"Ah—tidak, aku mohon lepaskan aku!" Wanita itu mencoba memberontak dari Sang Harimau Sadis, Leo. Dia dijuluki Harimau karena sikapnya yang kejam.
Dia benar-benar kejam. Dari tampilannya saja sudah terlihat, rambutnya berwarna jingga dengan ujung-ujung helai berwarna hitam. Di bawah mata kirinya ada sebuah tato kecil berwarna jingga berbentuk matahari bulat.
Di leher samping kirinya, ada tato lain yang tampaknya terhubung dengan bagian tubuhnya yang lain, namun tertutup oleh bajunya. Tak hanya itu, telinganya juga dipenuhi tindik. Suaranya kasar, tidak seperti kebanyakan pria dewasa lainnya. Meski lebih dalam dan dewasa, sayangnya nada yang ia gunakan penuh dengan ancaman.
Tinggi tubuh pria ini juga tidak main-main, Leo sangat tinggi, dan dia sedang menggunakan suaranya untuk mengancam.
"Haha, kau pikir aku akan mendengarkanmu? Lihat lelaki itu, bahkan dia mencoba main-main denganku," kata Leo sambil menunjuk ke arah seorang pria yang terbaring tak berdaya di bawahnya.
Salah satu tangannya sedang memegang kerah wanita yang terpojok di dinding, sementara tangan lainnya meraih sesuatu dari pinggangnya, sebuah belati hitam yang membuat wanita itu terdiam kaku karena terkejut.
"Sudah main-main dan membuatku kesal begini," tambah Leo sambil mendekatkan belatinya ke wajah wanita itu yang kini ketakutan. "Jangan khawatir, aku akan membuat kematianmu terasa lebih bermakna." Namun, Leo tidak jadi menggunakan belati itu. Dia malah melemparkannya ke bawah, membuat wanita itu masih terdiam. Namun tiba-tiba, Leo membuka mulutnya, memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, siap untuk menggigit leher wanita tersebut.
"Tunggu!" Mendadak, lelaki yang tergeletak tadi bangkit dan mencoba menahan Leo agar tidak menggigit wanitanya.
"Hah? Apaan? Kau mau mati?" Leo menoleh, lalu berjalan menuju sebuah kotak bensin dan menyiramkan isinya ke tubuh lelaki itu.
"Tidak, jangan!" wanita itu memeluk lelakinya erat-erat.
"Ho... Mau mati rupanya? Silakan saja," ucap Leo sambil mengeluarkan korek api. Kedua korban itu tampak tak berdaya.
"Selamat mati," kata Leo dengan tatapan sadisnya, bersiap menjatuhkan korek api tersebut. Begitulah bagaimana dia bersikal sadis. Namun tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu gudang.
"Leo, hentikan ini!" Seorang lelaki mendekat.
"Kenapa, huh?" tanya Leo dengan nada penuh kesal.
"Aku menemukannya, jadi hentikan," jawab lelaki itu dengan tatapan serius.
Mendengar hal itu, Leo terdiam, memandangi pasangan yang tak berdaya di depannya.
"Cih," gumamnya sambil mematikan korek apinya. Dia lalu berjalan keluar, mengikuti lelaki tadi. Pasangan yang tersisa menghela napas lega setelah lolos dari 'kandang harimau' tersebut.
Leo Choi, berusia 23 tahun, dikenal sebagai gangster sadis berjuluk Harimau. Di kampus maupun di luar, ia ditakuti oleh semua orang. Memiliki banyak pengikut, namun hanya satu orang yang benar-benar dekat dan berani padanya, yakni Noah, lelaki yang menghampirinya di gudang tadi.
"Di mana kau melihatnya?" Leo melirik Noah.
"Di sana..." Noah menunjuk ke balik kursi taman.
Leo mengintip dari balik semak-semak. Di sana ia melihat seorang lelaki duduk di bangku taman, sibuk bermain ponsel.
"Hoi, kau!" Leo memunculkan dirinya. Lelaki itu menoleh terkejut. Saat ia hendak melarikan diri, Leo dengan cepat menahan kerah bajunya.
"CEPAT KATAKAN PADAKU, PECUNDANG!" teriak Leo seperti auman harimau.
"A-aku sudah bilang, aku tidak tahu apa-apa! Aku mohon, lepaskan aku!" Lelaki itu memohon.
"Diam! Jangan pura-pura tidak tahu. Kau pasti disuruh merahasiakannya!" Leo menyela sambil menyeret lelaki itu. Noah yang melihatnya hanya bisa diam, menghela napas.
