Chereads / Tiger Meet Cat / Chapter 3 - Chapter 3 Second Help

Chapter 3 - Chapter 3 Second Help

Sementara Noah hanya terdiam, tak peduli, dan mengerjakan dokumennya. "(Inilah yang kumaksud dengan sikap kasarnya.)"

"Aku mohon, lepaskan aku!" Wanita tadi memohon hingga Leo menarik rambutnya dan melemparnya ke sofa, membuat teman-temannya ikut ketakutan.

"Cepat pergi dari sini! Aku tak mau berdiri!" teriak Leo. Seketika mereka semua pergi, dan Noah masih terlihat fokus pada dokumennya.

Leo lalu kembali duduk dengan menghela napas panjang. "Ha... Sialan..."

"Ck, ck... Bagaimanapun juga, mereka itu karyawan di sini, Leo, dan mereka itu karyawanmu karena bar ini milikmu," kata Noah.

Rupanya bar yang mereka tempati itu milik Leo. Sepertinya bar itu juga laris karena tadi wanita-wanitanya begitu cantik dan seksi.

"Aku tak peduli itu... Gadis tadi membuatku kesal," Leo memegang keningnya, dia masih memikirkan gadis bernama Caise tadi yang benar-benar menolaknya dan langsung pergi.

"Yeah... Jika kau berhasil dengannya, aku justru kasihan pada gadis itu nantinya. Kau malah akan menyiksanya begitu," kata Noah membuat Leo kembali menghela napas panjang.

Ia lalu mematikan rokoknya dan berdiri.

"Kau akan ke mana?" Noah bertanya.

"Pergi keluar. Kau tidak boleh pergi sebelum menyelesaikan dokumenmu. Awas saja jika pergi," kata Leo, lalu berjalan pergi.

Noah menjadi kesal dan kembali fokus ke dokumennya sementara Leo berjalan keluar dari bar itu.

Dia berjalan di jalanan gelap, malam yang sepi. Sambil mengisi waktu, ia mengambil sebatang rokok dari sakunya dan meletakkannya di giginya sambil mengambil korek api untuk menyalakannya.

Tapi tiba-tiba saja, dari jauh, ada pria tidak dikenal dan begitu misterius mengeluarkan pistol.

Ia membidik Leo dari belakang dan saat itu juga, peluru akan mengenai tubuh Leo.

Untungnya Leo tahu. Dia langsung mundur ke samping dan peluru itu melewatinya begitu saja.

"Sialan..." Leo kesal melihat ke belakang, tapi tak ada siapa-siapa. Namun saat itu juga, matanya bercahaya tajam seperti bisa melihat dalam gelap.

"Hei... Aku bisa melihatmu, keluarlah dan bertarung denganku secara adil," tatap Leo.

Pria tadi terdiam, lalu menampakkan dirinya, dan rupanya hanya pria suruhan.

"Jika kau mau bertarung denganku, lakukan dengan adil. Kau pistol, aku pistol. Jika pukulan, aku dan kau juga harus pukulan," Leo menatap tajam.

Pria itu lalu menyimpan pistolnya dan membentuk dua genggaman, siap memukul. "Ayo bertarung," tatapnya.

"Baiklah... Kau ingin sama-sama memukul, lakukan saja," kata Leo.

Pria itu berlari maju hendak memukul, dan Leo hanya biasa saja. Dia akan menangkap pukulan itu tentunya. Tapi siapa sangka, ketika dia menangkap satu pukulan pria itu, ia terkaku menatap wajah pria itu yang tertawa karena tangan satunya menusuk perut Leo dengan pisau yang ia bawa. Pisau yang begitu besar, dengan cepat ia mencabutnya.

"Ugh..." Leo menekan perutnya, dan sekarang perutnya benar-benar mengeluarkan banyak darah.

Pria itu langsung pergi sangat jauh.

"Sialan... Itu begitu menusuk... Luka ku yang sebelum nya, belum kering," Leo terus menekan perutnya hingga ia harus berlutut. Itu tadi benar-benar sebuah pertarungan yang tidak adil sama sekali. Dan sekarang Leo tak akan bisa merasakan tubuhnya sebentar lagi.

Sementara itu, di sisi lain, seorang gadis berjalan sendirian di sana. Yang tak lain adalah Caise, sebuah kebetulan di atas takdir.

"(Ha... Aku benar-benar sangat lelah... Begitu lelah dan rasanya aku ingin langsung tidur... Sebaiknya begitu,)" dia terlihat lelah. Tapi ia terdiam, berhenti berjalan ketika merasa bahwa dia seperti menginjak sesuatu.

