Desember berangin di kediaman kakek Ken siang itu terasa cukup hangat. Selain karena matahari yang lebih bersemangat menyalurkan panasnya pada hari itu, tiga titik api anggun yang membara di halaman samping dojo ikut menambah kehangatan di sana. Segerombol anak usia di bawah lima belas tahun berseragam putih mengamati api unggun itu dari jarak aman, dipagari oleh tiga sampai lima orang dewasa, termasuk ayah dan paman Ken. Ken sendiri sedang berdiri membungkuk di hadapan ketiga api unggun yang tampak semakin membesar. Kakeknya berdiri agak jauh di samping Ken, mengamatinya dengan wajah serius.
"Hei, hei, kakak itu kenapa boleh berdiri terlalu dekat dengan api sementara kita tidak boleh?"
"Kata Sensei, kakak itu orang hebat! Orang itu juga yang katanya membuat api-api unggun itu?"
"Hm? Membuat? Oh, maksudmu yang mengumpulkan kayu dan menyalakan apinya, 'kan?"
"Eh?! Kenapa api yang di tengah semakin membesar?!"
"Ah, aku ingat! Kakak itu, aku melihatnya sewaktu Ketteibi hari pertama! Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tapi waktu itu aku lihat seluruh badannya terbakar!!!"
"Eh??!!"
Ken berdecak kencang sambil menggaruk cuping telinganya. Meskipun jaraknya terbilang jauh, Ken masih bisa mendengar jelas obrolan anak-anak yang sibuk menggosipinya. Dia mengangkat tudung jaketnya sampai menutupi kepala, lalu kembali berdiri tegak.
"Ken."
Sang kakek berjalan menghampiri Ken. Pria itu menepuk-nepuk bahunya sebanyak tiga kali, berpindah ke sisi samping tubuhnya, kemudian menepuk bahunya lagi dengan jumlah yang sama. Dengan kedua tangannya yang dipenuhi keriput, ia menepuk-nepuk pelan dada Ken. Tiga kali juga. Ken hanya bisa diam dan menerima perlakukan yang diberikan kakeknya.
"Tubuhmu terlalu kaku," ucapnya. "Energimu akan meledak-ledak dan sulit dikendalikan."
Ken mengerutkan kening. Dia menoleh ke arah tiga titik api yang terus membara di hadapannya meskipun kayu dalam lalapannya telah menjadi abu. Ken melakukan terapi pernapasan yang dilakukannya setiap kali dia gugup, lalu kembali menoleh ke arah kakeknya.
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Jangan menganggap latihan ini sebagai sesuatu yang membuat emosimu terpacu."
Ken bingung. Maksudnya apa? Terpacu emosi? Ken tidak sedang merasa dalam kondisi seperti itu. Lagi pula, kondisi macam apa yang bisa masuk dalam kategori terpacu dalam emosi? Marah? Takut? Gugup? ... Tertantang? Semakin Ken pikirkan, semakin dia ragu pada dirinya sendiri. Apakah dia memang sedang terpacu emosi ketika melakukan latihan ini tanpa Ken sadari?
Apa pula hubungannya dengan tubuhnya yang kaku? Apa itu benar-benar berpengaruh? Apakah tulangnya, ototnya, sendinya, atau mungkin sarafnya .... Hm? Tunggu.
Sial. Ken lupa kalau ilmu sains adalah pelajaran yang paling rumit dicerna otaknya.
Melihat Ken memasang wajah cemberut, kakeknya memberi keterangan penjelas. "Mungkin kamu tidak sadar ketika memulai latihan, tapi Kakek lihat ada sesuatu yang ingin kamu capai dalam latihan ini. Antusias, ambisi ... emosi semacam itu memantik semangatmu, Ken. Tapi jangan sampai terbutakan oleh itu semua. Fokus utama dalam latihan ini adalah ketenangan dan keselarasan."
"Gambarannya begini." Kakeknya mengepalkan satu tangan, membukanya, lalu mengepalkannya lagi. "Ketika Kakek mengepal, semua energi terkumpul di sini. Saat Kakek lepas, energi itu tidak akan berkumpul di satu titik lagi dan akan mengalir ke seluruh bagian tubuh secara merata. Itulah capaian kita."
Ken menelan ucapan kakeknya bulat-bulat. Dia mencoba mempraktikkannya sendiri. Ken mulai mengepalkan tangan kanannya, dan secara tiba-tiba api mulai menyelimuti kepalan tangannya. Laki-laki itu mencoba untuk tenang dan tidak panik, kemudian melepaskan kepalan tangannya secara perlahan. Api itu pun lenyap. Dia mengulang-ulang hal yang sama sampai berkali-kali, sampai Ken terbiasa melihat api itu menyelimuti tangannya tanpa meninggalkan luka sedikit pun.
Coba-coba, Ken mengayunkan tangannya ke arah sebatang kayu yang masih dalam kondisi bagus di samping ketiga api unggun yang masih menyala. Semburat api keluar dari telapak tangan Ken, melalap sebatang kayu kesepian yang malang itu. Api pun membara, namun yang ini tampak tidak sebesar ketiga api di sampingnya. Seruan kagum anak-anak terdengar heboh di telinga Ken.
"Ho ...." Ken menoleh ke arah kakeknya yang sedang menggosok-gosok telapak tangannya. "Tidak buruk. Coba sekarang, jangan bakar kayu yang tersisa. Coba kendalikan agar keempat api ini mengecil, tapi jangan sampai mati."
