskipun ujung ujung nya aku juga akan capek akan kehidupan seharian.)"

Roknya pendek dengan pita di dadanya. Rambut Caise juga terurai, berwarna hitam. Kelopak matanya yang berwarna umum membuatnya terlihat seperti gadis SMA biasa. "Baiklah... Sudah rapi," dia melihat setiap tubuhnya dan setelah itu baru berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.

Setelah sampai di tempatnya, tampak sebuah SMA dengan gedung yang sangat tinggi. Di sana tertulis Sekolah Menengah Atas Khusus Kedokteran.

Caise terdiam menatapnya. "(Menjadi dokter adalah cita-citaku dari awal... Tapi ini juga pasti akan susah...)" ia menatap sekitar dan menghela napas panjang sambil berjalan masuk.

Setelah menginjakkan kaki di sana, semua orang menatap ke arahnya dan tersenyum menyapa. Beberapa di antaranya berjalan dan menyapanya. "Hai, Caise."

"Pagi, Caise. Kau tampak manis seperti biasanya."

"Halo, terima kasih..." Caise juga menyapa mereka dengan senyuman manis.

Sepertinya dia dikenal sebagai sesuatu oleh mereka yang mengenalnya, karena Caise populer.

"Caise? Gadis manis itu?"

"Tidak hanya manis, dia berhasil menyelesaikan tingkat kesulitan praktik di sekolah ini."

"Operasi? Dia menghafal setiap organ penting dalam tubuh manusia."

Begitulah cara mereka membicarakan Caise yang mewakili semua pertanyaan mengapa dia dikenal di seluruh sekolah.

"(Yeah, itu memang benar... Aku dikenal seperti itu... Aku bisa melewati ini semua karena sebuah mimpi... Hanya sebuah mimpi yang memberitahuku sesuatu tentang ini...)"

Siang ini, Caise baru saja pulang dari sekolah menengah atasnya. "Fyuh... Ini melelahkan," ia berjalan pulang dengan sedikit lelah.

Namun, ia melewati kedai hewan peliharaan dan tertarik untuk masuk. Di dalam kedai itu, yang menyediakan banyak perlengkapan dan makanan untuk hewan peliharaannya, Caise membeli beberapa susu kotak.

"(Mereka pasti akan senang,)" ia tersenyum sendiri memikirkan para kucingnya, sementara si kasir menatapnya bingung karena ekspresinya.

Saat sampai di balkon apartemen luar dan akan berjalan ke pintu nomor 369, tepatnya pintu nomor Caise, ia terkejut karena melihat Leo berdiri merokok, melihat ke arah lain sambil bersandar di balkon tangga. Dia memakai jas hitam yang membuatnya terlihat berkarisma.

"(Sejak saat pertemuan kita itu, dia terus saja mencari cara untuk mendekatiku, meskipun aku tahu, dia hanyalah pria yang sibuk pada pekerjaan buruk nya... Aku tahu semuanya... Aku sudah tahu, bahwa, dia adalah sosok yang buruk. Tapi motif dari dia menyukai ku... Aku belum mengetahui nya membuat ku berpikir bahwa ini adalah pandangan dari cinta sejati...)"

Bahkan Caise terpesona menatapnya. Leo tak sengaja menoleh padanya dan langsung tersenyum, membuat Caise terkejut.

"M-Mas Leo... Sudah berapa lama kau menunggu? D-Dan kenapa kau ada di sini? (Aku mencoba untuk memanggil nya dengan akrab agar dia tidak memiliki rasa bersalah telah dekat dengan ku. Jujur, aku suka saat dia memutuskan untuk terus mencari ku meskipun aku harus menyembunyikan perasaan ku yang berlebihan...)"

"Aku hanya ingin bertemu denganmu, sekitar 6 jam aku di sini," kata Leo.

Seketika Caise tambah terkejut. "E... Enam jam... Kenapa bisa sampai enam jam? Apakah kau tidak tahu bahwa itu jam belajar? Aku sedang ada di sekolah," Caise menatap dengan panik.

"Oh, benar, kau sekolah... Aku benar-benar lupa," Leo mematikan rokoknya dan suasana kembali terdiam. Hanya Caise yang merasa suasana itu canggung.

"Ehem... Aku ke sini untuk berkunjung. Kamu tidak membuka pintu?" Leo menatap.

"Hah... (Aku lupa... Kenapa harus melamun sih...) M-maafkan aku. Si-silakan masuk..." Caise membuka pintu apartemennya, lalu mempersilakan Leo masuk.

"Baiklah, terima kasih," Leo membalas sambil berjalan masuk dan duduk di bawah.

"Ah, kenapa duduk di bawah? Di sofa saja," Caise menatap panik.

"Tak apa... Aku suka duduk di bawah," Leo membalas.

Seketika kucing-kucing Caise melihat Leo masuk dan langsung mengerubunginya.

