Ken menatap balik sepasang mata di balik kacamata yang hampir lima menit menatapnya dengan kening berkerut. Ken sendiri menahan diri untuk tidak terpancing emosi.
Lima menit lalu, penjaga itu menanyakan identitas serta kartu izin masuknya. Karena dia tidak diberi informasi apapun selain diharuskan hadir tepat waktu, Ken menjawab jujur kalau dia tidak punya kartu akses dan hanya memberi penjaga itu kartu pelajarnya. Akibatnya, Ken tidak diberi akses masuk dan hanya diberikan tatapan penuh curiga oleh penjaga itu.
Ken berdecak kesal. Dia hampir tidak bisa menahan rasa malu ketika ditatap oleh berpasang-pasang mata yang hanya bisa melewatinya. Karena merasa tidak punya pilihan lain, dia merogoh saku celananya sambil tangan satunya lagi merogoh saku jaketnya.
Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi, setelah Ken meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku, seseorang berperawakan tinggi besar tampak berjalan keluar gedung. Ken menatap pria itu, lalu melirik ke arah penjaga yang masih berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam penuh kecurigaan.
"Kau ... biarkan dia masuk."
"Aoki-san!" Penjaga itu seketika berbalik badan dengan ekspresi terkejut. Dia melirik ke arah Ken, lalu berbalik lagi ke arah atasannya dengan alis bertaut. "Anak ini ...?"
"Anggota baru."
Hanya dengan jawaban singkat itu, Aoki Daisuke selaku wakil ketua Higami langsung menarik Ken masuk tanpa perlu menambah banyak basa-basi lagi. Di saat itu juga, Ken melepaskan diri dari cekalan tangan kokoh Aoki.
"Terima kasih sudah repot-repot membantuku masuk, Aoki-san," kata Ken sesopan mungkin. "Tapi dari sini aku bisa berjalan sendiri tanpa perlu Anda temani. Aku tidak mau mereka mengira kalau petinggi Higami sudah menganakemaskanku, bahkan sebelum peresmian anggota baru dimulai."
Pria itu terdiam sebentar, lalu mengedarkan pandang. Anak-anak seumuran Ken yang berlalu lalang di sekitar lobi, tanpa terkecuali, semua fokus menatap ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya. Aoki kembali menoleh ke arah remaja di sampingnya yang sedang menaikkan tudung jaketnya. Kemudian, pria itu tertawa.
"Aku juga tidak punya kewajiban untuk mengawalmu sejak awal," ucap Aoki sambil memasukkan tangan ke saku celana bahannya. Sudut bibirnya terangkat perlahan. "Masih ada waktu sekitar sepuluh menit lagi sebelum acara dimulai. Tempatnya ada di ujung lorong lurus di sana."
Setelah mengatakan itu, Aoki masuk ke dalam lift yang membawanya menuju lantai tiga. Ken mengalihkan pandangan ke arah lorong yang ditunjuk Aoki, lalu segera berjalan ke sana.
Di ujung lorong yang sedang Ken lalui, laki-laki itu bisa mendengar jelas suara bising-bising manusia dan suara denging pengeras suara yang baru dinyalakan. Semakin dekat dia menuju ujung lorong, suara itu semakin jelas dan terdengar semakin berisik di telinga Ken. Ken berusaha untuk tidak mempedulikan hal itu dan mulai mengamati keadaan sekitar serta wajah-wajah yang telah hadir di sana.
"Ken!"
Seseorang dari arah samping menepuk bahu Ken dengan cukup kencang. Ken tampak terkejut sesaat, lalu mengulas senyum pada salah satu sahabat baiknya.
"Yo, Chika! Sudah lama?"
Berbanding terbalik dengan Ken, Chikara sama sekali tampak tidak senang. Laki-laki itu berdecak kesal sambil menjambak rambutnya sendiri. "Kau ...! Kemarin kau ke mana?"
"Ke rumah kakekku," jawab Ken. "Kau mencariku kemarin? Ada apa memangnya?"
Chikara terlihat sekali sedang berusaha keras menahan luapan emosinya yang akan meledak-ledak jika dia bertindak sembarangan. Decakan kesal, untuk kedua kalinya, terdengar lagi dari mulutnya. Dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Tidak penting. Lupakan saja."
Bertahun-tahun menjalin hubungan pertemanan dengan Chikara membuat Ken langsung tahu kalau ada sesuatu penting yang ditutupi temannya itu. Namun, Ken diam saja dan tidak berusaha mengorek lebih dalam perihal itu. Ken menghela napas, mulai menyugestikan pikiran-pikiran positif ke dalam kepalanya dan membuang pikiran-pikiran yang negatif.