"Ini, apa?" ia melihat di sepatunya, dan rupanya itu adalah bercak darah. Ia langsung terkejut. "Hah... Orang terluka?! Di mana... Di mana dia?" ia melihat sekitar dengan panik hingga masuk ke gang sempit, dan rupanya ada seseorang sedang duduk bersandar di dinding gang itu dengan banyak darah di tubuhnya.

"Hei... Apa kamu baik-baik saja?" Caise langsung mendekat.

"Aku akan menghubungi polisi," Caise mengambil ponselnya, tapi belum selesai hendak menghubungi polisi, ia diserang orang itu hingga ia terbaring di bawah dengan orang tadi yang menahan tubuhnya. Rupanya orang itu adalah Leo.

"Jika kau menghubungi polisi, aku akan membuatmu sama sepertiku," kata Leo. Itu seperti Dejavu. Tapi Caise terdiam mendengar suara itu dan wajah Leo.

"(Itu... Bukankah ini pria tadi? Pria yang aku selamatkan, dan dia tadi memintaku menjadi pacarnya. Apa yang harus aku lakukan? Dia benar-benar terluka parah...)"

"Ha... Maaf, hanya dorong saja aku dan tinggalkan aku," kata Leo, masih di atas Caise dengan suara yang sudah hampir hilang.

"(Kamu berat... Hah, mana mungkin aku meninggalkannya yang sedang terluka?) Tidak bisa... Kita harus ke rumah sakit... (Tunggu, dia tidak memperbolehkan aku memanggil polisi, jadi mungkin ke rumah sakit dia tidak akan mau...)" Caise terdiam, lalu menghela napas panjang.

--

Leo perlahan membuka mata. Dia membuka mata dengan susah payah, lalu melihat bahwa dia duduk di sebuah ranjang dan merasakan seseorang melakukan sesuatu di perutnya. Dia rupanya bertelanjang dada, dan Caise berlutut di bawah ranjang, membalut luka Leo.

"Baiklah, ini cukup," ia berdiri, tapi wajahnya terkejut ketika melihat Leo membuka mata menatapnya. "Ka... Kapan kamu bangun?!"

"Kau..." Leo terdiam melihat Caise, dan seketika di bawah matanya ada garis merah menandakan dia senang bertemu Caise.

"Hei, kau gadis manis itu, bukan?" tatapnya.

Caise terdiam. "Bagaimana bisa kamu tertawa begitu dengan kondisi luka yang parah dan sekarang telanjang dada di depan gadis seperti aku," tatapannya mengarah ke tempat lain, dia tidak menatap Leo.

Rupanya benar, jika tidak memakai baju, Leo terlihat dengan tatonya. Tato itu terhubung di punggungnya dan terlihat di leher kirinya.

"Terima kasih... Ini kedua kalinya kau menyelamatkanku," tatap Leo.

Caise berwajah merah. Dia lalu menggeleng dan berjalan keluar dari kamar itu, membuat Leo terdiam bingung.

Ketika Caise pergi, beberapa kucing masuk dan menatap Leo yang terdiam, masih bersandar di tempatnya. Leo menatap lukanya, perutnya yang terbalut perban. "(Dia melakukannya dengan rapi... Apakah dia benar-benar dokter... Dia membawaku ke sini...)"

Lalu Caise datang lagi, dia memberikan secangkir teh panas. "Minumlah," tatap Caise.

Leo menerimanya, tapi Caise terdiam terkejut ketika melihat uap teh itu masih panas dan Leo terdiam menatap cangkir itu.

"Um... Kamu tidak bisa meminumnya jika panas?" Caise menatap dan mendekat. Dia memegang tangan Leo yang memegang cangkir, lalu mendekatkan wajahnya dan meniup perlahan cangkir itu, menghilangkan uap panasnya, membuat Leo terdiam.

Caise meniupkan minuman itu untuk Leo.

"Baiklah, sekarang sudah lebih baik," kata Caise, tapi ia terkejut, baru sadar dengan apa yang dia lakukan. Dia segera menggeleng dan memalingkan pandangan.

"Maafkan aku, itu hanya kebiasaan..."

Leo masih terdiam, dia menatap ekspresi Caise dan saat itu juga ekspresi Leo menjadi kecewa. Dia berkata sesuatu. "Jika kau tidak suka aku, kenapa kau harus membawaku? Kau membawa orang tidak dikenal ke kamar, apakah itu pantas dikatakan aman? Apalagi kau sudah tahu soal penampilanku ini."

Mendengar itu, Caise terdiam. Dia memegang leher belakangnya. "(Bagaimana yah... Aku benar-benar tidak tahu juga dengan apa yang terjadi... Aku hanya sebatas menolongnya...)" Caise bersiap bicara, dia masih berdiri agak jauh dari Leo, dan Leo menatapnya.

Karena lama, Leo menambah pertanyaan. "Wajah mu begitu muda, aku yakin umurmu tidak... Aku berharap kau lebih dari 20 tahun..." tatapnya.