Ken menelan saliva sementara sang kakek menyuruh paman Ken untuk memungut kayu-kayu yang tersisa agar disimpan kembali. Ken memandang lurus ke depan. Tiba-tiba pikirannya kosong.
Bagaimana caranya?
Ken sama sekali tidak punya petunjuk harus melakukan apa supaya keempat api di hadapannya jinak tanpa harus memadamkannya sampai ke akar. Lagi pula saat dipikir-pikir lagi, dia pun tidak tahu bagaimana caranya memadamkan atau melenyapkan api itu. Ken berdecak pelan.
Laki-laki itu mencoba mengingat-ingat lagi perkataan kakeknya. Ken memfokuskan pandangannya hanya pada satu api yang paling besar dan ganas, tepat di hadapannya. Dia mencoba membayangkan bahwa itu adalah dirinya yang lain karena api itu dihasilkan dari energi di tubuhnya. Ken mengulangi aktivitas sebelumnya ketika dia mengepalkan kepalan tangannya. Namun, tidak terjadi apa-apa.
Ken mencoba lebih fokus sampai tidak ada suara yang masuk ke telinganya selain suara embusan angin. Saat itu, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan, Ken bisa melihat bahwa api di hadapannya perlahan membesar walaupun kali ini tidak lagi bergerak liar. Semburatnya tenang dan hanya mengarah ke langit, tidak lagi meliar ke kanan maupun ke kiri. Ken mengembuskan napas, lalu melepas kepalan tangannya.
Itu dia! Api itu menyusut hampir setengahnya! Ken nyaris tidak percaya dengan penglihatannya sendiri sampai sayup-sayup dia mendengar gumaman kagum yang menyelinap masuk ke dalam telinganya. Ken menarik napas pelan-pelan untuk kembali fokus. Meskipun Ken yakin api itu telah mengecil, sepohon apel setinggi tiga sampai empat meter akan ludes terbakar dalam sekali lahap sampai ke akar-akarnya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Target Ken adalah menyusutkannya sampai semaksimal mungkin. Menyisakannya sampai sekecil mungkin.
Setia berdiri di sampingnya, sang kakek terus mengamati Ken yang terlihat kuyup oleh keringat. Perkembangan anak itu terlihat bergerak sangat cepat. Ia bahkan tidak menyangka bahwa remaja laki-laki yang berdiri di sampingnya adalah orang yang sama dengan anak kecil yang paling tidak bisa menahan tangisnya ketika anggota tubuhnya ada yang mengeluarkan setetes darah. Pria itu menatap semburat api di hadapannya yang perlahan tampak menyusut. Helaan napas keluar dari celah mulutnya yang sedikit terbuka. Lengkungan bibirnya tertarik ke atas dengan perasaan hati bangga.
Sang kakek berniat untuk menepuk pundak Ken, menyuruhnya untuk berhenti sejenak. Namun sebelum tangannya menyentuh kulit Ken, laki-laki itu telah oleng ke samping. Keempat titik api di hadapannya seketika padam begitu saja.
"Hiroshi! Yuutaro! Bawa Ken ke dalam!"
...
Insiden tumbangnya Ken cukup menyita perhatian seluruh mata yang menyaksikan. Ayah dan paman Ken segera membawanya masuk ke dalam rumah. Kakeknya menyuruh salah satu muridnya untuk memanggil dokter di klinik. Anak-anak dipulangkan saat itu juga.
Ken baru terbangun ketika hari telah beranjak sore. Dokter yang merawat Ken berkali-kali mengkonfirmasi bahwa pasiennya baik-baik saja dan hanya kelelahan karena memakai terlalu banyak energi elemennya. Ayah Ken yang paling tidak percaya, berkali-kali meminta sang dokter yang tidak lain adalah temannya untuk memeriksa ulang kondisi Ken. Berkali-kali pun dilakukan, jawabannya tetap sama.
"Benar kata Dokter, aku hanya kelelahan."
Mendengar pernyataan langsung yang keluar dari mulut Ken, ayahnya akhirnya berhenti mendesak teman dokternya. Sang kakek menemani dokter itu keluar sementara sang ayah berjalan berderap mendekati Ken dan langsung menempelkan telapak tangannya ke kening sang anak. Hangat. Dan itu hangat yang normal.
"Besok aku harus datang—"
Ayahnya memotong ucapan Ken dengan menepuk-nepuk pundaknya. "Kita pulang besok pagi. Hari ini kita tidur di sini. Istirahat saja dulu. Nanti Ayah panggil kalau makan malam sudah siap."
Ken tidak bisa berkomentar sepatah kata pun karena ayahnya langsung berbalik keluar meninggalkannya sendiri untuk istirahat. Dia hanya bisa mengedikkan bahu, lalu merebahkan kembali tubuhnya di atas futon* sambil menatap langit-langit.
Getaran kecil di dekat bantalnya membuat Ken berguling ke samping sambil meraih ponselnya. Pesan masuk dari Yasuhiro membuat jarinya sibuk menari di atas layar. Matanya seketika menyipit ketika membaca pesan dari salah satu teman baiknya itu.
Ken menyumpah tertahan sambil mengetikkan pesan balasan dengan penuh kekesalan.
.
.
.
futon* (alas tidur tradisional Jepang yang bisa digelar saat ingin digunakan dan dilipat kembali saat tidak ingin digunakan)