Dalam keadaan gelap gulita, komando dari arah depan mengisyaratkan untuk tetap tenang, tidak bersuara, dan tidak berpindah-pindah tempat. Sinyal di tempat itu pun tiba-tiba hilang ketika salah satu orang yang duduk di depan Ken menyalakan ponselnya. Suasana tegang yang mulanya dapat teredam kembali heboh beriringan dengan titik-titik cahaya putih yang mulai bermunculan ketika seluruh orang dalam ruangan itu memeriksa ponsel masing-masing.
Ketika ruangan yang semula gelap total berubah menjadi sedikit bercahaya akibat sinar dari lampu layar ponsel, Ken memaku pandangannya ke arah salah satu titik secara acak sambil memikirkan skenario terburuk yang sedang terjadi saat itu. Dugaan terburuk adalah lantai tiga gedung, atau mungkin lebih buruk lagi seluruh gedung, sedang diserang oleh sesuatu atau seseorang. Kalaupun perkiraan ini benar, tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali oleh para petinggi Higami sendiri. Sementara itu, jika bukan ada serangan tidak terduga, maka Ken berpikir kalau ini adalah semacam tes bagi para anggota baru.
Dan ... Ken berharap firasat buruknya tidak terbukti benar.
Masih sibuk dengan beragam skenario yang bermunculan liar di kepalanya, tiba-tiba Ken merasakan sesuatu yang agak basah dan dingin menyentuh pergelangan tangannya. Dengan cepat, Ken menoleh dan mendapati bahwa Yamashita sedang menyelimuti pergelangan tangan kirinya. Yamashita yang tidak berbicara satu kalimat pun, hanya fokus menatap ke depan. Ken yang merasa aneh mulai menggoyang-goyangkan tangan kirinya agar Yamashita menjauhkan tangannya. Namun, laki-laki berkemeja kotak-kotak itu justru menempelkan telunjuk jari kirinya di depan mulut sambil menoleh ke arah Ken. Sorot matanya serius.
Dari arah luar tiba-tiba terdengar suara berdebum kencang seperti ada sesuatu yang dihantam ke tembok dengan kekuatan penuh atau sesuatu yang terjatuh dari atas ketinggian, disertai getaran hebat yang membuat seluruh orang yang terjebak di sana mengira bahwa yang sedang terjadi di luar sebenarnya adalah bencana alam gempa.
Seketika itu juga Ken merasa takut, bingung, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia bahkan tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi di luar. Kejadian ini juga menjadi yang pertama bagi Ken, yang menurutnya sangat membahayakan keselamatannya sekaligus membuatnya merasakan apa arti sesungguhnya dari sebuah 'ketakutan'.
Sementara itu, Yamashita masih memegangi pergelangan tangan Ken sambil melirik ke segala arah dengan tatapan waspada. Sesekali juga dia melirik ponselnya yang masih menyala namun belum juga mendapat kembali sinyalnya. Ketika Yamashita mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan menatap ke satu titik, laki-laki itu dengan gesit mengubah posisi duduknya menjadi berlutut. Tangannya yang sedang menggenggam tangan Ken dia goyang-goyangkan.
"Ikut aku," kata Yamashita, berbisik.
Mau tidak mau, Ken mengikuti instruksi Yamashita. Ken menyikut Chikara yang sejak tadi hanya sibuk mengamati keadaan dalam diam untuk mengikutinya pergi bersama Yamashita. Dengan posisi satu tangan ditarik dari depan oleh Yamashita, Ken berjalan tergopoh dan berhati-hati agar tidak salah menapak sesuatu yang seharusnya bukan untuk sepatunya injak.
"Kau yakin, aku bisa mempercayaimu?"
Tanpa menoleh, Yamashita menjawab pertanyaan Ken, masih dengan berbisik. "Untuk saat ini, iya. Lagi pula, aku tidak akan pernah mau bercanda dalam situasi seserius ini."
Yamashita terus berjalan sambil menarik tangan Ken yang juga diikuti oleh Chikara di belakang. Sampai tiba di ujung ruangan, Yamashita berhenti. Namun, cekalannya pada tangan Ken tetap bertengger di sana. Mereka bertiga hanya berdiri diam di sana selama hampir dua menit. Ketika Ken berniat menanyakan kejelasan pada Yamashita, tiba-tiba sebuah suara seperti pintu dibuka terdengar tepat dari belakang telinganya.
"Cepat!"
