Chereads / Elemental Destruction [Bahasa] / Chapter 15 - One Day Training (1)

Chapter 15 - One Day Training (1)

Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang pria tua sedang berjalan santai mengitari pekarangan rumahnya yang saat itu dipenuhi sampah dedaunan yang menguning. Musim gugur telah tiba. Waktunya menyuplai seluruh persediaan rumah sebelum musim dingin yang ganas datang. Pria itu mendongakkan kepala, menatap cabang-cabang pohonnya yang telah benar-benar gundul.

"Aaarrrggghhh!!!"

Suara teriakan itu membuat si pria menoleh. Asalnya tidak jauh dari posisinya berdiri, tepatnya di pekarangan belakang rumahnya. Dia berjalan menghampiri asal suara, kemudian mendapati empat orang anak di dalam dojo* dengan dogi*, obi*, dan celana panjang serba putih. Pria itu tidak langsung masuk ke dalam dojo. Ia mengamati keempat anak itu dari luar dengan senyum terkulum.

Dua orang anak laki-laki berbadan bongsor berambut pendek berdiri di hadapan seorang anak laki-laki bertubuh kecil berambut ikal yang posisinya setengah telentang. Anak yang berdiri berkacak pinggang itu menyeringai sementara anak yang terjatuh itu menatapnya dengan wajah memerah. Seorang anak perempuan yang lebih tinggi dibanding dua anak laki-laki itu berdiri di samping si anak laki-laki yang berbadan kecil sambil mengomel-omel.

Suasana di dojo saat itu heboh karena ulah keempat anak itu. Orang-orang dewasa berbusana serupa dengan hakama* hitam sebagai pelengkap bawahannya mulai datang untuk melerai mereka. Meskipun begitu, si pria tua tetap mengamati dari luar dojo. Lengkungan senyumnya semakin lebar.

"Kamu tunggu sini!"

Anak laki-laki bertubuh kecil itu diam saja mengamati punggung si anak perempuan yang kembali masuk ke dalam dojo untuk menghampiri sensei*-nya. Anak laki-laki itu berpapasan dengan si pria tua, tapi segera membuang muka sambil mengerecutkan bibir. Pria itu pun berjalan menghampirinya, kemudian duduk di sampingnya.

"Pelajaran apa yang sudah kamu dapat hari ini, Ken?"

Anak itu diam saja. Dia tidak menjawab. Posisinya pun masih membuang muka ke arah lain. Pipinya menggembung.

"Hm ... menurutmu, apakah yang Minato lakukan padamu adalah sesuatu yang salah?"

Tidak seperti sebelumnya, anak itu langsung menjawab dengan nada bersungut-sungut. Namun, wajahnya masih menatap ke sembarang arah. "Tentu saja salah! Dia sangat menyebalkan! Aku dan Suzume tidak suka padanya!"

"Lalu, apakah yang kamu lakukan pada Minato adalah sesuatu yang salah?"

Kali ini anak itu menoleh. Wajahnya terlihat benar-benar kesal. Mukanya memerah. "Tentu saja tidak! Apanya yang salah?! Ini namanya membela diri!"

Anak itu mulai menceritakan semua kejadian dari awal sampai akhir secara rinci. Alasan mengapa dia tidak suka pada sepupunya. Alasan mengapa dia menjerit kencang. Alasan mengapa dia terjatuh sampai membuat lutut dan betisnya sakit. Semua dia ceritakan panjang lebar dengan amarah meletup-letup. Pria yang duduk di sampingnya mendengarkan dengan cermat sampai anak itu mengakhiri ceritanya dengan dengkusan kasar sambil melipat kedua lengan di atas perutnya.

"Hahaha ...." Pria itu tertawa pelan. Pandangannya mengarah ke tumpukan sampah dedaunan di pojok halaman. "Kenapa Ken yakin tidak merasa bersalah pada Minato padahal kamu yang menantangnya?"

"Bukan aku yang menantangnya lebih dulu, Kek! Dia yang memanas-manasiku! Aku tidak terima!"

Pria itu tertawa lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk puncak kepala cucunya. "Kalau begitu, sepertinya Ken lupa dengan sesuatu yang pernah Kakek atau Sensei ajarkan."

Anak itu menelengkan kepala ke samping. Raut wajahnya tampak bingung. Bola matanya bergulir ke samping, mencoba mengingat-ingat apa yang dimaksud kakeknya dengan sesuaty yang telah dia lupakan.