"Haiz, sepertinya aku harus buat kuburan untuk korban ini," gumam Noah.
Leo melempar lelaki tadi ke dalam gudang gelap, hingga tubuhnya membentur dinding. Lelaki itu duduk terpojok, gemetar ketakutan, hanya bisa memohon pada Leo yang menatapnya tajam.
"Leo, ampuni aku! Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal ini! Aku hanya ikut-ikut dia saja..." Suaranya bergetar.
"Omong kosong! Ingat saja kenapa aku bisa sampai begini... Aku mencari atasanmu itu karena dia sudah menghina tempatku. Dia boleh saja menghina aku, tapi jika dia membawa-bawa nama tempat lahirku, itu tidak akan bisa dimaafkan. Tempat lahirku adalah kehormatan, dan dia sudah menginjak-injaknya." Leo langsung menarik leher lelaki itu, meremasnya dengan kuat.
Lelaki itu tercekik, tubuhnya kaku.
"Ingat ini, yang bisa menilaimu hanyalah arah angin," lanjut Leo dengan dingin.
Lelaki itu tak mampu berbicara lagi, bibirnya mulai berbusa sebelum akhirnya Leo melemparkannya ke lantai, membuatnya pingsan.
Tak lama, Noah datang. "Leo, menurutku ini sudah lebih dari cukup," katanya dengan tatapan serius.
"Lebih dari cukup? Tidak ada yang cukup sebelum amarahku reda," jawab Leo tanpa menoleh, lalu dia berjalan pergi. Noah hanya bisa menatap lelaki yang pingsan itu. "Ha... Benar-benar keras kepala."
---
"Cih, sial! Ini memakan waktu terlalu lama," Leo menendang kaleng di tepi jalan dengan kesal.
Dia berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap.
"(Haaah, umur semakin bertambah, tapi masalah tidak pernah berubah...)" Leo mendongak menatap bulan sabit. "Bulan sialan," desisnya sebelum melanjutkan langkah.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Hanya ada nomor tak dikenal di layarnya.
"Siapa ini?" Leo mengangkat telepon.
"Kau bajingan! Kalau berani, datang ke sini! Setelah mempermalukan aku di depan umum, aku akan habisi kau!" Suara itu penuh amarah.
"(Oh... dia rupanya,)" Leo mengingat kejadian saat dia dengan kejam mempermalukan seseorang. "Haha, boleh saja. Kau akan menyesal berurusan denganku."
Di tempat yang dijanjikan, lapangan kota yang gelap pada malam hari, lelaki yang menantangnya berdiri di tengah lapangan. Leo berjalan mendekat.
"Hahaha, berani sekali kau datang? Kau akan bersujud di hadapanku dan mengaku sebagai anjing lemah!" kata Leo dengan nada merendahkan.
"Cih, jangan terlalu sombong! Kau tidak akan bertahan lama," balas lawannya.
Tiba-tiba, puluhan gangster muncul dari balik kegelapan, membawa benda pemukul dan senjata tajam, mengepung Leo.
"Kau akan mati di sini!" ancam lelaki itu.
Leo tetap tenang. "Kita lihat saja siapa yang akan mati."
Sementara itu, Noah sedang berjalan sambil menatap ponselnya, mencoba menghubungi Leo yang tidak mengangkat teleponnya.
"Cih, ke mana dia?" gumam Noah dengan kesal. Dia berhenti, menatap langit, dan melihat bulan sabit.
"Leo... sikapmu selalu membuat orang geleng-geleng kepala. Kalau bukan karena ini, kau tidak akan terus berurusan dengan masalah. Semoga suatu hari nanti ada seseorang yang bisa menuntunmu ke jalan yang lebih baik," gumam Noah sebelum melanjutkan perjalanannya. Saat tiba di rumah besar yang kosong, dia menghela napas. "Dia tidak di rumah. Jangan-jangan dia benar-benar sedang berkelahi?"
--
Terlihat Leo bernapas dengan berat di tengah tumpukan tubuh para gangster yang sudah ia kalahkan. Lawannya yang menantangnya kini terkaku, terkejut melihat Leo mampu mengalahkan lebih dari 30 orang dengan tangan kosong.
"Ha... Ha... Ha... Sudah lama aku tidak begini," Leo menghela napas sambil mengusap keringat di dagunya, lalu melirik ke arah lelaki itu dengan senyum yang mengerikan.
"Hahaha, kalian lemah! Lihat ini, anjing pecundang!" teriak Leo dengan penuh kemenangan.
