"Apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar?"
Satu pertanyaan itu mengambang tanpa jawaban. Sasaki hanya bungkam sambil menatap satu di antara tiga remaja yang kompak memberinya tatapan menuntut. Dalam posisi masih menunggu jawaban, tiba-tiba lampu ruangan yang mereka berempat tempati berkedip. Satu. Dua. Tiga. Tiga kali kedipan lampu.
Sasaki menghela napas, lalu akhirnya buka mulut. Namun, dia bukan mengucapkan sesuatu yang dinantikan oleh tiga remaja itu, melainkan kalimat yang membuat mereka justru semakin diliputi rasa penasaran.
"Kalian tetap di sini dan jangan ke mana-mana!"
Selepas mengatakan itu, Sasaki langsung keluar dari ruangan melalui jalan yang pertama kali mereka lalui sebelumnya tanpa memberi penjelasan apapun lagi. Suara decakan lidah Chikara adalah hal yang pertama kali terdengar setelah pintu kembali ditutup dari luar. Yamashita menghela napas berat. Sementara itu, Ken mendongakkan kepala menatap bola lampu yang ada di langit-langit tepat di atas kepalanya.
"Oi, Yamashita, bukannya tadi kau bilang kalau kau tahu semua hal? Bukankah harusnya kau tahu situasi ini?"
"Aku tidak tahu!" Yamashita tampaknya agak tertekan sehingga dia merespons pertanyaan Chikara dengan nada kesal sekaligus frustrasi. "Aku tidak pernah dengar tentang kejadian semacam ini sebelumnya. Yang aku tahu, siapapun mereka, punya niat jahat pada Imai-kun sehingga aku harus menutupi hawa keberadaannya dengan milikku walaupun hasilnya tidak seberapa membantu."
Ken meluruskan kembali lehernya, lalu melirik ke arah tangannya yang masih berada dalam genggaman tangan Yamashita.
"Ini?" tanya Ken sambil mengangkat tangannya itu. Yamashita mengangguk. "Maksudnya bagaimana?"
"Ingat tidak, saat pertama kali aku berbicara denganmu di aula, aku pernah bilang 'kan kalau Imai-kun punya aura yang tidak biasa?"
Ken mengangguk. Awalnya dia ingin menanyakan itu, tapi topik lain selalu bermunculan silih berganti dan dirasanya lebih penting untuk ditanyakan terlebih dulu sampai Ken melupakan yang satu itu.
"Itu aku tidak bercanda. Aku benar-benar melihatmu punya aura dengan warna yang tidak biasa ... ehm atau mungkin belum pernah kulihat sebelumnya."
"Jelaskan lebih detail! Ken tidak akan pernah bisa paham kalau kau hanya memutar-mutar ucapanmu."
Ken yang mulanya sedang serius mendengarkan refleks menyikut Chikara. Chikara berdecak kencang sambil menepis siku Ken dari area sekitar perutnya. Yamashita berdeham dan melanjutkan penjelasannya dengan lebih rinci, sesuai permintaan Chikara.
"Oke, jadi begini. Di mataku, aura setiap orang berbeda-beda tergantung energi bawaannya masing-masing. Misalnya, orang dengan energi api memiliki aura berwarna merah atau jingga; energi air berwarna biru atau ungu; energi bumi berwarna hijau, cokelat, atau hitam; dan energi angin berwarna kuning atau putih. Ketika di aula lantai satu, tidak heran kalau yang kulihat kebanyakan adalah warna merah dan jingga. Tapi di antara semua warna itu, aku melihat satu warna yang berbeda pada Imai-kun."
Ken terdiam, sama halnya dengan Chikara. Mereka bahkan tidak yakin apakah harus percaya pada pernyataan itu atau tidak. Selama hampir tiga puluh menit menghabiskan waktu bersama, mereka berdua memang tidak melihat adanya tanda-tanda niat jahat pada diri Yamashita. Tapi ....
"Memangnya warna apa yang kau lihat di tubuhku?"
Chikara seketika menoleh dengan tatapan tidak percaya. "Eh?! Oi, Ken—"
"Abu-abu," jawab Yamashita. "Aku pernah melihat aura seseorang yang berwarna putih atau hitam, tapi tidak untuk gabungan kedua warna itu. Maksudku, warna Imai-kun benar-benar di antara putih dan hitam. Bukan warna putih gelap atau hitam terang. Eugh ... maksudnya itu—"
"Bagaimana dengan Chika? Bagaimana denganmu sendiri?"
Yamashita mengerjapkan matanya dengan agak bingung ketika Ken memotong ucapannya yang belum selesai dan justru menambah pertanyaan yang kedua sekaligus yang ketiga.
"Ah ... aku tidak bisa melihat auraku sendiri, tapi kalau Shimada-kun itu warnanya merah menyala."
"Kenapa tidak bisa?" Kali ini gantian Chikara yang bertanya, tanpa terlihat sedikitpun ketertarikan pada pembahasan warna auranya sendiri yang baru saja diberitahu Yamashita berwarna merah menyala.