Untuk yang kedua kalinya, Yamashita menarik tangan Ken. Dengan agak tergesa, Chikara mengekori mereka berdua. Tepat setelah Chikara masuk, celah kecil yang menjadi akses masuk mereka kembali tertutup rapat tanpa disadari satu saksi mata pun. Bahkan, tempat mereka masuk pun tidak akan ada yang bisa menyadarinya sekalipun dengan mata melotot karena yang tampak dari luar hanyalah sebidang tembok mulus biasa tanpa cerukan, ukiran, atau simbol tertentu yang bisa dijadikan petanda bahwa di tempat itu terdapat jalan rahasia menuju suatu tempat.
Tanpa saksi mata dan tanpa pencahayaan yang memadai, tidak ada seorang pun manusia di ruang lantai tiga itu yang menyadari bahwa mereka bertiga telah pergi dari sana.
Ken melangkah hati-hati sambil berusaha menajamkan kelima indranya karena tempat yang dilaluinya sangatlah gelap melebihi kelamnya ruangan lantai tiga tadi. Juga, jalan yang dilaluinya sangatlah sempit, tidak dikhususkan untuk bisa berjalan bersisian, meskipun untungnya tidak untuk langit-langitnya. Mereka terus berjalan dalam hening sampai akhirnya Ken melihat setitik cahaya putih samar-samar di ujung ruangan yang lama-kelamaan semakin benderang menyinari sepatu dan jalan yang ditapakinya.
"Duduk, duduk!" ujar si pemilik suara yang sama dengan sosok yang tadi membukakan akses jalan rahasia pada mereka bertiga. "Kouichi, terus tutupi keberadaan Imai-kun dan usahakan agar tetap tenang meskipun kita sudah pindah ke tempat yang lebih aman."
"Iyaaa ...."
Sinar lampu yang terang benderang dalam ruangan enam kali enam meter itu membuat Ken harus beradaptasi sebentar dengan cahaya yang tiba-tiba masuk ke matanya. Kemudian, dia menaikkan dagunya sedikit sambil memicingkan mata. Ken mengerjap-ngerjapkan matanya ketika wajah yang tidak asing terlihat berdiri di sisi ruangan di hadapannya.
"Sasaki-san?"
Pria di hadapan Ken saat ini tidak seperti tempo hari ketika ia memakai sweater rajut abu-abunya yang nyaman dengan potongan rambut depannya yang menutupi alis. Meskipun berbeda, Ken masih dapat mengenali gurat wajahnya yang khas. Alisnya yang tipis, tapi memayungi masing-masing matanya; mata sipitnya yang sayu seperti kurang tidur; dan yang paling bisa dikenali adalah bekas luka yang tercetak lebar dan panjang dari bawah hidung, ke pipi, sampai ke rahangnya. Pria itu memberi seulas senyum getir pada Ken.
"Maaf, ya. Kami tidak tahu akan ada kejadian semendadak ini. Tapi tenang saja, bangunan ini sudah dirancang dengan sistem kekebalannya sendiri, sama seperti manusia ketika ada bakteri atau virus asing yang akan masuk. Selain itu, tim keamanan kami akan selalu siap di depan jika terjadi sesuatu yang dikhawatirkan akan lebih membahayakan."
Iris mata Sasaki yang ukurannya tidak lebih besar dibanding sebutir kelereng itu melirik ke arah laki-laki di samping Ken yang sejak awal dilihatnya tidak bersuara sama sekali, entah oleh sebab apa. Ketika remaja itu menyadari tatapannya, Sasaki seketika memasang wajah seramah-ramahnya.
"Halo, temannya Imai-kun. Maaf, ya, sudah menyeretmu ke dalam sesuatu yang merepotkan dan tidak disangka-sangka ini. Saya Sasaki Inaba, dari bagian administratif."
Sasaki memperkenalkan diri sambil memberikan kartu namanya. Dia mengambil selembar lagi dari saku dada jasnya dan diberikannya pada Ken karena dia baru ingat belum memberikannya pada remaja itu. Kedua laki-laki yang duduk di hadapannya tertunduk sesaat mengamati kartu namanya. Kurang dari setengah menit kemudian, laki-laki berwajah cuek di samping Ken mengangkat kepala dan menatap tepat ke arah iris mata Sasaki.
"Shimada Chikara," ucapnya sambil menundukkan sedikit kepalanya, tidak lebih dari sepuluh derajat.
Sasaki terkesima sesaat. Dirinya tidak menyangka bahwa dia bisa sesopan itu walaupun wajahnya terlihat cuek dan agak terkesan berandalan. Dalam hati, Sasaki meminta maaf atas kelancangannya sambil balas menundukkan kepala.
"... Anu, Sasaki-san."
Sasaki mengalihkan pandangannya ke arah Ken yang sedang menggulir-gulir ibu jari di atas layar ponselnya. Sesaat kemudian, Ken menelungkupkan benda pipih itu di pahanya sambil memberi Sasaki tatapan intens yang serius.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar?"