Chereads / Elemental Destruction [Bahasa] / Chapter 21 - Ancestor Representative (5)

Chapter 21 - Ancestor Representative (5)

Sasaki menghentikan langkahnya di depan pintu di ujung lorong lantai sembilan. Dari samping, Ken memerhatikan Sasaki merogoh sesuatu dari saku jas bagian dalamnya. Sebuah kartu, mirip kartu nama yang pria itu berikan pada Ken dan Chikara beberapa saat lalu ketika di ruang rahasia. Sasaki menempelkan kartu dalam jepitan jemarinya di atas papan baja polos yang terletak di samping pintu, yang mulanya Ken pikir hanyalah papan dekorasi biasa.

Tidak sampai semenit setelah Sasaki menempelkan kartunya, terdengar suara mesin statis dari benda itu. Bip. Hanya satu kali dan suaranya sangat halus. Kemudian, lempeng baja itu bergerak pelan ke atas dan memperlihatkan sebuah layar kecil yang di sana terdapat sebuah instruksi untuk menempelkan ibu jari di atasnya.

Suara 'bip' itu terdengar lagi untuk kedua kalinya. Bedanya, kali ini suara itu beriringan dengan terbukanya pintu secara otomatis. Ken termangu dalam diam, bahkan sampai tidak menyadari bahwa Sasaki telah lebih dulu masuk ke dalam.

Ketika Ken memasuki ruangan itu, sudah ada beberapa pasang mata yang menoleh ke arahnya. Satu orang yang berdiri di samping jendela adalah Aoki. Dua orang lainnya yang duduk di sofa dan berdiri di samping Aoki belum pernah Ken lihat sebelumnya, tapi mereka tampak memberi senyum ramah padanya. Sambil menunduk sopan, Ken memperkenalkan diri pada kedua orang itu.

Seorang pria yang duduk di sofa terlihat mengangguk-angguk puas, kemudian mempersilakan Ken duduk. Ken duduk berseberangan dengan pria berkemeja putih yang sedang mengunyah sesuatu dalam mulutnya. Setelah Ken duduk, dia mulai merasa agak risih dengan pria di hadapannya karena terus menatapnya dengan intens dan senyum bahagia tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Anu ... Hirano-san? Kalau Anda menatap Imai-kun seperti itu, dia mungkin akan menganggap Anda aneh ...."

Ketika Sasaki mengatakan itu, pria berkemeja putih yang duduk berhadapan dengan Ken mengalihkan perhatiannya sesaat ke arah Sasaki sambil membelalakkan mata. Aoki tampak tertawa lepas di sana. Pria itu menoleh ke arah Ken lagi, kali ini sambil mengerjapkan mata, lalu bergumam pelan pada dirinya sendiri.

"Maaf, maaf. Akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu dengan orang-orang Fuukaku ... ehm dan intinya bukan di sana." Pria itu berdeham sebelum melanjutkan, "Pertama-tama, aku ingin minta maaf atas kejadian tadi. Kamu baik-baik saja, 'kan?"

Ken mengangguk.

"Syukurlah. Kejadian tadi juga mengejutkan kami sehingga mau tidak mau kami harus fokus membersihkan yang satu itu dulu sampai ke akarnya."

Ken tidak tahu harus merespons apa, jadi dia hanya bisa mengangguk pelan.

Menyadari kecanggungan atmosfer di antara dirinya dengan remaja 17 tahun di hadapannya, pria itu menoleh ke samping. "Hei, Aoki, bukankah waktu itu aku memintamu untuk sekalian memberikan kartu namaku pada dia?"

Aoki yang sebelumnya sedang asyik berbicara dengan pria di sampingnya seketika menoleh sambil mengerutkan kening. "Sudah kuberikan, kok."

"Eh? Serius? Tapi kenapa dia seperti tidak tahu apa-apa?"

Kerutan di kening Aoki semakin dalam, lalu dengan nada keras dia memanggil Ken. "Imai! Kau ke manakan kartu-kartu nama yang kuberikan sewaktu aku memanggilmu di arena? Kalau memang kau yang ceroboh dan lupa meletakkan benda sepenting itu, itu murni bukan salahku."