"Fokus utama di dojo kita adalah pengendalian diri, Ken," jelas pria itu dengan nada lembut. "Makanya jangan heran kalau Kakek dan Sensei tidak pernah mengajarkan untuk membalas pukulan dengan pukulan, atau tendangan dengan tendangan."

Desir angin mendorong sampah dedaunan yang terkumpul di pojok halaman sampai menabrak pagar bambu di belakangnya. Tiupan angin itu membuat dedaunan kering kembali berjatuhan dan berserakan di setiap sudut halaman. Satu dua lembar daun kering pun ikut berjatuhan di antara kedua laki-laki yang sedang duduk-duduk itu, seolah-olah ingin ikut bergabung dalam diskusi kecil keduanya.

"Setiap orang memiliki energi dalam dirinya, Ken," tambah pria itu. Dia menengadahkan satu tangan. Pusaran angin kecil muncul dari sana, kemudian mengarah dan menyebar menuju halaman. Pusaran angin itu membuat dedaunan yang berserakan di halaman tertiup ke pojok halaman, dan terkumpul di satu tempat yang sama. Halaman pun tampak bersih tanpa sampah dedaunan.

"Energi ini, tentu saja, tidak sepenuhnya bersumber dari diri kita sendiri sejak lahir, melainkan ada campur tangan dari alam. Oleh karena itu, di sini kita belajar untuk menyeimbangkan energi yang ada di dalam tubuh kita dengan alam semesta. Jika seseorang tidak bisa menahan kontrol dirinya, maka alam semesta juga tidak akan bisa menahan orang itu untuk tetap selaras dengannya. Jika seseorang mampu menahan kontrol dirinya dan memadukan energinya dengan alam, maka paduan itu akan membuatnya selalu berada dalam kedamaian dan keharmonisan."

Angin kembali bertiup menerbangkan dedaunan kering yang telah tiba masanya untuk gugur ke tanah. Kalimat itu, bagi anak usia delapan tahun, agak susah dicerna, apalagi untuk dimengerti. Anehnya, kalimat itu tetap mengalir dalam ingatan si anak laki-laki hingga bertahun-tahun kemudian sampai akhirnya otaknya yang telah berkembang bisa sedikit-sedikit mencerna arti dan maksud dari kalimat itu.

Memori musim gugur yang paling tidak bisa dilupakan Ken selain angin dan dedaunan kering adalah ketika ia masih sering dibawa oleh ayahnya berkunjung ke tempat kakeknya. Kakeknya yang seorang mantan guru SMA sekaligus guru bela diri adalah seorang tokoh yang tidak bisa dia lupakan, sekalipun nanti jika dia sudah tutup usia. Sosoknya yang bersahaja sekaligus bijaksana memberi Ken banyak pelajaran sejak usianya masih dini. Pribadi yang tidak pernah lelah menyuapinya bekal ilmu tentang eksistensi diri dan kehidupan, keselarasan hidup dengan alam, serta nilai-nilai kehidupan lain yang tidak bisa ditemukan dengan mudah di akademi, sekolah, atau mungkin di tempat mana pun.

Hanya saja, Ken tidak suka jika dia harus bertemu kembali dengan seseorang yang paling tidak disukainya setiap kali ia berkunjung ke rumah sang kakek atau ke dojo.

"Ayo, Ken, turun."

Teguran sang ayah hanya dibalas gumaman tak acuh oleh Ken. Mobil yang mereka kendarai telah sampai di rumah kakeknya. Namun, Ken tidak langsung keluar dan berlari menghampiri si pemilik rumah. Ken justru merapatkan tubuh di pintu mobil. Matanya melirik tajam ke segala arah, seperti sedang mencari keberadaan seseorang dengan penuh antisipasi.

Tuk tuk.

Ken berjengit mundur ketika kaca mobil tiba-tiba diketuk oleh seseorang dari luar. Ketika Ken mendongak, dia buru-buru mengambil tas pinggangnya dan membuka pintu mobil. Orang yang tadi mengetuk kaca mobil tersenyum simpul melihat gelagat Ken.

"Tenang saja. Minato dan Isamu sedang di kota."

Mendengar itu, Ken langsung menghela napas lega. Laki-laki itu pun meminimalisir sikap waspadanya yang tadi mendominasi. Dia mengikuti langkah sang kakek dan ayahnya yang berjalan masuk ke dalam rumah yang dirasa Ken tidak berubah sejak terakhir dia berkunjung bertahun-tahun lalu. Bedanya, langit-langit setiap ruangan yang dimasukinya tidak lagi terasa begitu tinggi. Suasananya pun terasa lebih sepi. Tidak ada suara berisik-berisik yang biasanya terdengar dari arah dojo.