Yamashita menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu kalau warna-warna yang selama ini kulihat ternyata adalah aura, dan kata pamanku aura itu tidak jauh berbeda dengan energi elemen sehingga warnanya tergantung pada energi elemen bawaan masing-masing setiap orang."
"Lalu kenapa hanya Ken yang berbeda?"
Untuk kedua kalinya, Yamashita hanya bisa menggeleng.
"Seperti apa kau melihat aura itu di tubuh seseorang?" tanya Ken lagi.
Yamashita berpikir sebentar untuk memahami maksud pertanyaan Ken, lalu menjawab, "Hm ... mungkin bisa dibilang seperti asap dan ukurannya juga tidak lebih besar dari satu kepalan tangan. Posisinya di sini."
Yamashita menunjuk tepat ke arah dada Chikara, lalu memutar-mutar jarinya untuk menggambarkan seberapa besar ukuran pasti yang terlihat di penglihatannya. Ketika dia beralih menatap Ken, Yamashita melanjutkan, "Tapi untuk kasus Imai-kun, bentuknya menyelimuti seluruh tubuh."
"Kalau begitu, apakah mungkin untuk menutupi hawa keberadaan Ken hanya dengan auramu ... dan dilakukan hanya dengan menggenggam tangannya?"
"Itu yang kumaksud kalau aku tidak bisa banyak membantu. Saat aku menggenggam tangan Imai-kun, auranya tidak bisa seratus persen tertutupi sehingga hawa keberadaannya masih tetap ada dan bisa terlacak, tapi setidaknya sedikit tersamarkan dengan auraku yang menutupinya."
Ken sebetulnya menyimpan keraguan yang sama dengan Chikara. Hanya saja, Ken merasa sudah bisa sedikit saja mempercayai ucapan laki-laki itu meskipun mereka baru berkenalan beberapa saat lalu. Yamashita memang agak aneh menurut Ken, terutama saat dia mengaku dengan terang-terangan tanpa keraguan kalau dia bisa melihat 'aura', yang sepertinya hanya dia yang bisa melihatnya.
Kebimbangan selanjutnya dari perkataan Yamashita adalah pernyataan bahwa aura pada tubuhnya tidak sama dengan kebanyakan orang yang pernah Yamashita lihat. Dari warna, bahkan sampai bentukannya.
Kepala Ken semakin disesaki oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung terjawab. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Atau apakah ini ada hubungannya dengan status barunya sebagai Elementor Terpilih?
Di saat itu, satu-satunya akses keluar masuk ruangan kecil itu tiba-tiba terbuka. Sasaki membuka daun pintu lebar-lebar. Dengan gestur tangan, dia menyuruh ketiga remaja di dalam ruangan untuk mengikutinya ke luar. Sambil memimpin jalan, Sasaki mengatakan bahwa suasana di luar gedung sudah aman. Namun, semua anggota baru tidak disarankan untuk keluar dan pulang ke rumah masing-masing sampai minimal satu jam ke depan.
Sekembalinya mereka di ruangan lantai tiga, para anggota baru tampak sudah menyebar dan membaur ke segala arah karena lampu sudah kembali menyala dan pelindung jendela juga sudah terangkat sehingga suasana tidak lagi gelap gulita. Tidak ada lagi satu pun orang dewasa di sana. Kata Sasaki, mereka masih memastikan situasi di sekeliling gedung dan dengan itu para anggota baru diperbolehkan menempati dan mengelilingi lantai satu sampai lantai tiga secara bebas selama satu jam ke depan sampai situasi dinyatakan benar-benar aman.
"Imai-kun, kalau tidak keberatan bisa ikut saya ke atas?"
Ken diam sesaat sebelum menganggukkan kepalanya. Di belakang Sasaki, Ken mengekori langkahnya yang ternyata memasuki lift yang letaknya jauh dan terpojok dari keramaian. Sasaki menekan tombol angka sembilan, kemudian pintu lift tertutup dan membawa mereka naik secara perlahan.
Sambil menatap tombol-tombol lift dengan penuh curiga, Ken bertanya pada pria di sampingnya, "Sasaki-san, sebenarnya apa yang terjadi tadi?"
Sasaki menoleh, lalu tersenyum. "Kupikir kamu mau bertanya perihal ke mana kita akan pergi."
Ken yang mendengar Sasaki menghindari pertanyaannya dengan begitu halus seketika menghela napas panjang.
"Sasaki-san, ayolah. Aku sudah menanyakan ini dua kali dan Anda masih tidak mau menjawabnya. Kalau begitu, setidaknya tolong jawab yang satu ini. Apa ini ada hubungannya denganku? Si Elementor Terpilih yang menurut mereka membahayakan keamanan dan ketentraman negera?"
Suara 'ting' pelan nan halus terdengar di telinga keduanya bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Mereka sudah sampai di lantai tujuan: lantai sembilan. Namun, mereka berdua tidak langsung keluar saat itu juga. Baru beberapa saat kemudian, Sasaki melangkah keluar, menghentikan langkahnya sambil memutar kepala ke belakang.
"Mungkin lebih baik Imai-kun mendengar jawaban dari Ketua secara langsung."