Ken merogoh tas pinggangnya, lalu menarik selembar kartu nama dari dompetnya yang tertulis nama seseorang yang tidak dikenalnya.

"Yang ini?" tanya Ken sambil menyodorkan kertas itu pada pria di hadapannya. Wajah pria itu yang sebelumnya tampak bingung seketika kembali berbinar cerah.

Ken mengambil kembali kartu nama itu sambil mengingat-ingat nama yang tertera di sana. Hirano Masayuki. Hirano Masayuki. Pria berkemeja putih yang duduk berhadapan dengan Ken namanya adalah Hirano Masayuki, ketua sekaligus pimpinan tertinggi dalam kelompok yang mulai saat ini menaunginya.

"Imai-kun, apa waktu itu Aoki tidak memberi tahu apa-apa ketika memberikan kartu namaku padamu?"

Sambil memasukkan kembali kartu nama Hirano ke dalam tas pinggangnya, Ken menggeleng. "Tidak sama sekali."

"Bohong! Jelas-jelas waktu itu aku memberitahumu kalau Hirano adalah ketuanya sementara aku wakilnya!"

Ken menoleh sambil mengedikkan bahunya. "Anak kecil yang sudah bisa membaca kanji pun bisa tahu hanya dari kartu namanya, Aoki-san."

Rahang Aoki mengeras. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Pria berkemeja hitam di samping Aoki buru-buru menahannya agar tidak menyerang Ken secara tiba-tiba hanya karena merasa kesal telah dipojoki oleh seorang anak SMA 17 tahun. Sasaki yang mengamati di belakang Hirano hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Sementara itu, Hirano justru terkekeh.

Ken mengamati situasi yang ada dengan perasaan hangat. Rasa canggungnya mulai hilang seperti tertiup angin. Meskipun Aoki masih menatapnya dengan mata elang yang begitu menusuk, Ken tahu bahwa pria itu tidak akan benar-benar memangsanya. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat dengan begitu ringan.

"Haha ... kalau begitu, dari mana aku harus mulai memperkenalkan diri?" Setelah puas tertawa, Hirano akhirnya memfokuskan perhatiannya pada Ken. Ken sendiri yang diberi pertanyaan seperti itu hanya mengedikkan bahu.

"Orang ini sudah menjabat lebih kurang lima tahun," timpal Aoki yang tiba-tiba duduk di samping Hirano. Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan bungkus rokok, mengambil satu batang, menyelipkan di bibirnya, lalu menyalakan pemantik yang entah sejak kapan ada di atas meja. Tidak tunggu waktu lama, ruangan telah dipenuhi oleh kepulan asap rokok. "Umurnya lima tahun di bawahku, dua tahun di bawah Yamashita, satu tahun di atas Sasaki, dan sepuluh tahun di atasmu."

"Uwah ... kenapa harus rinci sekali, haha."

Hirano tertawa lagi sambil membuka bungkus permen karet dari saku kemejanya, lalu mengunyahnya tanpa beban. Dia sempat menawari Ken, tapi Ken menolaknya.

Ken mengalihkan perhatiannya sejenak ke arah sisi ruangan, tepatnya di samping jendela yang tertutup rapat. Dia mengamati seorang pria bertubuh tinggi besar di samping Sasaki. Kalau telinganya tidak salah dengar, tadi Aoki bilang pria itu adalah Yamashita. Kalaupun Ken tidak salah tebak, seharusnya orang itu adalah paman dari laki-laki yang tadi baru saja berkenalan dengannya dan juga Chikara saat di aula. Paman dari seseorang bernama Yamashita Kouichi yang mengaku-ngaku punya akses informasi mendetail dalam lingkungan Higami.

Tiba-tiba saja Ken baru teringat akan sesuatu yang belum sempat dikonfirmasinya.

"Hirano-san," tegur Ken, membuat suasana seketika berubah hening. Ken membersihkan tenggorokannya sebelum melanjutkan, "Aku mau tahu kejadian yang sebenarnya terjadi beberapa saat lalu."

Hirano tidak menjawab. Dia menggantung pertanyaan itu selama beberapa saat. Dia sampai sempat-sempatnya meniup permen karet dalam kunyahannya, lalu meletuskannya.