"K-kau... Aku akan membalasmu!" Lelaki itu tiba-tiba melarikan diri. Leo terdiam sejenak sebelum menyadari darah mulai mengalir dari luka tusukan di perut kirinya. Namun, ia tetap tenang, tanpa menunjukkan rasa sakit. Dengan santai, ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Noah sambil menatap langit yang gelap di atas taman.
Beberapa kali Leo menghubungi Noah, tapi tak ada jawaban. Ia tidak menyerah dan terus mencoba, hingga akhirnya kesal karena Noah tak juga mengangkat teleponnya.
"JIAH! Kurang ajar! Berani-beraninya tidak mengangkat ponselku!" Leo mulai emosi dan memutuskan untuk bangkit meskipun luka di perutnya mulai mengganggu. Kesal karena panggilannya tak direspons, ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan tumpukan tubuh gangster yang telah ia kalahkan.
Sementara itu, Noah tertidur di sofa rumah dengan ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ponsel itu menunjukkan sudah ada lebih dari 30 panggilan tak terjawab dari Leo.
"Kalau ketemu, akan kubuat babak belur masuk rumah sakit," Leo bergumam kesal saat berjalan meninggalkan tempat kejadian. Namun, tiba-tiba jantungnya berdetak tak normal, membuatnya terkejut.
"Ugh..." Leo terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke tanah. "(Sial... Aku terluka terlalu parah...)" pikirnya sambil menatap langit malam. Darah terus mengalir dari lukanya, membuatnya merasa semakin lemah.
"(Apa aku akan mati di sini?)" pikirnya saat darah dari perutnya mulai membasahi tanah di sekitarnya. Dalam kepasrahan, samar-samar ia melihat sosok seorang gadis yang menatapnya.
---
Leo terbangun dengan cepat. Ia sedang berbaring di atas karpet di sebuah rumah yang asing. Seekor kucing berdiri di atas dadanya, menatapnya dengan tajam, sementara beberapa kucing lain bermain di rambutnya.
"Huh..." Leo bangun dan duduk, bingung. Ia meraba perutnya dan mendapati bahwa lukanya sudah diperban dengan rapi. Keadaan sekitarnya membuatnya bertambah bingung, apalagi rumah ini kecil namun sangat bersih, meskipun dipenuhi dengan kucing di mana-mana.
"(Di mana aku? Kenapa aku ada di sini?)" pikir Leo. Ia berusaha mencari penghuni rumah itu, namun tak ada siapa-siapa.
"(Sialan... Tidak ada siapa-siapa. Siapa yang membawaku ke sini? Tak hanya membawaku, mereka juga mengobati lukaku... Bukankah aku terluka parah?)" pikirnya sambil meraba perutnya. Luka itu sudah diobati dengan baik, seolah-olah ia telah menerima perawatan medis yang profesional.
Merasa tidak ada gunanya tinggal lebih lama, Leo memutuskan untuk keluar lewat jendela. Namun, sebelum melompat keluar, ia berhenti sejenak dan mencium udara sekitar.
"Baunya wangi... Seperti sampo kucing. Mungkin berasal dari bulu kucing-kucing itu... Aku akan mengingat bau ini," gumamnya sebelum akhirnya keluar.
---
Leo mengetuk pintu rumah besar Noah, dan tak lama kemudian Noah membukanya. Melihat wajah Leo yang tampak penuh emosi, Noah langsung merasa terancam.
"NO-AH...!!" Leo menatapnya tajam, seperti seekor harimau siap menerkam.
"E-tunggu... Aku ketiduran, jadi tidak mendengar ponsel berbunyi..." jawab Noah panik, namun Leo sudah terlanjur marah.
---
"Haiz... Ini tidak akan sembuh dengan cepat," keluh Noah sambil duduk di sofa dengan wajah babak belur.
Sementara itu, Leo duduk santai di sofa lain, masih menatap Noah dengan kesal.
"Jadi, kau tidur di lapangan itu sampai pulang pagi ini?" tanya Noah.
"...Entahlah. Aku terbangun dikelilingi banyak kucing. Mungkin seseorang menolongku waktu itu."
"Hah? Kucing? Menolongmu?" Noah menatap Leo dengan bingung.
"Apapun itu, aku tak terlalu peduli," jawab Leo acuh tak acuh.
"Kalau begitu, kau harus berterima kasih," kata Noah sambil meliriknya.
"Huh? Terima kasih? Aku tidak butuh bantuannya. Meskipun badannya besar dan mencoba memaksaku, aku tetap bisa menghabisinya," Leo membalas dengan nada sombong.
"Kebiasaanmu..." Noah hanya menggelengkan kepala, menahan tawa.