Ken penasaran. "Kek, apa di dojo sedang tidak ada orang?"

Pria yang baru saja membuka pintu geser menuju ruang tengah itu menoleh. Dia tersenyum, lalu menjawab, "Tadi ada. Sekarang tidak ada."

Ken tersenyum miring. Gaya bicara dan cara menjawab kakeknya sama sekali tidak ada yang berubah. Pria itu seolah-olah tidak mau Ken langsung menemukan poin dari jawaban yang dia cari. Kakeknya selalu membuat otak Ken bekerja maksimal hanya untuk satu pertanyaan yang sebetulnya mudah dijawab hanya dengan jawaban 'ya' atau 'tidak'.

Karena di rumah kakeknya tidak ada televisi untuk memecah rasa bosan Ken, dia memutuskan untuk berkeliling di luar rumah. Angin musim dingin di tempat kakeknya bertiup lebih kencang dibanding di rumahnya. Bedanya, di sini salju tidak banyak turun seperti di rumahnya. Seingat Ken, salju baru akan turun saat memasuki awal atau pertengahan Januari, dan angin di bulan itu sangatlah dingin dari apa yang bisa Ken bayangkan.

Langkah Ken membawanya menuju dojo yang berada tepat di pekarangan belakang rumah sang kakek. Berbeda dengan rumah kakeknya, dojo yang masih berdiri kokoh di depan mata Ken tampak berubah sampai-sampai dia hampir tidak mengenali bangunan itu.

Ken pun tanpa pikir panjang segera naik ke dalam dojo setelah melepas sepatunya. Interior ruangan, sama seperti eksteriornya, berubah. Satu yang tidak berubah adalah papan kaligrafi bertinta hitam pekat yang terpasang di tengah ruangan. Tulisan kanji 'Masakatsu Agatsu, Katsu Hayabi'* yang ada di sana, ketika Ken cermati, tampak sedikit berbeda dari yang dia ingat dalam memori masa kecilnya.

Arah pandang Ken tiba-tiba ditarik perhatiannya oleh sekelompok figura foto yang letaknya tidak jauh di samping papan kaligrafi. Matanya langsung tertuju ke arah satu foto yang menangkap gambar lima anak laki-laki dan tiga anak perempuan yang tersenyum lebar ke kamera. Ken mengamati foto itu sambil menyipitkan mata, kemudian tertawa terbahak. Pandangannya perlahan bergerak turun, melihat-lihat foto yang lain. Sampai tiba di suatu foto yang memuat gambar tiga anak laki-laki, wajah Ken seketika berubah masam.

"Ah, Sensei, Anda di dalam? Kami baru menyelesaikan latihan—"

Ken menoleh dan berputar badan ke samping ketika mendengar suara seseorang memasuki dojo. Di sana, seorang pria seumuran ayahnya berdiri mematung, menatap Ken tanpa kedip. Bola matanya seketika melebar ketika dia akhirnya ingat siapa pemilik wajah yang sekarang sedang berhadapan dengannya.

"Ken! Kamu Ken, 'kan?"

Ken terkekeh, kepalanya mengangguk. Pria itu berjalan berderap menghampiri Ken, lalu mencengkeram kedua bahunya erat-erat. Bola matanya tampak bergetar.

"Apa kabar, Paman?"

Pria itu terpaku sebentar, seakan-akan masih tidak percaya dengan apa yang ditangkap oleh indra penglihatannya sendiri, kemudian dia tertawa lepas. Tangannya yang besar dan penuh otot dilingkarkannya di sekeliling bahu Ken.

"Sudah lama sekali kamu tidak ke sini!" ucap pria bertubuh besar nan kekar itu sambil tertawa. "Oh, aku sekeluarga nonton suasana Ketteibi hari pertama dan melihatmu!"

Ken hanya bisa tersenyum kecut. Baginya, itu bukanlah suatu kebanggaan. Oleh karena itu, dia hanya bisa menunduk.

"Kenapa malah lesu, hah? Angkat kepalamu! Itu bukan sesuatu yang memalukan, kok!" kata sang paman sambil mengacak-acak rambut Ken sampai berantakan. "Baru tadi pagi Minato pergi ke kota ditemani Isamu. Anak itu ... hahaha! Kelihatannya kesal sekali ketika melihatmu di arena dari TV di hari pertama Ketteibi."