"Kenapa kau datang ke sini duluan dan tidak menungguku?" tanya Ken mencoba mencairkan suasana dengan mengalihkan topik ke arah lain yang lebih santai dan tidak memberatkan atmosfer yang menaungi mereka.
"Aku ke rumahmu jam 8.20, tapi kata ibumu kau sudah pergi dari jam delapan. Tapi kenapa kau baru sampai?"
"Ah ... tadi aku ke rumah Yasu sebentar," gumam Ken, tapi setelahnya ekspresinya berubah masam ketika mengingat lagi kejadian beberapa menit lalu. "Tapi si penjaga botak di depan sana malah menghadangku karena aku tidak punya kartu akses."
Sekilas, terlihat kerutan samar terukir di kening Chikara. Laki-laki itu sepertinya tidak peduli dengan kekesalan Ken pada si penjaga yang membuatnya harus menunggu sampai Aoki membantunya masuk. Chikara menyentuh dagunya, sibuk pada pemikirannya sendiri.
"Ada urusan apa pagi-pagi kau ke rumah Yasuhiro?" tanya Chikara setelah bergumul dengan pikirannya selama beberapa saat. Ken terdiam. Ekspresi kesalnya hilang begitu saja. "Apa karena kalian berdua ...."
Sebelum Chikara menyelesaikan ucapannya, dengungan pengeras suara yang melengking menusuk telinga menginterupsinya. Semua orang yang ada di sana kompak menolehkan kepalanya ke satu arah yang sama, sementara si pelaku yang membuat lengkingan suara itu bertingkah seolah-olah tidak terjadi suatu apapun dan melanjutkan pekerjaannya ke arah panggung di depan ruangan.
Chikara dan Ken sama-sama menerbitkan ekspresi kesal di wajahnya sambil mengusap telinga masing-masing.
Tidak lama setelah kejadian lengkingan pengeras suara yang mengagetkan telinga semua orang yang ada di ruangan, suara langkah kaki banyak orang dari arah lorong membuat semua kepala menoleh dan menunggu para pemilik langkah itu sampai memunculkan dirinya di ruangan. Mereka berjalan dengan penuh rasa percaya diri, meniti tangga ke panggung, lalu berdiri di depan dengan ekspresi berbeda-beda. Satu orang dari mereka yang berjalan paling akhir memisahkan diri dari orang-orang yang telah berjejer rapi, berdiri tepat di belakang mimbar.
Suara dehaman singkat terdengar sebelum pria bertubuh tinggi besar itu memulai kalimat pembukanya. "Selamat pagi. Selamat datang."
Tampak berbeda dari sepuluh menit yang lalu, Aoki yang masih sibuk menuangkan kalimat selamat datangnya di depan sana tampak membalut kemeja abu-abunya dengan setelan jas hitam. Dasi berwarna merah gelap terpasang di kerah kemejanya. Pria itu, menurut Ken, tampak lebih formal dibanding beberapa saat lalu ketika dia menarik Ken masuk atau beberapa hari lalu ketika dia berbicara empat mata dengan Ken.
Tiba-tiba, sepasang mata elang itu mengarah tepat padanya. Di saat yang bersamaan, semua mata di sekelilingnya ikut memberi atensi penuh pada Ken. Ken yang kebingungan karena sama sekali tidak menyimak perkataan Aoki hanya bisa melongo heran. Untungnya, Chikara buru-buru menyikut perut Ken dari samping sambil berbisik, "Kau disuruh naik!"
Seperti orang bodoh, Ken melangkah maju dan menaiki satu per satu dari lima tangga rendah yang membawanya menaiki panggung dan menghampiri mimbar yang masih ditempati Aoki. Saat itu, Ken sama sekali tidak mengindahkan tatapan aneh banyak mata yang mulai berbisik-bisik tetangga. Ken terlalu sibuk menebak-nebak alasan apa yang membuatnya terpaksa maju dan naik ke panggung hanya untuk melakukan sesuatu yang tidak dia sukai: mengumbar wajahnya ke hadapan banyak orang yang bahkan tidak dikenalnya.
Aoki memberi seringai pada remaja yang berdiri canggung di sampingnya, sebelum kemudian mendekatkan kembali mulutnya ke arah mikrofon dan berucap lantang dengan nada menggelegar penuh penekanan di setiap penggalan katanya.
"Dialah Perwakilan Leluhur Higami, Imai Ken!"