Ken mengerutkan kening sejadi-jadinya, sambil melirik ke samping. Suasana hening sejenak. Semua mata, tidak hanya Ken, melirik bergantian ke arah Aoki dan Ken dengan ekspresi campur aduk. Tidak mengerti, tidak percaya, heran, kagum, dan juga ada yang tampak terlihat ... marah.
Prok. Prok.
Suara tepuk tangan itu adalah satu-satunya ekspresi yang membuat seluruh manusia di aula itu serentak mengalihkan tatapannya dari Aoki dan Ken. Tidak lama setelah itu, suara tepuk tangan lain bermunculan, menular ke segala arah. Perlahan-lahan, suasana yang mulanya canggung berubah ramai bergemuruh oleh tepukan tangan.
Ken melirik melalui ekor mata, penasaran mencari seseorang yang tadi pertama kali bertepuk tangan. Ken yakin suara itu terdengar dari belakang punggungnya, atau paling tidak posisinya ada di dalam barisan para orang dewasa yang berdiri di belakang podium. Namun, yang Ken lihat hanya sekilas sosok tinggi seorang pria yang masih terus bertepuk tangan. Pakaiannya formal, sama seperti pakaian Aoki yang masih berdiri di sampingnya sambil terus melanjutkan kalimatnya.
Untuk kesekian kalinya, Ken tidak menyimak satu pun kata yang keluar dari mulut Aoki. Di hadapan banyak orang, Ken berusaha keras menutupi wajahnya di balik tudung jaket. Karena merasa percuma saja, Ken berdecak sepelan mungkin supaya mikrofon di depan mulut Aoki tidak menangkapnya, lalu mengalihkan perhatian ke arah samping. Laki-laki itu, dengan wajah bosan, menatap pemandangan di seberang gedung dari balik kaca jendela.
"Hei, kau dengar apa yang kudengar?"
"... Iya. Kau percaya?"
"Aku saja tidak percaya dengan apa yang kudengar."
Ken bukannya tidak mendengar bisik-bisik itu, dia hanya berusaha untuk pura-pura tuli dan tidak peduli. Ken juga menahan diri untuk tidak melirik-lirikkan matanya ke bawah hanya untuk mencari siapa pemilik suara yang tadi menggosipinya. Ken hanya berharap agar Aoki cepat-cepat menyelesaikan pidatonya supaya dia juga bisa cepat-cepat turun dari atas podium yang terlalu menarik banyak mata untuk menatap ke arahnya.
Tepukan tangan dari seluruh orang kembali terdengar untuk kedua kalinya. Itu menjadi pertanda bahwa pidato Aoki sudah selesai. Ken segera mengekori langkah pria itu dan berjalan menuruni podium bersisian dengannya, bukan mengekor di belakangnya. Aoki melirik remaja di sampingnya dengan kening berkerut, kemudian seulas seringai samar terbit di wajah kerasnya.
"Acara hari ini hanya sampai jam tiga sore, tapi kuharap kau tidak langsung pulang."
"Kenapa?" tanya Ken dengan intonasi tidak suka. Alisnya bertaut sampai membuat keningnya ikut-ikutan berkerut.
"Ada yang ingin berkenalan denganmu."
Dengan seenaknya, Aoki menyudahi penjelasannya hanya sampai sana. Ia berbalik sambil melambaikan satu tangan. Sebenarnya saat itu, Ken tidak bisa lagi menahan kekesalannya pada Aoki. Hanya saja, Ken masih ingat kalau dia sedang berada di tempat umum dengan semua mata bisa memandang ke arahnya tanpa penghalang apapun. Karena tidak ingin semakin menarik perhatian, Ken berbalik ke tempatnya semula dengan wajah terkekuk.
Harapannya, Ken bisa meredakan emosinya saat bergabung kembali dengan Chikara. Namun, dia justru mendapati seseorang sedang berdiri di samping Chikara dan menatap ke arahnya seolah-olah Ken adalah orang terkenal. Dengan wajah yang semakin terkekuk kesal, Ken melirik ke arah satu-satunya orang yang dia kenal di aula itu. Chikara membalas lirikan Ken dengan memutar bola mata, seakan-akan dia juga kesal pada orang sok akrab di sampingnya.