Ken kembali tersenyum kecut. Matanya menatap ke arah lain. "Kami tidak akan pernah bisa akur, Paman."

Pamannya itu tertawa lagi, kali ini lebih keras dan lebih lepas. Pria itu sampai memegangi perutnya saking puasnya dia melepas tawanya.

"Oh, kau sudah kembali, Yuutaro?"

Ken dan pamannya refleks menoleh ke arah asal suara. Sang kakek, sekaligus guru besar di dojo itu berjalan menghampiri keduanya disusul oleh ayah Ken. Pamannya melepas rangkulan tangannya dari pundak Ken, lalu berjalan menghampiri kedua pria yang baru datang itu. Kemudian, pamannya tampak asyik mengobrol dengan ayahnya sementara samg kakek menghampiri Ken. Pria tua itu menuntunnya menuju ke tengah ruangan.

"Sekarang ... coba keluarkan sedikit-sedikit energi dalam tubuhmu, Ken."

Ken menatap pria di hadapannya dengan tatapan ragu. "... Aku belum bisa mengendalikannya."

"Tidak apa-apa," respons kakeknya begitu santai membuat Ken jadi agak kebingungan. "Kakek bantu."

Laki-laki paling muda yang ada dalam dojo itu masih menyimpan ragu. Matanya menatap ke segala arah. "Tapi ini ada di dalam ruangan. Apa tidak berbahaya?"

Kakeknya menggeleng. Mata itu, ketika Ken pandangi tepat di irisnya, memandangnya penuh keseriusan. Dia kemudian mengangguk sekali, memberi kode pada Ken untuk segera melakukan apa yang dia minta.

Ken terdiam sebentar, menatap kakeknya dengan tatapan tidak percaya. Dia akhirnya menghela napas panjang, lalu mengangkat satu tangan sebatas dada dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas.

Dari telapak tangannya, api menyembur ke luar dan bergerak berputar-putar dengan telapak tangan Ken sebagai pusatnya. Api itu cukup besar, setengah kali lebih besar dari pancaran api obor.

Karena belum terbiasa, Ken takut sendiri melihatnya. Hal itu membuat api di atas genggamannya tertiup dan menari ke sembarang arah, tampak meliar. Sang kakek cepat-cepat mengangkat tangan kanannya, mengacungkan jari telunjuknya ke arah telapak tangan kanan Ken. Tiba-tiba, pergerakan api itu mulai terlihat tenang dan tidak lagi menyebar ke segala arah, seolah-olah ada sabuk tidak terlihat yang membuat api itu tidak lagi bisa berpencar ke segala arah yang dia mau.

"Hm ... tidak terlalu buruk," komentar kakek Ken, sambil mengelus dagunya yang bersih tanpa janggut. "Yuutaro, berapa banyak persediaan kayu di belakang dojo?"

Paman Ken yang sedari tadi hanya diam mengamati di tepi ruangan bersama saudara iparnya agak terbata sebelum menjawab, "Cukup banyak, Sensei. Bisa untuk dua sampai tiga hari ke depan."

Pria tua itu mengangguk. "Ambil lima batang dan letakkan di luar untuk alat bantu latihan Ken."

Tanpa banyak bertanya, pria bertubuh kekar itu keluar dari dojo dan segera melakukan tugasnya. Sementara itu, Ken menatap pria tua di hadapannya dengan kening berkerut. Dia mengepalkan tangan kanannya, membuat api dalam genggamannya lenyap dalam sesaat. Karena bingung sekaligus penasaran, Ken pun menanyakan maksud dari ucapan kakeknya.

Pria itu menggosok pelan kedua telapak tangannya sambil menjawab dengan seulas senyum lembut, "Tidak masalah kalau kita coba latihan di luar dojo, 'kan?"

.

.

.

dojo* (tempat latihan dan belajar ilmu bela diri)

dogi* (pakaian khusus yang digunakan ketika latihan bela diri)

obi* (sabuk; tanda pengenal tingkatan murid yang belajar bela diri)

hakama* (outer bawahan tradisional Jepang, menutupi area pinggang sampai mata kaki)

sensei* (guru/pelatih; seseorang yang ahli dalam suatu bidang)

masakatsu agatsu, katsu hayabi* (artinya 'kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan atas diri sendiri, kemenangan sesungguhnya adalah kemenangan tanpa pergulatan')