"Apa!? Aku masih siswi SMA!!" kata Caise.

Seketika Leo terkaku, dan tiba-tiba saja gelas yang ia pegang pecah, membuat Caise terkejut melihat itu, apalagi teh yang masih panas mengenai tangan Leo.

Wajah Leo tidak menunjukkan rasa sakit meski terkena panasnya air dan pecahan gelas. Dia memasang wajah kosong ketika mendengar pengakuan Caise tadi. Bagaimana tidak, Caise masih SMA, dan menurut Leo, itu terlalu muda.

"Kamu baik baik saja... Itu bahaya sekali," Caise mengambil sapu tangan dan mengelap tangan Leo yang merah tapi Wajah Leo benar benar masih bertatapan kosong.

"(Sial...)" ia memegang kening nya.

Caise terdiam melihat ekspresi Leo. Ia lalu kecewa pada dirinya sendiri. "Maafkan aku... Itu adalah salah satu faktor kenapa aku harus menolak tawaran mu," kata Caise.

Leo kembali terdiam, dia lalu menghela napas panjang dan berdiri, dia mengambil kemeja nya dan memakainya. "Aku tidak peduli faktor itu... Aku suka padamu bukan karena masalah umurku maupun umurmu... Yang jadi pertanyaan ku, bagaimana kau bisa tahu soal hal ini, kau menyembuhkan dan mengobati luka ku," Leo menatap. Kini mereka berdiri berhadapan.

Tapi Caise masih tidak mau menatap nya. "Itu karena... Aku tahu soal hal ini... Orang tua ku dulunya dokter dan mereka sering sekali mengajarkan ku.... Jadi aku bisa mengatasi luka mu..."

"Begitu ya... Bagaimanapun juga, kau telah menyelamatkan ku," tatap Leo, dia lalu memegang tangan Caise membuat Caise terkejut dengan wajah merah.

Lalu Leo mencium tangan Caise membuat Caise semakin berwajah merah.

"Aku ingin kau menjadi milik ku... Terima tawaran ku menjadi pacar mu, aku bisa membalas budi mu lewat hal itu..."

". . . Sebenarnya ada beberapa faktor juga selain umur..."

". . ."

"Aku.... Aku belum pernah pacaran sebelumnya dan juga... Aku sudah terbiasa menolak lelaki... Apalagi jika langsung berpacaran dengan seseorang gangster..." kata Caise.

Leo terdiam, dia lalu tersenyum kecil. "(Aku tidak mau kehilangan kendali lagi... Dan tak ada yang bisa aku lakukan lagi kecuali aku harus melakukan ini.... Dari awal dia ragu melihat ku dan sudah jelas menolak ku karena dia sudah terbiasa di seperti itu kan oleh banyak orang, apakah begitu... Jika begitu, aku benar benar kehabisan ide...) Kalau begitu.... Jadikan aku pengawal mu" kata Leo.

"Eh, pengawal?"

"Yeah... Wajah secantik diri mu pastinya banyak di goda lelaki, aku akan melindungi mu..." kata Leo.

"Itu tidak perlu..." Caise berwajah tidak nyaman.

"Jika tak ada yang bisa aku lakukan untuk membalas mu, apalagi yang harus aku tawarkan padamu, hanya ini yang aku bisa untuk memberikan sebuah balas budi," tatap Leo dengan serius.

Caise terdiam, dia lalu menghela napas panjang. "Baiklah... Ngomong ngomong kamu masih terluka... Kenapa bisa berdiri?" Caise menatap.

"Aku baik baik saja... Ini hanyalah luka biasa," balas Leo.

Tapi tiba tiba ponselnya berbunyi membuat nya melihat itu dari Noah, seketika wajahnya kesal. "(Ck, sialan... Aku masih ingin ada di sini,)" Leo menolak panggilan itu dan kembali menyimpan nya.

"Um... Apa itu tadi, kenapa di tolak? Kamu harus mengangkat nya..." Caise menatap.

"Ini baik baik saja."

"Bagaimana jika itu hal penting?" Caise menatap dengan wajah polos.

Leo terdiam menatap wajah Caise. Ia perlahan mengangkat tangan nya dan memegang pipi Caise. "Kau, mengingatkan ku pada seseorang.... (Seseorang yang dulunya menyakiti ku, benar benar membuat ku sakit.)"

"Um.... Apa maksud mu?" Caise berwajah merah sangat merah.

Tapi di saat itu juga, ponsel nya kembali berbunyi membuat nya kesal. "Ha... Aku akan pergi sekarang..." ia berjalan melewati Caise membuat Caise terdiam melihat nya.

"(Pria itu... Siapa.... Sebenarnya siapa?)"