"Yo, Imai-kun!" sapa laki-laki asing itu tanpa rasa canggung sedikit pun. "Kau percaya tidak, sebelum Aoki-san memanggilmu ke depan dan memberi pengumuman menghebohkan tadi, aku sudah melihatmu sebagai orang dengan aura yang tidak biasa. Ah, aku tadi berdiri tepat di sampingmu, kalau kau penasaran, tapi sepertinya kau tidak menyadarinya."
Ken tidak merespons. Dia pun tidak perlu merasa repot-repot untuk sekadar memasang senyum palsu di depan orang itu. Ken melirik ke arah Chikara, lagi, yang hanya dibalasnya dengan kedikan bahu tidak peduli.
"Hei ... ayolah. Tadi aku sudah dicueki Shimada-kun. Dan sekarang Imai-kun juga berniat melakukan hal yang sama padaku. Apa kalian berdua ini tipe orang yang tidak suka berbaur dengan orang baru, ya?"
"... Maaf, moodku sedang tidak bagus," jawab Ken seadanya. Laki-laki berkemeja flanel kotak-kotak itu tersenyum mendengar respons dari lawan bicaranya. "Kalau temanku, dia memang begitu orangnya."
Tanpa memedulikan kondisi di sekitar, laki-laki itu tertawa lepas tanpa beban. Setelah dirasa puas, dia berdeham sambil bergumam meminta maaf.
"Aku bisa menebak hanya dari wajahnya kalau Shimada-kun memang tipe yang ... ehm, tempramental. Aku bilang seperti tadi hanya untuk bercanda. Maaf kalau aku terlalu cerewet. Niatku hanya untuk berkenalan dengan kalian."
Remaja laki-laki berkemeja kotak-kotak itu akhirnya memperkenalkan diri pada Ken dan Chikara setelah dia menyadari kalau sedari tadi ia asyik bicara tanpa memperkenalkan diri. Namanya Yamashita Kouichi. Dia bilang kalau hanya dia sendiri yang masuk ke Higami sementara teman-temannya berada di Suimi. Karena Yamashita bukan tipe yang suka menyendiri, dia mencoba membaur dengan orang yang ada di dekatnya. Sayangnya, orang itu adalah Chikara dengan kepribadian yang berbanding terbalik dengan Yamashita.
Setelah mengobrol-ngobrol dengan Yamashita, Ken merasa bahwa dia cukup menyenangkan. Topik apapun bisa dia jadikan obrolan yang seru untuk dibicarakan. Gaya bicaranya blak-blakan, tapi dengan nada yang sopan dan semi formal. Paduan yang cukup unik di telinga Ken.
Dia juga mudah membaca situasi. Jika dirasanya suatu topik cukup sensitif bagi orang di sekitarnya, Yamashita tidak akan mengungkit-ungkitnya ke permukaan, seperti ketika Ken naik ke podium beberapa saat lalu. Sementara orang-orang di aula masih sibuk menggosipi Ken, dan Ken mendengarnya dengan jelas, Yamashita seakan tidak peduli dan justru membahas hal lain, seperti reaksi teman-teman sekelasnya ketika dia masuk ke dalam Higami dan memiliki energi elemen berunsur api.
Andai saja Kazuhiko ada di sini, mereka berdua pasti akan langsung menjadi teman dekat.
Yamashita sepertinya juga punya koneksi yang luas karena dia tahu hal-hal terdetail dalam organisasi Higami yang seharusnya hanya bisa diketahui oleh anggota senior atau paling tidak para petinggi organisasi. Tidak hanya Higami, dia juga tahu tentang rahasia-rahasia dan konspirasi-konspirasi dalam kelompok Suimi, Jikai, sampai Futen. Katanya, dia mendapat referensi hanya dari pencarian di internet, tapi Ken tidak sepenuhnya percaya.
Informasi sebanyak dan sedetail itu bisa didapatnya hanya dari pencarian internet? Yang benar saja. Organisasi sebesar itu ....
"Kau bukan intel yang pura-pura menyamar jadi anak 17 tahun hanya untuk mendekati Ken, 'kan?"
Chikara yang dari tadi bungkam kembali angkat suara dan langsung melempar pertanyaan dengan intensitas kecurigaan yang begitu tinggi. Sepertinya, dia juga tidak percaya kalau Yamashita bilang dia hanya mencari-cari data dari internet. Namun tidak seperti Ken, kecurigaan Chikara tampaknya lebih ekstrem sampai dia mengira kalau Yamashita adalah seorang intel dan bukanlah remaja biasa berusia 17 tahun.