"Ouh... Sepertinya mereka mengganggu," Caise mencoba memisah mereka.

"Tidak apa-apa. Apa kau baru saja pulang dari bekerja?"

"Bekerja? Sebenarnya aku masih SMA... (Bukankah aku sudah pernah bilang?)" Caise mencoba mengingat-ingat.

"Maksudku, bekerja sambilan? Kebanyakan siswa maupun siswi SMA melakukan itu ketika tidak ada orang tua mereka," kata Leo.

"...Ah, bekerja sambilan. Aku melakukannya... Aku sedang mencoba melamar pekerjaan di salah satu kafe kucing di dekat sini, mereka baru menerima aku besok," balas Caise.

"Lalu kau berumur berapa, Caise?" Leo kembali bertanya.

"Um... Sebentar lagi aku akan 18 tahun. (Umur 18 tahun adalah umur yang sangat cepat untuk ku, bahkan aku membutuhkan waktu 18 tahun hanya untuk selalu melihat mimpi yang memunculkan nya.... Aku suka ketika mimpi mulai membahas soal dia...)" dia terus mengaitkan Leo dengan mimpi yang ia anggap sebagai takdir pemberitahuan.

"Itu cukup untuk aku menikahimu."

"Apa?! Aku masih sekolah!!!"

"...Kalau begitu setelah kau lulus, aku akan menikahimu."

"Hah... Apa?" Caise terkejut. "Tu-tunggu, Mas Leo... Tidak, jangan seperti itu," ia mulai panik.

Sementara Leo terdiam dengan wajah polosnya.

"Um... Maksudku... E.. Aku ingin menjadi dokter hewan. Jika menikah, mungkin itu akan mengganggu pekerjaanku."

"Dokter hewan? Kenapa tidak dokter manusia saja? Bukankah yang kau pelajari itu soal kedokteran pada umumnya?" Leo menatap bingung.

"Ah, hehe... Dokter hewan sebatas impianku, tapi aku tahu akhirnya nanti aku juga jadi dokter untuk orang lain... Ta-tapi tetap saja, Mas Leo tidak bisa menikahiku," Caise menatap panik.

"...Baiklah, itu tidak masalah," Leo membalas.

"Eh... Apa kau..." Caise menjadi bingung dengan reaksinya.

"Tidak masalah, kita mungkin bisa menjadi pacar saja."

"(I-itu sama saja... Haiz... Kenapa dia tidak pernah menyerah?) Bukankah Mas Leo kemarin bilang akan menjadi penjagaku?" Caise menatap.

"Oh, tapi kau juga menolaknya."

"Aku tidak... Aku tidak menolaknya!" Caise langsung membalas, dan seketika suasana diam. Caise menutup mulutnya.

"(Astaga... Suasana canggung ini membunuhku...) Eh, ngomong-ngomong, Mas Leo... Aku akan membuatkanmu minuman." Caise berjalan ke dapur.

Beberapa menit kemudian hujan turun, bersamaan dengan bunyi ponsel Leo. Ia berdiri dan mengangkatnya.

Di saat itu juga Caise muncul membawa teh hangat dan roti kecil. Ia melihat Leo yang ada di dekat jendela. "(Mas Leo... Sedang menghubungi seseorang,)" ia terdiam. Di saat itu juga Caise melihat postur tampan Leo.

Tubuh Leo seperti pria yang begitu kuat dan kekar, membuat Caise berwajah merah sendiri. "(Ketika aku mengobatinya... Aku bahkan masih terpesona pada otot perutnya... Bahkan lengan nya...)" ia terdiam sambil masih mengarahkan pandangannya ke Leo.

"(Kenapa bisa... Aku bertemu dengan orang seperti itu dan kenapa bisa ini menjadi takdir ku bertemu dengan nya. Jika saat itu aku tidak melihatnya tergeletak di pinggir jalan dengan banyaknya darah, aku mungkin tidak akan menolong nya, tapi karena aku tak sengaja melihat nya... Aku menolong nya dan rupanya... Orang nya sampai sekarang benar benar masih bersama ku... Dia bahkan menambah pertemanan dengan ku, dan menganggap ini semua lebih dari apapun.... Apa yang harus aku lakukan?)" Caise terdiam, dia terus menatap Leo yang berdiri menatap jendela luar sambil berbicara di ponsel.

Kucing kucing nya itu berjalan ke Caise, satu persatu mengusapkan tubuh mereka pada Caise. Tapi Caise tidak menghiraukan itu dan tidak sadar dia sudah terlalu lama menatap ke Leo.

"(Jika di bilang tampan, dia memang lah tampan, tapi apakah sikap nya pada dunia wajar di bilang begitu juga? Aku benar benar tidak tahu harus apa dan yang aku lakukan hanya bisa menatap nya terus menerus...)"