"Yang kutahu, mereka selalu datang setiap tahun di saat seperti ini," jawab Hirano pada akhirnya. Ken terlihat mengerutkan kening dan tampak ingin menanyakan pertanyaan kedua. Namun sebelum itu terjadi, Hirano lebih dulu bersuara, "Kasarnya, kalau menurutmu serangan mendadak tadi ada hubungannya dengan kemunculanmu sebagai sosok yang seharusnya 'tidak boleh ada', itu belum bisa dipastikan. Dan kami juga tidak mau mengurusnya lebih lanjut jika memang tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke sana."

Sudut mata Ken berkedut.

"Tapi kalau tebakanku benar bagaimana? Kalau orang-orang itu memang datang karena adanya aku, bagaimana? Bagaimana kalau mereka tidak hanya menyerang di sini melainkan juga ke lokasi tempat anggota keluargaku berada?!"

Bahu Ken naik turun tidak beraturan. Napasnya tersengal-sengal seperti baru saja berlari keliling lapangan sebanyak sepuluh putaran. Tanpa dia sadari, posisi Ken saat itu telah berdiri dari duduknya dan condong ke depan, ke arah dua pria yang duduk berhadapan dengannya.

"Tenang!"

Hirano melepehkan permen karetnya ke atas kertas, lalu memasukkannya ke tempat sampah yang ada di dekat meja. Dia menjauhkan punggungnya dari sandaran sofa. Kali ini tatapannya yang sebelumnya santai berubah siaga. Ken yang sebetulnya masih membara oleh amarah seketika membatu, kemudian kembali terduduk di tempatnya semula.

"Terima kasih. Hampir saja kamu meledak, dalam artian sebenarnya maksudku, dan menghanguskan kita semua di ruangan ini dalam sekejap."

Ken mengerjap, lalu dengan refleks menunduk dan menatap ke arah kesepuluh jemarinya yang terlihat memantikkan api di setiap ujungnya. Ken menatapnya tidak habis pikir. Dalam keterkejutan itu, dia kemudian ingat dengan pelajaran dan nasihat yang senantiasa diberikan kakeknya. Di saat itu juga, Ken menarik napas, mencoba untuk tenang dan mengendalikan diri, menepis gejolak amarah yang berusaha mendominasi tubuhnya. Beberapa saat kemudian, ketika laki-laki itu telah benar-benar tenang, api yang tersulut di ujung-ujung jarinya telah lenyap dari pandangannya.

"Hah ... aku betul-betul kaget, loh, Imai-kun! Ini kali pertamaku melihatmu dalam mode siap tempur begitu," ungkap Hirano sambil menenggelamkan kembali punggungnya ke sandaran sofa. Tangannya mengelus-elus dada.

"Maaf, aku takut ...."

"Baiklah, tidak apa-apa, aku bisa mengerti perasaanmu. Lagi pula, siapa yang tidak marah kalau seseorang berniat mencelakai keluarnya sendiri, huh?"

Ken membuang napas panjang. Dia memilin-milin jemarinya dengan perasaan tidak tenang. Hirano yang melihat gelagat remaja itu jadi ikut-ikutan menghela napas.

"Imai-kun, seperti yang kubilang tadi, kami tidak mau menyelidiki para penyerang tadi lebih lanjut jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau ini memang tidak ada hubungannya dengan kemunculanmu," kata Hirano yang hanya ditanggapi Ken dengan sekali anggukan kepala. "Tapi yang tidak kamu tahu dan belum kujelaskan juga, serangan kali ini berbeda dari yang sebelum-sebelumnya pernah terjadi. Dan karena itu, wajah-wajah yang seharusnya juga ada di sini bersama kita tidak bisa ikut ke sini karena sekarang mereka sedang sibuk menyelidiki kejelasan terkait penyerangan tadi secara lebih mendalam."

Ken perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Rona wajahnya seketika berubah pucat. Dengan tatapan mata kosong, laki-laki itu merogoh-rogoh tas pinggangnya dan mengambil ponselnya, lalu dengan agak tergesa menempelkan benda pipih itu ke telinga dengan tangan bergetar samar.