"Aah ... baiklah, baiklah. Aku mengaku. Tapi tolong jangan beri tahu siapapun," kata Yamashita. Ken mengangguk. Chikara diam saja. "Pamanku anggota senior di sini. Dia juniornya Aoki-san. Aku sesekali menguping pembicaraan mereka."
"Oke, yang itu bisa kuterima. Lalu bagaimana dengan informasi dari tiga kelompok lain?" tanya Chikara lagi, masih belum puas. "Apa keluarga besarmu, semuanya, adalah para petinggi di Jikai, Suimi, dan Futen?"
Yamashita hanya bisa mengedikkan bahu. Suaranya direndahkan. "Bisa dibilang begitu."
Chikara menghetikan perdebatannya sampai situ. Menurut Ken, itu tidak biasa. Cukup ... tidak, tapi sangat aneh. Chikara yang Ken kenal tidak bisa mempercayai perkataan siapapun selain keluarganya atau teman terdekatnya. Sekalipun itu ada buktinya, dia tetap tidak akan percaya. Tidak heran, Ken merasa bingung ketika melihat Chikara bungkam dengan penjelasan Yamashita, seolah-olah dia memutuskan untuk percaya dengan penjelasan Yamashita, orang yang baru dikenalnya tidak sampai satu jam lalu.
Ken penasaran. Dia ingin menanyakan alasan mengapa Chikara bisa langsung mempercayai ucapan Yamashita begitu saja. Namun, kalimatnya tertahan di tenggorokan ketika mikrofon di atas podium berdengung dan suara datar seseorang berjas biru menginformasikan seluruh anggota baru untuk naik ke lantai dua melalui tangga darurat yang letaknya ada di pojok kiri dan kanan depan aula, tidak jauh di samping podium.
Berbeda dengan suasana di lantai satu, lantai dua tidak terdiri dari ruang-ruang bersekat. Tidak ada apapun juga di sana. Karpet pun tidak ada sehingga sol sepatu Ken langsung bersentuhan dengan lantai marmer. Anehnya, lantai itu tidak berdecit sekeras apapun usaha Ken menggesek-gesekkan sol sepatunya dengan sengaja.
Ruangan lantai dua itu pun sangat luas. Mungkin sekitar dua atau tiga kali lebih luas dibanding aula di bawahnya. Jika dibandingkan dengan lapangan sekolahnya pun, ruangan lantai dua ini masih lebih luas. Ken bahkan sulit mendefinisikan seluas apa ruangan itu sebenarnya karena di matanya ruangan ini seperti tampak tidak berujung.
Ken, Chikara, dan Yamashita mengekori rombongan di depannya untuk terus naik ke lantai selanjutnya. Di lantai ketiga, suasana dan pemandangannya tidak berbeda jauh dengan di lantai dua. Lantai marmernya pun juga tidak dilapisi karpet sejauh mata Ken memandang. Bedanya, terdapat sederetan tiang besi silinder di ujung ruangan dekat jendela. Tiang-tiang itu tampak tertanam secara permanen, tapi tingginya tidak sampai menyentuh langit-langit, hanya setengahnya.
Di ujung ruangan lain yang berseberangan dengan letak tiang-tiang silinder, Ken menemui akses menuju lantai empat. Namun, rombongan di depannya berhenti dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk pergi ke arah sana. Karena bingung sekaligus penasaran, Ken mencoba memanjangkan leher untuk bisa melihat ke depan dan juga menajamkan indra pendengarannya.
"Kenapa, kenapa? Kita tidak naik lagi?"
"Tidak tahu."
"Sepertinya kita disuruh duduk."
"Oh, benar, benar. Duduk, duduk!"
Karena rombongan di depannya sudah mulai terduduk, Ken ikut merendahkan tubuhnya dengan berjongkok sebelum kemudian duduk bersila. Dalam posisi itu, dengan sedikit menegakkan leher, Ken bisa melihat orang-orang yang ada di depan. Tiga orang berjas formal dan dua orang berpakaian kasual berdiri berhadapan dengan para member baru di depan sana. Tidak lama kemudian, dengungan mikrofon kembali terdengar.
Namun, sebelum suara dari seseorang yang memegang mikrofon itu terdengar, semua lampu yang menerangi ruangan lantai tiga padam disertai suara gerungan besi yang menutupi jendela-jendela. Ruangan pun gelap total.